Boleh saja Socrates menyatakan bahwa pernikahan ibarat sangkar emas, yang diluar ingin masuk dan yang didalam ingin keluar. Ataupun pandangan kaum sufi, bahwa sebuah pernikahan antar sepasang kelamin merupakan kegiatan hawa nafsu yang dilegalkan oleh agama, karenanya kaum sufi menganggap, pernikahan sebagai sebuah bentuk simbolis yang menyimpan makna rahasia hakikat hubungan antara yang transenden dan yang imanen, boleh… boleh saja!
Namun sejatinya pernikahan lebih dari itu, secara sosial keluarga adalah landasan dan pintu untuk membentuk sebuah peradaban manusia, untuk menciptakan generasi dan masyarakat yang madani, maka pernikahan merupakan pintu masuk pertama dalam memulai proses mulia tersebut.
“Hakikatnya pasangan kita adalah ‘cermin’, semakin jernih (maka rajinlah mengelapnya) maka pantulannya akan semakin jelas dan kentara, dan dengannya akan lebih mudah menemukan jati diri kita, sebagai pribadi, pasangan, sekaligus abdullah”. Jadi, melalui pernikanlah sesungguhnya kita akan benar-benar mencapai puncak status tertinggi sebagai manusia, karena disanalah kita akan menemukan hakikat kehidupan antara kita, pasangan dan Allah.
Sebagaimana dalam Surat An-nisa’ Ayat 1 yang Artinya :
Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan-mu yang telah menciptakan kamu dari diri yang satu, dan daripadanya Allah menciptakan istrinya; dan daripada keduanya Allah memperkembang biakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. Dan bertakwalah kepada Allah yang dengan (mempergunakan) nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain, dan (peliharalah) hubungan silaturahmi. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasi kamu.
Ayat di atas sesungguhnya menunjukkan bahwa sejatinya manusia merupakan mahluk sosial yang tercipta dari dirinya sendiri untuk berkembang, berketurunan, saling mengenal dan bersilaturrahim, guna mencapai derajat takwa. Dengan demikian untuk menemukan jati dirinya sebagai manusia, ia membutuhkan media dan pihak lain, karena tanpa itu sosialitas yang ia miliki akan terasa hambar dan sulit menemukan eksistensinya sebagai mahluk sosio-religius.
Salah satu rukun dalam pernikahan adalah Ijab-qabul atau sering disebut akad nikah. Akad dalam bahasa Arab berarti ikatan janji. Dalam Islam janji adalah sesuatu yang wajib ditepati, sebagaimana perintah Allah Swt. dalam Al-Quran surat Al-Maidah ayat 1, “Wahai orang-orang yang beriman penuhilah janji-janjimu.”
Setiap ikatan janji tentunya akan melahirkan hak-hak dan kewajiban diantara kedua belah pihak yang berjanji. Akad juga berarti menyimpul atau mengikat. Maka laki-laki dan perempuan yang melakukan akad nikah berarti keduanya telah mengikat simpul ikatan hidup bersama. Ikatan kebersamaan yang sakral, harmoni dan langgeng. Ikatan hubungan abadi yang akan diteruskan kelak di surga Allah Swt.
Akad Nikah di dalam Islam tidaklah seperti akad biasa. Al-Quran mengungkapkan pernikahan ini dengan tiga sebutan. Pernikahan adalah âyat (tanda kekuasaan ALLAH) sekaligus ‘uqdah (simpul ikatan) dan juga mîtsâqan ghalîzh (janji yang berat). Pernikahan adalah ikatan untuk membahagiakan pasangan, bukan membahagiakan diri sendiri.
