Tarawih merupakan bentuk jamak dari kata “tarwihah” yang berakar dari kata “raha”, artinya istirahat. Adapun disebut tarawih karena para orang yang melakukan shalat ini diperkenankan duduk sejenak untuk rehat setiap pergantian dua rakaat.
Shalat Tarawih merupakan salah satu ibadah sunnah yang dilakukan oleh Rasulullah saat bulan ramadhan tiba. Ini dilakukan semata-mata untuk mengharapkan ridha dan pahala dari Allah, sebagaimana dijelaskan dalam sebuah hadis:
عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم قَالَ مَنْ قَامَ رَمَضَانَ إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ
“Dari Abu Hurairah, sesungguhnya Rasulullah berkata “Barangsiapa mendirikan salat di Bulan Ramadhan karena iman dan mengharap pahala, maka diampunilah dosanya yang telah lalu.” (HR. Bukhari)
Pada dasarnya, salat tarawih termasuk salat tathawwu’. Shalat tathawwu’ merupakan amal yang apabila dilakukan mendapat pahala, jika ditinggalkan, juga tak apa. Semua shalat, selain fardhu, termasuk dalam kategori ini.
Maka, status shalat tarawih sama seperti salat tahajud, witir, dhuha, dan sebagainya, hanya saja ia dilakukan di Bulan Ramadhan, bulan yang istimewa, tentu pahalanya juga.
Lalu, bagaimana jika shalat tarawih terlewatkan, padahal kita tak ingin kehilangan pahala?
Dalam pelaksanaannya, para ulama membagi shalat sunnah menjadi dua, pertama, shalat sunnah yang dilaksanakan karena adanya sebab tertentu, seperti shalat sunnah gerhana matahari ataupun bulan. Shalat semacam ini tidak bisa di-qadha. Sebab ia hanya dilakukan jika bertepatan dengan momen tertentu.
Kedua, shalat sunnah yang dilaksanakan pada waktu yang telah ditentukan, seperti shalat id, dhuha, witir, dan sebagainya. Shalat ini bisa di-qadha. Sebab kesempatan untuk melakukannya pasti terulang dan dapat dipastikan. Pun, ada rentang waktu yang cukup luas untuk melaksanakan.
Berbeda dengan momen gerhana matahari dan rembulan yang terjadi secara acak dengan waktu yang sangat terbatas.
Shalat tarawih termasuk kategori kedua, maka ia bisa di-qadha. Menurut Imam Nawawi dan sebagian ulama syafi’iyah, hukum meng-qadha-nya sunnah. Ini didukung dengan hadis dari Umar bin Khattab:
عُمَرَ بْنَ الْخَطَّابِ يَقُولُ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: مَنْ نَامَ عَنْ حِزْبِهِ أَوْ عَنْ شَيْءٍ مِنْهُ فَقَرَأَهُ مَا بَيْنَ صَلَاةِ الْفَجْرِ وَصَلَاةِ الظُّهْرِ كُتِبَ لَهُ كَأَنَّمَا قَرَأَهُ مِنَ اللَّيْلِ
“Umar bin Khattab berkata: Rasulullah berkata: barangsiapa tertidur dari wiridnya dan atau sebagian darinya, lalu ia membacanya di antara shalat fajar dan shalat dzuhur, maka dicatatlah ganjaran seolah-olah ia melakukannya di waktu malam.” (HR. Abu Dawud dan Nasa’i)
Dalam ‘Aunul Ma’bud, dijelaskan bahwa hadis tersebut menunjukkan kesunnahan meng-qadha shalat tahajud apabila terlewat untuk melakukanya di malam hari. Dalam komentarnya atas hadis ini, as-Sindi mengkonfirmasi bahwa hadis ini merupakan dalil bahwa shalat sunnah juga dapat di-qadha, termasuk shalat tarawih.
Redaksi hadis yang lebih tegas diriwayatkan oleh Abu Said al Khudri:
عَنْ أَبِي سَعِيدٍ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ نَامَ عَنْ وِتْرِهِ، أَوْ نَسِيَهُ، فَلْيُصَلِّهِ إِذَا ذَكَرَهُ
Dari Abu Said al Khudri ia berkata: Rasulullah bersabda “barangsiapa tertidur atau terlupa dari witirnya, maka [gantilah] shalatnya saat teringat.” (HR. Abu Dawud dan Tirmidzi)
Asy Syaukani berpendapat bahwa hadis ini menunjukkan disyariatkannya qadha salat witir apabila terlewat. Bahkan al-Iraqi mengatakan bahwa sebagian sahabat seperti Ali bin Abi Thalib, Sa’ad bin Abi Waqqash, Abdullah bin Mas’ud, Abdullah bin Umar, serta beberapa sahabat lain berpendapat senada.
Namun, shalat tarawih hanya dapat di-qadha saat bulan Ramadhan saja, sebab ia merupakan khususiyah (ibadah khusus) Ramadhan.
Wallahu a’lam.