Setelah orang Romawi, orang Arab adalah salah satu bangsa pada abad pertengahan yang melahirkan ilmu yurisprundensi (hukum), dan darinya berkembang suatu sistem yang independen. Sistem tersebut kita menyebutnya dengan nama Fikih. Pada prinsip nya ini bersumber dari kitab suci dan Sunnah.
Ada semacam “Magna catra” dalam sumber hukumnya, ketika melewati fase peradaban bangsa-bangsa, misalnya dialog antara Rasul dan sahabat Mu’adz bin Jabal. Di sinilah dalam bahasa tertentu di katakan dibutuhkan nya pemikiran sepekulatif. Maka lahirlah prinsip Ijma’ dan Qiyas (analogikan dan kesepakatan bersama).
Dari hal tersebut, saya ingin mengatakan; di zaman abad pertengahani, adanya modernitas dalam lintasan sejarah di kawasan semenanjung Arab dan Balkan. Terobosan demi terciptanya suatu bangsa yang makmur dan agama bisa di wujudkan dalam berbagai hal.
Tiba-tiba saya ingat tadi pagi, saya jumpa dengan segala atribut simbol budaya modern (analogi kontinuitas hukum dari masa ke masa) saya kira mereka hanya bersimbol saja, tapi alam pikiran mereka, sikap organisasi mereka, persekawanan gerakan dan sosial mereka, mentalitas mereka, hanya berujung dua kemungkinan, atau dua potensi.
Pertama: Juragan. Kedua bentuknya adalah berupa. Atau semacam suntikan “patiroso” candu dalam kesehatan menyebutnya “propesionalisme senyap”. Padahal, ada semacam paket demokrasi dan Egaliterisme yang di tawarkan dalam membaca Juragan dan bawahan, secara Fikih misalnya sebagai contoh saja.
Kini di jaman penuh karangan bebas, ketika kau ditanya? Ma rabbuka? Kalau di lihat dari konsep Juragan dan bawahan, diam-diam jika kau patuh, Pasti kamu Jawab; saya nunggu arahan Juragan.
Atau, ketika pertanyaan ditanyakan lebih dalam ke nurani kita dan jika di lihat dari gegap gempita perhelatan dunia, mungkin jawabnya Kekuasaan dan harta yang melimpah. Bisa jadi.
Mungkin, sekali lagi mungkin, kepada juragan maka berbaik sangkalah kamu wahai bawahan, juga sebaliknya, agar jika di tanya Ma Rabbuka? Kamu Jawab; Allah.