Sebagian orang berpandangan, idul Fitri berarti Hari Raya Kesucian, karena al-fithr diambil dari kata al-fithrah yang berarti kesucian. Pendapat ini perlu ditinjau ulang, karena al-fithr bukanlah al-fithrah. Al-fithrah artinaya sifat-sifat manusia ketika diciptakan pertama kali. Sifat-sifat ini antara lain, manusia memiliki keimanan dasar untuk menyembah Allah Swt dan manusia memiliki sifat-sifat kelemahan. Sedangkan al-fithr berarti makan atau tidak berpuasa.
Dalam hadis shahih yang diriwayatkan Imam al-Tirmidzi dari Siti Aisyah, Nabi Muhammad Saw bersabda:
الفِطْرُ يَوْمَ يُفْطِرُ النَّاسُ، وَالأَضْحَى يَوْمَ يُضَحِّي النَّاسُ
“idul fitri itu adalah hari ketika manusia makan (tidak berpuasa) dan idul adha adalah hari ketika manusia berkurban (Hr. al-Tirmidzi)
Pada hari raya ketika umat Islam diharamkan berpuasa da diharuskan maka, selayaknya kita merenungkan sekaligus mengevaluasi, apakah kita sudah sampai pada tujuan puasa yang kita kerjakan selama satu bulan yang lalu.
Umat yang Terburuk
Apabila kita lihat dalam skala Indonesia, maka seharusnya keadaan bangsa Indonesia sudah menjadi bangsa yang baik. Sebab umat Islam Indonesia yang mayoritas, seharusnya sudah mewarnai kehidupan bangsa ini. Andai kata dari jumlah umat Islam Indonesia yan mencapai 200 juta itu, yang 150 juta berpuasa, maka dampak positif puasa telah mewarnai kehidupan bangsa ini. Jika rata-rata Umat Islam Indonesia berumur 50 tahun dan mereka sudah berpuasa Ramadhan sejak berusia 15 tahun, maka umat Islam berarti telah melaksanakan ibadah puasa selama 35 ramadhan atau 1050 hari. Dengan jumlah puasa seperti ini dan dilakukan oleh `50 juta umat Islam, seyogyanya bangsa ini berperilaku sebagaimana orang yang berpuasa yaitu berperilaku takwa.
Tapi kenyataannya tidak demikian. Bangsa Indonesia yang mayoritas beragama Islam ini, yang setiap bulan selalu berpuasa, ternyata masih terpuruk dalam segala bidang, khususnya bidang moralitas.
Terkorup Keenam
Laporan Transparansi Internasional (TI) bulan oktober 2005 lalu menyebutkan, Indonesia masih menempati urutan keenam dari Negara-negara terkorup di Asia. Dan tentunya, para koruptor itu pada bulan Ramadhan ini melakukan ibadah puasa. Frekuensi kejahatan juga meningkat di mana-mana. Padahal orang yang melakukan itu orang yang berpuasa pada bulan Ramadhan. Pertanyaan kini, kenapa ibadah puasa belum mengubah perilaku umat Islam Indonesia?
Selama Ramadhan, kita menyaksikan masjid selalu dipenuhi orang-orang yang melaksanakan shalat tarawih dan qiyam al-lail. Pada hari jum’at, mesjid-mesjid dipenuhi orang yang melaksanakan kewajiban salat Jumat. Apabila, sasaran salat adalah untuk mencegah perbuatan keji dan mungkar, maka seharusnya perbuatan keji dan munkar di Indonesia menurun drastia, karena penduduknya orang-orang yang selalu mengerjakan shalat. Tapi, kenyataannya tidak demikian. Banyak orang salat, tapi masih melakukan kejahatan. Banyak orang salat malam (tahajud), tapi masih korupsi. Banyak orang tinggal di masjid, tapi masih melakukan larangan-larangan Allah Swt. Pertanyaan selanjutnya, kenapa shalat belum mengubah perilaku umat Islam Indonesia?
Pada bulan Ramadhan lalu, banyak sekali umat Islam yang membayar zakat. Sedangkan zakat disyariatkan untuk menyucikan pembayar zakat sekaligus membersihkan mereka dari sifat-sifat bakhil dan cinta harta benda. Alquran mengatakan,
خُذْ مِنْ أَمْوَالِهِمْ صَدَقَةً تُطَهِّرُهُمْ وَتُزَكِّيهِمْ بِهَا وَصَلِّ عَلَيْهِمْ إِنَّ صَلَاتَكَ سَكَنٌ لَهُمْ وَاللَّهُ سَمِيعٌ عَلِيمٌ
“ambillah zakat dari sbeagian harta mereka, dengan zakat itu, kamu membersihkan dan menyucikan mereka, dan berdoalah untuk mereka. sesungguhnya do’a kamu itu (menjadi) ketentraman jiwa bagi mereka. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui”. (QS. at-Taubah:103).
