Kandasnya ikhtiyar Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) untuk memperjuangkan eksistensinya pada Senin, (7/5/2018) di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) DKI Jakarta menyisakan polemik. Pasalnya, dengan ditolaknya gugatan itu, berarti secara resmi HTI dinyatakan sebagai ormas terlarang di Indonesia.
Soal usaha membubarkan HTI sebetulnya sudah dilakukan oleh pemerintah sejak tahun 2017 lalu. Hal tersebut dilakukan karena sebagai sebuah organisasi, HTI dianggap memiliki visi dan misi yang bertentangan dengan Pancasila dan UUD 1945, yaitu bertekad ingin mengubah sistem pemerintahan Indonesia menjadi sistem khilafah.
Kalau tidak percaya sila lihat, simak, dan dapatkan segera buletin jumat yang berafiliasi dengan HTI di masjid-masjid terdekat anda. Sangat melimpah ruah. Bila perlu pre-order.
Maka soal pembubaran HTI melalui (Perppu) No. 2 tahun 2017 tentang Ormas oleh Pemerintah jelas menjadi hal yang niscaya. Perppu itulah yang belakangan digugat oleh HTI dan berujung pada penolakan guguatan tersebut oleh PTUN DKI Jakarta belum lama ini.
Tentu saja publik pun semakin riuh. Ada yang merengek sedu-sedan, ada pula yang riang gembira. Yang menolak kenyataan putusan hakim suaranya kian nyaring. Beragam klaim pun disematkan kepada pemerintah.
Ada yang bilang rezim tidak demokratis lah. Ada pula yang bahkan menuduh rezim ini zalim dan anti-Islam. Mereka pun begitu percaya diri pakai klaim ‘umat Islam’, meski tidak mewakili seluruh entitas muslim di bumi pertiwi.
Demikian pula sikap yang menyambut palu hakim itu dengan apresiatif. Mereka menilai pembubaran HTI adalah tepat untuk ormas yang memang anti-Pancasila dan UUD 1945 sejak dalam kandungan. Yang radikal terhadap NKRI dan ingin merongrong harmoni NKRI.
Pro dan kontra pembubaran HTI akhirnya terus saja menggelinding. Namun bukan HTI namanya kalau lantas berhenti berjuang setelah gugatannya ditolak. HTI diketahui bakal mengajukan banding atas putusan Hakim yang menolak gugatannya itu.
Stop! Sampai disini, izinkan saya sedikit bercerita tentang seorang Raja bernama Mahmud yang konon selama memerintah dikelilingi oleh para penjilat dan penghasut. Setiap senyum yang ia temui baik dari menteri, kolega, bahkan handai tolan, rasanya seperti menyimpan kebencian paripurna. Dia akhirnya tak bisa mempercayai siapa pun di istana, kecuali sang putra mahkota.
Ajaib, pemuda ini pun ternyata bisa mencium bahaya istana, dan pada suatu hari berkata pada ayahnya, ‘duhai Ayahanda, mari kita pura-pura bertengkar dan kita tunjukkan pertengkaran kita terang-terangan. Dengan kata lain, mereka yang diam-diam membenci dan ingin menghancurkanmu pasti akan segera menarikku dalam rencana mereka pada saat hari itu tiba’.
Ringkas cerita, meski dengan sangat berat hati dan melalui perdebatan alot, mereka berdua akhirnya bersepakat dalam suatu konspirasi konfrontasi. Sekali, dua kali, tidak ada seorang pun yang percaya, karena sang putra mahkota memang dikenal amat mencintai ayahnya.
Sampai kali ketiga, sang Raja akhirnya mengumumkan eksekusi mati terhadap sang anak karena suatu konspirasi musabab delik perkara yang tak terampuni. Maka, segera saja para pembenci Raja berkoalisi membela si Putra Mahkota. Puncaknya, setelah bebas dari hukuman, sang Putra Mahkota lantas mengumumkan pemberontakan secara terbuka; ia berjanji untuk menggulingkan posisi ayahnya.
Terang saja, menyaksikan momentum itu, para pembenci dan musuh Raja, baik yang terang-terangan maupun yang keep silent dengan bersemangat menjilat sang Putra Mahkota. Sementara itu, si anak juga tak putusnya mengirim pesan rahasia dan membeberkan segala skandal pada Sang Raja. Dengan demikian, si anak akhirnya berhasil melindungi ayahnya sekaligus merontokkan kekuatan oposisi.
Tentu saja, bagaimanapun itu adalah sebuah kisah. Kisah yang saya adaptasi dari sebuah fiksi karya Daud ibn Ibrahim al-Shawni dalam The Madness of God. Dan jika fiksi adalah mengaktifkan imajinasi, maka saya membayangkan bahwa penggalan kisah itu di satu pihak mirip sekali dengan polemik yang mengiringi pembubaran HTI.
Saya tidak bermaksud mengatakan bahwa Pemerintah itu berkonspirasi dengan HTI. Bukan. Wallahi, bukan itu.
Akan tetapi saya kira, kita bahkan sama-sama tahu bahwa HTI memanglah ormas yang bagaimanapun, tujuannya adalah untuk menegakkan Khilafah Islamiyah. Dan dalam proses itu, tak jarang kita temui umpatan-umpatan tengik untuk mengutuk kelompok lain yang menganut sistem demokrasi, Pancasila serta UUD 1945 dalam konteks hidup berbangsa dan bernegara. Bagi mereka itu semua adalah kafir, Thogut dan segudang bahasa-bahasa geram lainnya karena tidak sesuai dengan tuntunan Islam, meski Kanjeng Nabi sendiri tidak memberi pakem dalam konteks itu.
Maka ketika penolakan gugatan PTUN itu di-follow up oleh niatan HTI untuk mengajukan banding di peradilan dan lalu ada ‘Partai Allah’, pihak yang mendukungnya secara terang-terangan, itu sangat aneh.
Semestinya, penolakan itu disambut dengan legowo. Dengan kata lain, putusan sang pengadil harusnya dipahami sebagai upaya Pemerintah dalam menyelamatkan konsistensi dan komitmen ideologi HTI. Bukan malah menuduh rezim zalim.
Bayangkan, jika saat itu gugatan HTI dikabulkan oleh Peradilan yang menganut demokrasi, betapa itu sama saja menjual harga dirinya kepada seonggok sistem kafir?
Mau dikata anak haram? Enggak kan. Yaudah. Wong kita itu hidup di Indonesia. Repot pak, kalau sedikit-sedikit haram. Pancasila haram. Demokrasi kafir. Lha kalau gitu ya hari-hari kita dosa tok isinya.
Oiya, setiap lembar uang rupiah kita itu ada ternyata Pancasila-nya lho. Jadi, jangan sekali-kali antum beli makan dengan uang. Tapi nandur sendiri aja. Halal halal…
Wallahu A’lam.