Dalam budaya masyarakat Arab, terdapat tiga jenis nama yang biasa mereka pergunakan, yakni pertama, nama ism, yaitu nama asli yang diberikan oleh orangtua ketika sang buah hati lahir, contohnya: Muhammad. Kedua, nama kunyah, yakni nama yang dinisbatkan pada hubungan kekeluargaan, seperti Abu (bapaknya…), Ummu (Ibunya…), ataupun Ibnu (Anaknya…), contohnya ialah Abu Qasim, sebuah kunyah bagi Nabi Muhammad karena beliau adalah ayah dari Sayyid Qasim. Ketiga ialah laqob atau julukan yang diberikan sebagai bentuk pujian atau bahkan hinaan. Contohnya ialah Al-Amin, sebuah julukan bagi Nabi Muhammad mengingat beliau memiliki sifat yang sangat bisa dipercaya. Masyarakat Arab pun seringkali menggabungkan ketiga nama tersebut dalam pemanggilan, seperti Muhammad Abu Qasim al-Amin. Atau misalkan nama anda adalah Karman anaknya Karmin yang bersifat mulia (Karim), maka anda boleh menulis nama anda sebagai Karman ibnu Karmin al-Karim.
Sebagian saudara kita ada yang keranjingan dengan konstruk budaya semacam itu, dan menganggap bahwa penyematan nama kunyah merupakan bagian dari syariat Islam dan dihukumi sunnah. Tidak jarang kemudian mereka mengidentifikasikan diri mereka dengan nama kunyah seperti Abu Daud, Ibnu Sulaiman, Ummu Aliza, dan lain sebagainya.
Argumentasi yang mereka berikan biasanya adalah berupa hadis:
عَنْ أَنَسٍ قَالَ: كَانَ النَبِيُّ – صلى الله عليه وسلم–أَحْسَنَ النَّاسِ خُلُقًا, وَكَانَ لِيْ أَخٌ يُقَالُ لَهُ أَبُوْ عُمَيْرٍ, كَانَ إِذَا جَاءَ قَالَ: يَا أَبَا عُمَيْرٍ مَا فَعَلَ نُغَيْرٌ ؟
Dari Anas radhiyallahu ‘anhu ia berkata: “Nabi shalallahu ‘alayhi wa sallam adalah manusia yang paling baik akhlaknya. Saya mempunyai saudara yang biasa dipanggil Abu Umair. Apabila Rasulullah shalallahu ‘alayhi wa sallam datang, beliau mengatakan, ’Wahai Abu Umair apa yang sedang dilakukan oleh Nughair (Nughair adalah sejenis burung)?’”
Hadis di atas menyebutkan bahwa Nabi menyebut bahwa Anas RA memiliki saudara yang diberi kunyah Abu Umair, dan demikianlah Rasulullah memanggilnya. Pertanyaannya adalah apakah pemanggilan Rasulullah dengan nama semacam itu adalah sekedar pemanggilan mengingat namanya demikian? Atau itu semacam Nabi memerintahkan memanggil demikian? Namun jika dicermati teks hadisnya, tidak ada pernyataan perintah (sighat amar) dari Rasulullah.
Dalam teks yang lain, disebutkan juga bahwa Rasulullah pernah memanggil seseorang dengan nama kunyah Abu atau Ummu padahal seseorang tersebut tidak memiliki anak:
عَنْ عُرْوَةَ أَنَّ عَائِشَةَ قَالَتْ لِلنَّبِيِّ – صلى الله عليه وسلم–: يَا رَسُوْلَ اللهِ كُلُّ نِسَائِكَ لَهَا كُنْيَةٌ غَيْرِيْ, فَقَالَ لَهَا رَسُوْلُ اللهِ: إِكْتَنِيْ أَنْتِ أُمَّ عَبْدِ اللهِ, فَكَانَ يُقَالُ لَهَا أُمُّ عَبْدِ اللهِ حَتَّى مَاتَتْ وَلَمْ تَلِدْ قُطُّ
Dari Urwah bahwasanya ’Aisyah radhiyallahu ‘anha pernah berkata kepada Nabi shalallahu ‘alayhi wa sallam: “Wahai Rasulullah shalallahu ‘alayhi wa sallam, seluruh istrimu mempunyai kunyah selain diriku.”Maka Rasulullah shalallahu ‘alayhi wa sallam bersabda, “Berkunyahlah dengan Ummu Abdillah.” Setelah itu ’Aisyah radhiyallahu ‘anha selalu dipanggil dengan Ummu Abdillah hingga meninggal dunia, padahal dia tidak melahirkan seorang anak pun.”