Dengan membayar zakat, diharapkan manusia tidak lagi bakhil dan cinta harta. Tapi kenyataannya tidak demikian, banyak orang membayar zakat tapi jiwanya masih tergila-gila pada harta. Banyak orang membayar zakat, tapi masih tetangganya masih kelaparan. Lebih-lebih setelah harga bahan bakar minya (BBM) naik, banyak nelayan yang tidak bisa mencari ikan, dan bahkan menombok (menambahi) untuk membeli solar. Akibatnya mereka jatuh di bawah garis kemiskinan dan sulit mencari makan. Pertanyaan selanjutnya, kenapa zakat belum bisa mengubah perilaku pembayar zakat di Indonesia?
Sebulan lagi Insya Allah, umat Islam Indonesia, berbondong-bondong menuju ke Tanah Suci Mekkah. Indonesia selalu disebut-sebut sebagai Negara yang paling banyak mengirimkan jamaah haji. Haji merupakan simbol dan totalitas ketaatan seorang hamba kepada Allah Swt, baik dalam bentuk fisik maupun harta. Karenanya, dengan ibadah haji diharapkan manusia menjadi makhluk yang secara total patuh kepada Allah Swt baik fisik maupun hartanya. Namun, kenyataannya tidak demikian. Banyak orang berhaji, tapi tetap melakukan kejahatan. Banyak orang berkali-kali berhaji, tapi menjadi koruptor-koruptor besar. Pertanyaan berikutnya, kenapa ibadah haji belum mampu mengubah perilaku umat Islam Indonesia?
Agama Formalitas
Pertanyaan-pertanyaan di atas dapat dijawab dengan ungkapan bahwa selama ini kita mengamalkan agama hanya sebatas formalitas belaka. Ketika pada siang hari Ramadhan kita tidak makan, minum dan berhubungan seksual dari terbit fajar sampai terbenam matahari, maka kita menganggap telah melakukan ibadah puasa. Padahal tidak makan, tidak minum, dan tidak berhubungan seksual pada siang hari, itu hanya simbol dari kemampuan kita menahan diri dari syahwat perut dan keinginan seksual. Hakikat puasa itu sendiri sesungguhnya menahan diri dari menuruti keinginan yang tidak diridhai Allah Swt. yang semuanya bersumber dari keinginan perut dan keinginan seksual.
Gerakan-gerakan seperti ruku’ dan sujud dalam salat adalah simbol ketaatan kita kepada Allah Swt. Makna hakiki dari salat adalah ketaatan (loyalitas mutlak) kepada Allah Swt baik di dalam maupun di luar salat. Maka orang yang salat seyogyanya taat pula kepada Allah Swt di luar shalat.
Zakat adalah simbol penyucian diri dari sifat-sifat tercela seperti bakhil dan cinta harta, yang diformalkan dengan mengeluarkan sebagian harta yang kita kuasai. Zakat mengajarkan manusia untuk dermawan dan tidak mencintai harta. Dengan demikian, orang yang berzakat seyogyanya membuang jauh dari sifat bakhil dan cinta harta.
Sementara ibadah haji adalah simbol ketaatan kepada Allah Swt baik fisik maupun harta, yang diformalkan dengan melakukan perjalanan ke Baitullah, yang memerlukan bekal dan kekuatan fisik. Sedangkan esensi haji adalah totalitas kepasrahan dan ketaatan manusia kepada Allah baik secara fisik maupun harta.
Tidak dipungkiri lagi, kenyataan ini menunjukkan kita beribadah baru sebatas formalitas. Itu berdasarkan kenyataan bahwa sasaran shalat, zakat dan puasa dan haji masih jauh dari perilaku kita sehari-hari.
Pertanyaan berikutnya, kenapa kita mengamalkan Islam sebatas formalitas saja ? jawabannya karena pendidikan agama yang kita terapkan selama ini hanya pendidikan formal. Pendidikan formal adalah pendidikan yang mengedepankan kecerdasan intelektual dan tidak mengintegrasikannya dengan pendidikan moral dan spiritual.
