Tahun politik telah datang. Para tokoh, atau yang menokohkan diri mulai tampil ke publik. Mereka tiba-tiba rajin datang ke Kyai, mendekat ke ulama untuk minta restu dan dukungan. Mereka datang ke kantong-kantong kerumunan rakyat, membuat keramaian di kota dan desa untuk memperkenalkan diri, agar saatnya nanti bisa mendapatkan dukungan. Tanpa rasa segan dan enggan mencitrakan diri sebagai pembela agama, pembela kitab suci, dan pembela rakyat yang idam kesejahteraan.
Popularitas dan elektabilitas menjadi mantra yang menyihir ruang-ruang sosial kita hari ini. Demi menjaga elektabilitas, seseorang memuja-muji tokoh yang diidolakan, dan mencibir lawan-lawan politiknya. Dunia maya, media sosial, tempat kerja, sekolah, warung kopi, bahkan tempat ibadah, tak pernah sepi. Rakyat yang sebenarnya penonton, seolah-olah menjadi pemainnya sendiri.
Ujung pangkal dari semua hiruk-pikuk politik ini adalah jabatan dan kekuasaan.
Jabatan memang menyilaukan, dan membuat lupa. Yang saudara jadi lupa saudaranya, yang tetangga jadi lupa tetangganya, yang punya agama jadi lupa pegangannya. Pepatah Jawa mengatakan, “melik nggendhong lali”. Kuasa atau jabatan membawa lupa.
Haruskah kita memilih seorang pemimpin yang gila jabatan, kesana kemari mengemis kekuasaan, menjajakan diri agar terpilih jadi pejabat? Pemimpin seperti itukah yang akan kita pilih?
Sebelum menentukan pilihan, ada baiknya kita berkaca diri dan melihat sembari merenungkan arti jabatan dan kekuasaan.
Jika politik (siyasah) diartikan sebagai upaya untuk mendatangkan kemaslahatan, maka inilah tanggung jawab seorang yang punya jabatan.
Tantangan orang yang memegang jabatan adalah: bisa amanah atau tidak dengan jabatan itu. Jika terpeleset dari amanahnya, bukan maslahat yang akan datang, tapi sebaliknya membawa mudarat. Dampaknya tidak hanya ke perorangan tapi rakyat banyak. Jika orang mencuri harta orang lain, maka hanya satu orang yang akan dirugikan. Tapi jika pejabat melakukan korupsi uang negara, maka akan merugikan rakyat banyak.
Katakan ada pejabat yang melakukan korupsi anggaran pendidikan, tentu dampaknya pada generasi bangsa yang sekolahnya menjadi buruk. Kartu KTP yang harusnya bagus, tapi karena uangnya dikorupsi, maka kualitasnya sangat jelek dan gampang rusak.
Apakah kita anti jabatan? Tentu tidak. Namun jabatan bukan prestise yang harus dikejar jungkir balik.
Pemimpin itu prestasi bagi orang yang memiliki integritas (jujur dan terpercaya), serta memiliki kemampuan (kredibilitas). Seorang pemimpin, karena memiliki jiwa kepemimpinan yang kuat, akan tetap dijadikan panutan meski sudah lepas daru jabatannya. Mereka tetap tampil biasa, tidak ada post power syndrome. Tetap mencintai dan dicintai rakyat.
Tapi, sekali lagi, jabatan itu membawa lupa. Gila jabatan bisa berakibat lupa segala-galanya.
Karena itu, para ulama pendahulu kita mewanti-wanti untuk menghindari penyakit cinta jabatan (hubbul jaah).
Adalah Kyai Sholih bin Umar dari Semarang, yang dikenal sebagai Mbah Sholeh Darat, guru dari Kyai Hasyim Asy’ari dan Kyai Ahmad Dahlan, menerangkan bahwa cinta jabatan merupakan pintu masuk setan ke dalam diri kita. Setan selalu mengintip-intip di ruang hati, dan dia akan masuk dari pintu yang bernama cinta jabatan.
Bahkan Mbah Sholeh dalam tafsir Faidlurrahman, ketika mengartikan kata hinzir yang arti literalnya adalah babi, dalam ayat al-Quran tentang diharamkannya babi, beliau mengartikannya dengan jabatan. Ini adalah metode penafsiran yang jauh (ba’id) dari makna asalnya. Tapi pesan penting yang ingin disampaikan Mbah Sholeh adalah: haramnya gila jabatan.
Jabatan atau kekuasaan datang dari Allah, dan Dia yang akan mencabutnya, sebagaimana difirmankan:
قل اللهم مالك الملك تؤتى الملك من تشاء وتنزع الملك ممن تشاء وتعز من تشاء و تذل من تشاء بيدك الخير إنك على كل شيئ قدير
“Katakanlah, Ya Allah Tuhan yang memiliki kekuasaan, Engkau memberikan kekuasaan kepada orang yang Kaukehendaki. Engkau mencabut kekuasaan dari orang yang Kaukehendaki. Engkau muliakan orang yang Kaukehendaki. Engkau menghinakan orang yang Kaukehendaki. Di tangan-Mu segala kebajikan. Engkau maha kuasa atas segala sesuatu. ”
Tapi kita harus sadar bahwa di alam demokrasi, sumber kekuasaan adalah suara rakyat. Maka timbanglah hati nurani kita masing-masing untuk memilih calon pemimpin kita nanti.
Hindarkan diri dari puja-puji yang tidak masuk akal. Jangan sampai suara kita terbeli oleh orang-orang yang rumah hatinya telah dimasuki setan dari pintu gila jabatan. Apalagi tertipu oleh orang-orang yang di bibirnya menyeru nama Tuhan, tapi hatinya telah dikuasai setan. Wallahu a’lam bisshowab…