Sebagaimana kita ketahui, bahwasanya Ummul Mukminin Sayyidatina Aisyah RA tidak memiliki putra, namun beliau dipanggil dengan nama Ummu Abdillah karena kedekatan beliau dengan keponakannya yang bernama Abdullah bin Zubair. Ibu dari Abdullah ini ialah Asma binti Abu Bakar, saudara perempuan Aisyah.
Demikian juga pada Sahabat Shuhaib, Rasulullah memanggilnya dengan kunyah Abu Yahya padahal beliau tidak memiliki putra:
أَنَّ عُمَرَ قَالَ لِصُهَيْبٍ مَا لَكَ تَكْتَنِى بِأَبِى يَحْيَى وَلَيْسَ لَكَ وَلَدٌ. قَالَ كَنَّانِى رَسُولُ اللَّهِ –صلى الله عليه وسلم– بِأَبِى يَحْيَى
“Umar radhiyallahu ‘anhu pernah mengatakan kepada Shuhaib: ‘Kenapa engkau berkunyah dengan Abu Yahya padahal kamu belum mempunyai anak?’ Maka dia menjawab: ‘Rasulullah shalallahu ‘alayhi wa sallam yang memberiku kunyah Abu Yahya.’”
Bahkan, para ulama pun menyatakan boleh menggunakan nama kunyah bagi anak kecil yang tentu saja belum punya anak dengan tujuan memupuk rasa optimisme bahwa anak tersebut akan panjang umur hingga kelak memiliki anak.
Secara keilmuan hadis, karena tidak ada teks perintah yang secara transparan ataupun eksplisit yang diungkapkan oleh Rasulullah, maka sepertinya penyematan kunyah dihukumi mubah, bukan sunnah.
Sebuah penjelasan tentang kunyah yang sangat baik diberikan oleh Muhyiddin Abu Zakaria Yahya bin Syaraf al-Nawawi al-Dimasyqi, Al-Adzkar al-Muntakhabah min Kalaami Sayyid al-Abrar, (Surabaya: Kharisma, 1998), hal. 420:
بابُ جوازِ الكِنى واستحباب مخاطبةِ أَهْلِ الفَضْل بها)…والأدب أن يُخاطب أهل الفضل ومن قاربهم بالكنية، وكذلك إنْ كتبَ إليه رسالة، وكذا إن رَوى عنه روايةً، فيُقال: حدّثنا الشيخ أو الإِمام أبو فلان، فلان بن فلان، وما أشبهه، والأدبُ أن لا يذكرَ الرجلُ كنيتَه في كتابه ولا في غيره، إلا أن لا يُعرف إلا بكنيته، أو كانت الكنية أشهرَ من اسمه.
Artinya:
“(Bab diperbolehkannya menggunakan kunyah dan kesunnahan memanggil orang mulia dengan kunyah)…Tatakramanya ialah memanggil orang mulia dan kerabatnya dengan kunyah, demikian juga jika seseorang hendak menuliskan surat padanya, dan ketika meriwayatkan sesuatu darinya. Ucapkan: “Bercerita padaku Syaikh atau Imam Abu Fulan, Fulan bin Fulan”, ataupun semacamnya. Tatakramanya, seorang lelaki jangan menuliskan kunyahnya sendiri dalam tulisannya kecuali dia tidak dikenal oleh orang lain jika tidak menggunakan kunyah, atau kunyah tersebut lebih dikenal dibanding nama aslinya.
Dari penjelasan Imam al-Nawawi diatas, bisa kita pahami bahwa yang disunnahkan ialah memanggil orang mulia dengan nama kunyahnya. Sebaliknya, seseorang tidak diperkenankan secara tatakrama menyebutkan kunyah untuk dirinya sendiri kecuali jika ia tidak dikenali apabila tidak menggunakan kunyah tersebut.
Jadi, jika anda merasa diri mulia, sebaiknya anda gunakan nama kunyah. Namun bukankah merasa mulia itu bagian dari ketidakmuliaan?