Alasan Mengapa Kita Harus Menjaga Masjid dari Tangan-tangan Kotor Politik

Alasan Mengapa Kita Harus Menjaga Masjid dari Tangan-tangan Kotor Politik

Kenapa menjaga masjid ini penting bagi muslim?

Alasan Mengapa Kita Harus Menjaga Masjid dari Tangan-tangan Kotor Politik

Ihwal dijadikannya masjid sebagai sarana propaganda politik praktis yang sarat ekspresi kebencian, pertikaian, dan perpecah-belahan sama sekali bukan fenomena hari ini belaka. Di era Dinasti Umayyah, propaganda hate speech kepada kelompok Ali bin Abi Thalib dan Syiah yang tentu saja tak bisa dicerabut dari hawa politik kekuasaan dan merembes ke sendi-sendi sosial kemasyarakatan di antaranya dilantangkan dari khutbah-khutbah masjid. Sangat lumrah masa itu untuk mendengar kutipan khutbah yang menyelipkan ujaran-ujaran kebencian, makian, kutukan, dan laknat kepada musuh besar Umayyah.

Di era kekhalifahan Umar bin Abdul Aziz lah kebiasaan mengutuk lawan politik melalui corong-corong masjid itu dihentikan. Khalifah kondang yang sangat sering disebut sebagai khalifah kelima ini mengeluarkan surat edaran resmi kepada para gubernurnya dan ditindaklanjuti ke seluruh masjid untuk mengganti kebiasaan mencaci kelompok Ali bin Abi Thalib dan Syiah itu dengan ayat: “Sesungguhnya Allah memerintahkan kalian untuk berbuat adil dan baik….

Dapat kita bayangkan, betapa masifnya rembesan caci-maki dan kebencian merasuki isi kepala dan hati masyarakat muslim masa itu, yang tentu saja sebagian besarnya berawal dari ikut-ikutan, katanya-katanya, dan patut-patutan dengan orang-orang lainnya. Dapat kita bayangkan lebih lanjut betapa ekspresi-ekspresi kebencian itu menggempal berkat justifikasi dalil-dalill, tafsir-tafsir, fatwa-fatwa sehingga terkonstruksi “seolah” benar dan haq.

Suasana begitulah yang tempo hari meruah di sejumlah masjid dan lingkungannya kala Pilkada DKI. Dan, tampaknya, propaganda sejenis akan terus diproduksi oleh sejumlah kelompok politik partisan dalam rangka menyongsong Pilpres.

****

Apakah benar masjid sahih dijadikan sarana berpolitik?

Saya akan memulainya dengan menukil aurat at-Taubah ayat 107: “Dan (di antara orng-orang munafik itu) ada orang-orang yang mendirikan masjid untuk menimbulkan kemudharatan (pada orang-orang mukmin), untuk kekafiran dan untuk memecah-belah antara orang-orang mukmin serta menunggu kedatangan orang-orang yang telah memerangi Allah dan RasulNya sejak dahulu. Mereka sesungguhnya bersumpah: ‘Kami tidak menghendaki selain kabaikan.’ Dan Allah menjadi saksi bahwa sesungguhnya mereka adalah pendusta (dalam sumpahnya).

Mari bertenang hati, tak ada maksud sedikit pun di hati saya untuk mengklaim mereka yang menjadikan masjid sebagai sarana berpolitik sebagai bagian dari kelompok munafik itu. Tidak. Mari berfokus pada dampak-dampak negatif politisasi masjid saja, yakni perpecah-belahan.

Di tengah ingar-bingar politik haus kekuasaan macam sekarang ini, begitu sesak rasanya hari-hari kita, beranda-beranda maya kita, dan obrolan-obrolan dunia nyata kita, perihal silang-sengkarut perpolitikan yang beraras pada salah/benar, hitam/putih, jahat/mulia. Semua aura negatif itu, kita tahu, bersumber semata dari hasrat yang menggejolak pada kursi-kursi kekuasaan semata. Politik sebagai jalan kemaslahatan manusia (istishlah an-nas), begitu asalinya, telah tereduksi sedemikian tanpa malunya menjadi sekadar cara meraih kursi-kursi kekuasaan. Politik menjadi sekadar alat yang pragmatis, partisan, dan serba sementara.

Maka serbuan link provokasi, broadcast propaganda, dan hoak diterjangkan sedemikian bandangnya ke dalam kehidupan sehari-hari kita seolah Islam kita sebegitu terancanmnya, sebegitu kritisnya, dan sebegitu daruratnya utuk dibela dengan mata melotot dan otot menegang. Di kalangan akar rumput, terjangan kabar-kabar mengerikan itu tak terfilter oleh kritisi-kritisi yang diperlukan, sehingga makin hari makin melimpas luaslah kecemasan-kecemasan akan keterancaman Islam itu mendera. Ini lalu terangkut ke mimbar-mimbar masjid melalui khutbah Jum’at hingga pengajian-pengajian, sehingga makin sempurnalah cengkeraman dan sergapan phobia itu menancap kepala dan hati.

Walhasil, potret politik hari ini yang sungguh-sungguh hanya berorientasi pada kekuasaan instan semakin gagah menekuk lipat ketenangan perkampungan, keguyupan para warga yang majemuk, dan kehangatan sanak kadang, kerabat, dan sahabat. Semua itu menemukan kekuatan justifikasi masifnya dalam jubah-jubah agama dan dalil-dalil hukum yang dikhutbahkan secara serampangan, baik atas dasar kesengajaan ala propaganda politik atau ambisi mencari panggung ekonomis, atau sekadar efek kecemasan berlebihan akibat provokasi informasi yang tak tersaring.

