21 April biasanya diperingati sebagai Hari Kartini, upaya mengenang perjuangan melawan penindasan perempuan. Pramoedya Ananta Toer menulis novel berjudul Panggil Aku Kartini. Sebuah pesan perjuangan menuntut persamaan hak dan melawan segala penindasan atas dirinya, siapapun dia dan dari kalangan manapun. Tak ada embel-embel gelar keningratan yang dipakai oleh seorang Kartini saat berjuang,
Tapi, penindasan atas perempuan masih berlanjut hingga sekarang. Seorang Marxis perempuan, Luce Irigaray, menuliskan fantasi dalam menggambarkan seorang perempuan adalah ‘lelaki yang tidak sempurna’, inferior, dan tidak rasional, adalah bagian dari penalaran bersifat laki-laki. Penindasan atas tubuh perempuan bisa terjadi secara sadar ataupun tidak sadar. Menurut Irigaray satu-satunya cara mengubah status perempuan secara fundamental adalah dengan menciptakan pengertian simbolik perempuan yang kuat.
Di masa pascamodern ini, solusi dari Irigaray tersebut semakin sulit dilakukan. Sebab, konstruksi atas tubuh perempuan atau imaji akan keperempuanan dibentuk dalam berbagai media seperti sastra, film, sinetron hingga iklan. Pembentukan ini kebanyakan masih bersifat memandang perempuan sebagai oposisi dari laki-laki, di mana pengertian dari oposisi tersebut selalu diposisikan istimewa. Namun keduanya didasarkan pada penindasan pada salah satu pengertian, namun keduanya diikat satu sama lain dalam konflik kekerasan.
Dalam konflik ini, laki-laki selalu membutuhkan kehadiran perempuan, namun pada saat yang sama perempuan dipandang rendah oleh laki-laki. Seorang novelis, Helene Cioxus percaya untuk melawan tatanan patriarkal adalah dengan praktek menulis feminin, dengan menyuarakan suara perempuan yang selama ini tidak didengar dan mengokohkan simbol perempuan.
Namun di wilayah filsafat Islam, perempuan tidak mendapatkan porsi perhatian yang memadai. Mulyadhi Kertanegara malah menegaskan perempuan dalam kajian filsafat Islam hanyalah bagian dari pasangan laki-laki.
Ibnu Sina misalnya menuliskan sebuah kisah berjudul Salaman wa Absal, mengisahkan dua orang bersaudara satu ibu namun beda ayah, yaitu Salaman dan Absal. Absal yang lebih muda, berperawakan gagah, tampan dan cerdas. Diceritakan bahwa istri Salaman menginginkan dan jatuh cinta kepadanya, sehingga mencari cara apapun untuk mendekatkan Absal kepadanya. Maka dimintanya suami, Salaman, seorang raja dunia sebelum Iskandar Agung, untuk membawa Absal, saudara tirinya itu ke dalam rumah tangganya. Semula Absal menolak karena tidak ingin tinggal di rumah saudara tersebut sebab ada wanita lain, meskipun itu kakak iparnya sendiri. Tetapi, setelah diyakinkan oleh Salaman, maka Absal menyetujuinya.
Singkatnya, istri Salaman ini menjalankan tipu daya dengan mengawinkan Absal dengan saudaranya. Dengan maksud ingin membagi suami dengan saudaranya agar dia bisa bersama Absal. Namun, saat menjalankan tipu dayanya tersebut istri Salaman ketahuan oleh Absal, dan Absal melaporkannya ke Salaman. Namun istri Salaman yang sakit hati kemudian meracun Absal dan meninggallah Absal. Salaman yang merasa bersalah dan mengucilkan diri dan menghukum istri dan pembuat racunnya atas kesalahan tersebut juga dengan meminum racun. Inilah cuplikan kisah dari Salaman wa Absal.
Di cerita tersebut, perempuan digambarkan sebagai bagian dari nafsu, yang menurut Al-Thusi, terutaman nafsu syahwat (seks) dan nafsu ghadlabiyyah (angkara murka). Dibandingkan dengan laki-laki yang digambarkan sebagai sosok yang mulia dan mempunyai kebenaran sejati. Penggambaran seperti ini tidak hanya berlaku di dunia Islam saja namun juga bisa berlaku di mana saja.
Kembali ke masa pascamodern, kita seakan makin terlena dengan konstruksi akan perempuan tidak cuma dari tulisan, tapi juga melalui media-media visual lainnya. Film seperti Ayat-ayat Cinta, Cinta Suci Zahrana, Ketika Cinta Bertasbih, Surga yang Tak Dirindukan hampir menguasai wacana pembentukan citra perempuan sejati dalam persepsi yang ditampilkan seperti di film tersebut. Yaitu, perempuan yang selalu dinomorduakan dalam lingkungan laki-laki, dengan selalu mencari atau melegitimasi diri dari keberadaan laki-laki. Belum lagi jika kita bicara di wilayah yang lebih luas, sastra misalnya.
Kebanyakan orang mengatakan bahwa Islam agama yang ramah atas perempuan, namun kekerasan perempuan tidak sedikit terjadi bahkan di negara mayoritas penduduknya beragama Islam seperti Indonesia. Apakah ajaran Islam yang ada dalam diri setiap pemeluknya tidak bisa menghentikan perlakuan jahat atas perempuan? Mungkin ini pertanyaan kita semua. Namun perlu bagi kita menengok bahwa kita sebagai subjek, mengutip pemikiran Pierre Bourdieu soal Habitus, haruslah menerima penanaman struktur sosial, dalam hal ini agama, ke dalam pengalaman mental dan subyektif dari manusia itu sendiri.
Oleh sebab itu, manusia yang hidup di dunia ini haruslah mendukung nilai-nilai yang telah diatur oleh pihak yang dominan dan menganggap posisi dominan tersebut sebagai pembuktian dirinya dan disukai secara kolektif.
Jadi, jika Islam adalah agama yang mendudukan perempuan dalam posisi yang terhormat maka seharusnya pemeluknya menjalankan ajaran tersebut, asal otoritas keislaman sebagai pihak yang dominan melakukan apa yang ditulis oleh Irigaray yaitu menciptakan simbolik perempuan yang kuat dan menanamkannya dalam pikiran pemeluknya. Bukan sebaliknya, malah menegaskan perempuan hanyalah separuh dari laki-laki.
Fatahallahu alaihi futuh al-arifin