Tahun-tahun belakangan muncul program televisi yang menayangkan anak kecil penghafal Al-Quran. Label hafiz Al-Quran pun disematkan oleh pihak penyiar kepada anak-anak lucu nan belia ini. Tiket surga bagi orang tuanya, syafaat dari api neraka. Penerus generasi emas Islam di masa mendatang.
Gambaran sempurna kemuliaan dan keagungan Al-Quran yang mudah diamalkan dan dilantunkan, sebagai representasi Islam hakiki yang menjunjung tinggi Al-Quran sebagai idola penyejuk hati nurani. Setidaknya frame seperti ini yang menjadi kerangka bingkai program televisi dengan tajuk pencarian bakat tersebut.
Padahal sejak masa Syaikh Shaleh Darat, kaum santri di pesantren-pesantren salafdihimbau agar tidak memperjual-belikan Al-Quran dengan harga murah. Tidak melantunkannya untuk hanya sekedar mencari harta, apalagi popularitas.
Hal ini bisa kita temukan dalam kitab ilmu Al-Quran karangannya yang berjudul al-Mursyid al-Wajiz fi Ilm Al-Quran al-Aziz. Dilanjutkan oleh muridnya yakni Kiai Moenawwir Krapyak yang sangat bersahaja. Kemudian diteruskan oleh Kiai Arwani Kudus yang melarang setiap santrinya unjuk gigi di ajang MTQ.
Tak mengherankan apabila doa Kiai Arwani mustajab, setiap muridnya yang lancang ikut MTQ selancar apapun hafalannya akan rontok begitu naik podium, ini karena beliau adalah sosok Kiai yang tulus. Para Kiai menempatkan Al-Quran sebagai semulia-mulianya petunjuk dari Allah, bukan sekedar alat untuk mencari harta benda apalagi popularitas.
Idealitas para Kiai di atas adalah cerminan dari sikap hati-hati atas peringatan Rasulullah saw agar jangan sampai Al-Quran hanya ditempatkan di kerongkongan. Al-Quran hanya dijadikan alat, teks kering yang meskipun indah namun menjadi kosong tak hidup.
Keindahan Al-Quran dimanfaatkan hanya untuk kepentingan pribadi bukan untuk kepentingan Al-Quran itu sendiri. Para Kiai khas Nusantara anti akan hal semacam ini, ulama kita cenderung lebih bijaksana dan berhati-hati.
Ajang hafiz televisi adalah bentuk paling ekstrem dari gerakan materialisasi Al-Quran, lebih berbahaya dari MTQ. Nalar penyiaran televisi yang akrobatik-dramatis disusupkan dalam bakat hafalan Al-Quran. Mengubah Al-Quran hanya menjadi tontonan semata, sarana untuk unjuk kebolehan mencapai popularitas.
Televisi memilih anak belia sebagai objek tayangan karena kecenderungan orang lebih netral (suka) ketika melihat anak-anak dengan polahnya yang menggemaskan. Sementara di sisi lain si anak akan termotivasi menghafal Al-Quran karena hendak dipentaskan semata.
Intinya, Al-Quran diseret-seret ke dalam arus pasar yang sangat pragmatis. Bagaimana tayangan hafiz terlihat menghibur bahkan membius penontonnya. Terlebih pada bagian umbar-umbaran amal dan pujian yang mendapatkan porsi cukup banyak di samping pertunjukan hafalan.
Orang tua si anak diajak maju ke panggung untuk menceritakan bagaimana kisah pilunya hingga anaknya bisa jadi hafiz macam itu. Dari amalan kecil hingga besar, dari yang wajib hingga yang sunnah tidak luput ia ceritakan.
Sedangkan mengumbar amal keseharian adalah hal yang sangat dihindari oleh ulama kita, karena riskan akan timbul riya’ di dalamnya. Sementara riya’ adalah perbuatan syirik khafiy atau tersembunyi yang jelas ini dibenci karena akan menggugurkan amal.
Hal ini sebenarnya sudah sangat masyhur dan kurang elok jika disinggung, namun apa boleh buat nilai normatif ini nampak sudah semakin tergerus oleh zaman.
Selanjutnya si anak dipuji-puji sampai senyumnya berubah tidak lagi lugu seperti dulu. Pujian yang tidak pada tempatnya itu mengandaikan senyum anak manusia menjadi senyum malaikat penjaga surga.
Ia kehilangan senyum manusianya sedari dini karena mulai merasa hanya ia yang pantas menjadi tiket orang tuanya menuju surga dan penyelamat dari api neraka.
Jangan harap si anak mendapatkan pelajaran ideal dari ajang ini karena yang ia dapat hanya bagaimana caranya menjadi penampil Al-Quran, bukan ‘pembawa’ Al-Quran.
Akhirnya Al-Quran hanya ada di kerongkongan semata, hanya menjadi ujaran-ujaran tak bermakna bagi mereka.
Televisi tidak akan menayangkan, pada ajang ini, nilai-nilai anti radikalisme, prinsip tawazun, tawasuth, dan tasamuh. Alasannya sederhana, karena nilai-nilai tersebut adalah obat bagi umat Islam agar dapat berpikir logis dan karena itu obat, pasti akan terasa sedikit pahit dan menjemukan.
Sementara bagi televisi setiap yang menjemukan adalah najis dan patut dihindari meskipun subtansinya baik. Mereka hanya mengejar rating, tayangan jelek bisa anjlok tak ditonton orang. Harusnya nalar pragmatis macam ini diwaspadai dan disadari oleh umat. Agar tak mudah kagum, tak gampang kena sihir oleh nalar layar kaca.
Selanjutnya mereka akan membela diri bahwa kegiatannya tersebut termasuk bagian dari dakwah. Sudah saatnya umat muslim merajai segmen yang lebih luas, dakwah di layar kaca tentu lebih efektif dan progresif. Itu kata mereka.
Semestinya mereka paham bagaimana idealitas dakwah. Bahwa tidak ada yang instan dalam berdakwah, jalan dakwah instan hanya dilakukan oleh ekstrimis untuk merekrut anggota teroris. Dakwah instan hanya membius, menyajikan hanya hak-hak yang indah-indah tanpa disertai kewajiban yang harus ditanggung.
Semestinya mereka mengerti bedanya merajai dan dirajai. Begitu mereka sudah bisa masuk menjadi bagian dari program televisi mereka merasa sudah dapat menguasainya, menakhlukkannya. Padahal yang terjadi mereka dipaksa untuk tunduk pada nalar pragmatis layar kaca. Didekte bagaimana caranya bicara, bercerita, menjawab, menghadapkan wajah, ekspresi, hingga memakai busana. Mereka terjerumus dalam alur setting layar kaca, celaka.
Beruntung para santri tak hendak dan tak ingin mengikuti ajang pencarian bakat macam itu. Nalar santri adalah nalar penjaga khazanah keilmuan yang termasuk di dalamnya ilmu Al-Quran.
Sedangkan tayangan macam itu sangat riskan menjadi tradisi meletakkan Al-Quran di kerongkongan. Riskan menjadi ajang kaderisasi dan pembibitan sosok Abdullah bin Muljam di Nusantara. Dikhawatirkan menjadi bom waktu yang akan mengahancurkan tradisi ilmu Al-Quran yang telah dibangun oleh para ulama dengan karya dan usaha sepanjang hayatnya.