Lihatlah bagaimana sebuah masjid di Jakarta sampai mampu membentangkan spanduk pengharaman shalat jenazah bagi para pemilih lawan politiknya. Sejak kapan masjid dibenarkan hanya milik kelompok politik tertentu? Apa dasar hukumnya? Sungguh memprihatinkan!

Fenomena memilukan tersebut jelas hanya mungkin terjadi akibat propaganda-propaganda politik partisan yang diembuskan kelompok politikus yang haus kekuasaan, dikemas dengan pekik-pekik religius yang cenderung manipulatif, lalu ditelan mentah-mentah oleh umat sebagai kebenaran dan kekudusan Islam.

Begitupun slogan-slogan kriminalisasi ulama yang riung sedemikian memusingkannya itu. Titik tersensitif manusia bernama agama dieksploitasi dengan sengaja oleh elit politik propagandis, diviralkan melalui kanal-kanal yang mereka biayai dan kuasai, hingga memasuki mimbar-mimbar masjid, dan merembes sempurna ke kepala-kepala masyarakat umum sebagai “kebenaran Islam”. Lalu, terpatrilah potret mencekam tentang Islam yang digembosi, para ulama yang dikriminalisasi, dan masa depan anak-anak yang terancam kehilangan marwah keimanan dan keislamannya.

Ilustrasi-ilustrasi keterancaman Islam di negeri ini sangatlah potensial untuk dieskpos dan dikeduk, dan para politisi fakir nurani dan rohani paham betul itu merupakan lumbung emasnya untuk melenggang ke tampuk-tampuk kekuasaan. Dan, mereka pun tahu, tempat yang paling strategis untuk membandangkan tujuan-tujuan propaganda politik berbingkai keterancaman Islam itu adalah masjid-masjid. Massanya jelas, corongnya pasti, biayanya pun tidak besar, dan dampak psikologis yang timbul pun dijamin militan: demi menyelamatkan Islam dan melawan musuh-musuh Allah. Masjid-masjid adalah lumbung-lumbung suara yang menakjubkan!

Tetapi tepat pada derajat ini kita menyaksikan langsung betapa luar biasanya madharat yang ditimbulkan oleh gerakan politisasi masjid ini. Madharat yang saya maksud bukanlah ekses yang mengarah pada comfort zone kelompok politik ini atau itu, pemerintah atau opisisi, tetapi (garis bawahi) meriungnya kecurigaan, kebencian, permusuhan, dan perpecahan yang amat menyedihkan di antara umat Islam sendiri sebagai sebuah bangunan ukhuwah Islamiyah, sebuah bangunan ukhuwah wathaniyah, dan sebuah bangunan ukhuwah basyariyah

MUI telah tepat dengan fatwanya untuk menengahi bahwa dikarenakan bagi umat Islam segala aspek kehidupan tidak boleh dipisahkan dari ajaran Islam, termasuk di dalamnya kehidupan politik dan bernegara, maka masjid pada hakikatnya sahih dijadikan sarana pendidikan politik umat. Namun, poin tegas yang ingin saya tekankan –dan terkandung juga dalam fatwa MUI—adalah masjid hanya sahih dijadikan sarana pendidikan politik dan bernegara yang positif, produktif, high values, bukan ajang politik partisan, pragmatis, propagandis, dan segala bentuk ekspresi politik yang bermuatan hate speech atau provokatif atau faksional blok sana sini di mimbar-mimbar.

Di Solo, beberapa waktu lalu, sebuah kelompok keagamaan yang berafilisasi secara politik ke sebuah partai, menggelar pengajian akbar di sebuah masjid. Temanya mengabarkan auara yang sangat Islami. Tetapi, konten pengajiannya adalah caci maki kepada Jokowi dan pemerintahan yang sah. Bahkan tanpa tedeng aling-aling, sang juru ceramah yang kondang kontroversial itu menyebutkan pemerintah sekarang sebagai thaghut, musuh Allah, kafir, dan sebarisannya.

Inilah contoh nyata dari politik masjid yang negatif, bertentangan dengan high values politik Islam, atau dalam istilah MUI disebut “pendidikan politik”. Ini adalah contoh propaganda politik di dalam masjid, yang jelas hanya membuncahkan kemadharatan: perselisihan, pertikaian, dan benci-membenci di antara umat Islam. Atau, dalam konteks ayat tadi, “memecah-belah antara orang-orang mukmin” sekalipun dibungkus dengan “Kami tidak menghendaki selain kabaikan.”

Masjid haruslah kita jaga dan rawat bersama agar tetap pada marwahnya yang adiluhung. Masjid harus diselamatkan dari tangan-tangan kotor politik praktis, partisan, faksional, dan propaganda. Masjid adalah tempat kita menyerukan nama Allah dan mengagungkanNya, yang dalam segala bentuk kegiatannya haruslah semata-mata membuahkan keadaban, kebaikan, kemaslahatan, dan kemanusiaan. Segala edukasi politik pun mestilah beraras pada narasi-narasi keadaban, keluhungan, dan kemaslahatan sebagai marwah khas masjid di mana kita semua lintas pilihan politik bersujud.