Alquran dan hadis yang dijadikan acuan pendidikan kita sama dengan Alquran dan hadis yang dipakai Nabi Muhammad Saw untuk mendidik sahabat. Tapi kenapa terjadi perbedaan out put? Para sahabat yang dididik Nabi Saw dengan Alquran dan Hadis menjadi generasi ideal yang memiliki kecerdasan intelektual dan moral-spiritual. Sedangkan pendidikan kita yang juga menggunakan Alquran dan hadis hanya melahirkan generasi yang memiliki kecerdasan intelektual, tapi tidak memiliki kecerdasan moral-spiritual,
Dengan kata lain, pendidikan kita telah melahirkan ‘intelektualitas maling’. Mengapa terjadi perbedaan itu? Jawabannya, pendidikan masa Nabi Saw bervisi mengintegrasikan antara kecerdasan intelektual dengan kecerdasan moral-spiritual. Sedang pendidikan kita hanya mengedepankan kecerdasan intelektual. Seorang sahabat Abdullah bin Mas’ud menuturkan,
كان الرجلُ منا إذا تعلَّم عشرَ آياتٍ لم يجاوزهن حتى يعرف معانيَهُن والعمل بهن.
“orang-orang di antara kami apabila belajar sepuluh ayat Alquran mereka tidak pindah ke ayat lain sebelum memahami isi dan mengamalkan kandungannya.”
Sementara pendidikan yang kita terapkan hanya mengejar silabus kurikulum. Yang penting target perkuliahan selesai akhir semester. Apakah mahasiswa memahami dan mengamalkannya tidak penting. Apabila semester depan selesai, maka mahasiswa diwisuda. Apakah mahasiswa itu mengamalkan ilmu-ilmu yang dia pelajari itu tidak penting. Maka dari pendidikan ini lahirlah generasi yang cerdas dalam bidang intelektual, tapi keropos keropos dalam bidang moral. Dalam bahasa sederhana, lahirlah generasi pintar tapi tidak benar.
Keadaan bangsa Indonesia pada masa mendatang akan lebih terpuruk, jika pendidikan yang ada tidak dibenahi mulai sekarang. Pembenahannya dengan mengintegrasikan antara kecerdasan intelektual dengan kecerdasan moral-spiritual, seperti yang diterapkan Rasulullah Saw kepada para sahabat. Para pendidik baik di lingkungan keluarga, sekolah maupun masyarakat, jangan memberikan nilai jika anak didik hanya cerdas secara intelektual tapi terpuruk secara moral-spiritual. Kecerdasan moral-spiritual tidak boleh dipisahkan dengan kecerdasan intelektual. Apabila pendidikan yang mengintegrasikan kecerdasan intelektual dan moral-spiritual itu diterapkan, maka akan lahir generasi yang akan melaksanakan ibadah puasa secara formal dan esensial. Generasi yang melakukan shalat baik formalitas maupun essensialnya, generasi pembayar zakat yang tidak bakhil serta tidak mencintai harta, generasi yang menjalankan ibadah haji dan patuh secara mutlak kepada Allah Swt.
Sebaliknya apabila Indonesia tidak membenahi sistem pendidikannya, maka prediksi Nabi Saw akan terwujud. Nabi Saw bersabda, “tidak akan datang suatu hari, kecuali ia lebih buruk dari hari sebelumnya. (HR. al-Bukhari)
Karenanya, puasa, zakat dan haji harus mampu mengubah perilaku kita, dari tidak baik menjadi baik. Apabila tidak semuanya hanya rutinitas ritual yang datang setiap saat tanpa membawa perubahan apa-apa. Inilah yang diprediksi Nabi Saw dalam hadis shahihnya yang diriwayatkan Imam Ahmad bin Hanbal, Imam al-Baihaqi dan Imam al-Thabrani. Nabi Saw bersabda:
رُبَّ صَائِمٍ لَيْسَ لَهُ مِنْ صِيَامِهِ إِلَّا الْجُوعُ وَالْعَطَشُ، وَرُبَّ قَائِمٍ لَيْسَ لَهُ مِنْ قِيَامِهِ إِلَّا السَّهَرُ.
Dan inilah sebenarnya formalisme agama, yaitu ketika amal ibadah dikerjakan tetapi tidak membawa dampak perubahan perilaku apa-apa bagi pelakunya. Semoga Idul Fitri dapat mengubah perilaku kita, sehingga kita tidak terjebak dalam formalisme agama.
Tulisan di atas adalah teks khutbah Idul Fitri KH. Ali Mustafa Yaqub di Masjid Raya Pondok Indah Jakarta, 1 Syawal 1426 H/ 4 November 2005 M, disadur dari buku Haji Pengapdi Setan