Apa yang menjadi kekurangan yang satu, akan disempurnakan dari kelebihan yang lain. Jadi dalam ikatan pernikahan bukan lagi dua, melainkan satu dan hakikatnya dalam pernikahan itu melibatkan tiga pihak: suami, istri dan Allah. Ibarat tali, tali yang paling kuat adalah yang diuntai tiga utas. Konon menurut para ahli pertalian, ikatan setali tiga utas ini adalah ikatan yang paling kuat, sangat sulit diputuskan, kalaupun kemudian bisa terputus pastilah salah satu diantara ketiganya sudah tidak lagi menjadi bagian yang menyatu. Ketika yang satu lemah maka yang lain akan menguatkannya dan ketika keduanya lemah maka kesadaran akan Allah-lah yang akan menjadi penguat dan pemersatu, hal ini hanya bisa terjadi ketika pernikahan didasari atas landasan ibadah bukan sekedar pemenuhan rasa kemanusiaan.
Dalam Al-Quran Allah SWT menyebut akad nikah dengan mîtsâqan ghalîzh (janji yang berat). Padahal kata mîtsâqan ghalîz ini sendiri di dalam Al-Quran disebutkan hanya tiga kali. Pertama, untuk akad pernikahan (An-Nisâ: 21). Kedua, perjanjian antara para nabi dengan Allah, untuk menyampaikan risalah Allah (Al-Ahzâb:7). Dalam surat al-Ahzab ayat 8 Allah menjelaskan bahwa janji ini adalah untuk menguji siapa yang sungguh-sungguh menepati. Ketiga, janji Bani Israil terhadap Allah SWT untuk mengemban risalah tauhid di atas dunia. Janji yang karenanya Allah mengangkat gunung untuk ditimpakan kepada Bani Israil sebagai ancaman bagi mereka yang ingkar.
Kadangkala terfikir, bagaimana mungkin hanya dengan kalimat “Ankahtuka wazawajtuka……. bimahrin madzkur” lalu disambut dengan jawaban “Kobiltu nikakhaha watajzwijaha bimahril madzkuri khallan”, sah dan halal-lah sesuatu yang sebelumnya diharamkan, bahkan merengguknya menjadi suatu ibadah kepada Allah. Bukankah ini merupakan sebuah keajaiban?!
Pertanyaannya, apakah kiranya yang menjadikan semua seperti itu hanya sekedar kalimat “akad”, atau sesungguhnya ada hal lain yang sejatinya menjadikan semuanya terbalik, yang haram menjadi halal.
Secara syar’i (fiqhiyah) tentu akad-lah yang menjadikan halalnya hubungan laki-laki dan perempuan dalam suatu ikatan pernikahan. Lebih dari sekedar itu, pernikahan merupakan “persaksian”, maka dalam prosesi pernikahan disyaratkan adanya saksi yang menjadi bagian dari rukun dalam pernikahan, sebab pernikahan mengandung arti penting dalam Islam, karena dapat memberi kemaslahatan dunia dan akhirat. Dengan demikian ia harus diumumkan dan tidak disembunyikan. Dan cara untuk mengumumkannya adalah dengan mempersaksikannya (walimatul ‘ursy).
Walimatul ‘ursy tidak hanya bernilai syar’i, secara sosial ia merupakan ungkapan syukur dan sebuah deklarasi penyatuan. Secara politis dapat dikatakan sebagai bentuk legalitas pendirian sebuah “negara” baru dengan kedaulatan internal yang mereka tegakkan, yang namanya keluarga dan siap “memisahkan diri” dari kedua orangtua yang sebelumnya telah menghidupi dan membesarkannya. Yang dengan demikian semua akan berubah kendali dalam hal hak dan kewajiban.
Bisa jadi pernikahan adalah ibadah sunah namun pahalanya mampu melebihi ibadah-ibadah yang lain. Pernikahan antara laki-laki dan perempuan membuka pintu langit dan bumi, rezeki dihamparkan, berkah disematkan dan kasih sayang ditaburkan. Bagaikan ladang, kedua pasangan menjadikannya tempat menanam dan menyemai kebaikan.
Namun bisa jadi, setelah menikah kadar rasa cinta sebelumnya akan terasa berbeda, yang dulunya menggebu seakan terasa biasa atau bahkan hampa. Jika menikah hanya karena cinta, bisa jadi ia kurang berkualitas. jika menikah demi nafsu semata ia tidak akan bertahan lama. Apapun jika hanya sekedar duniawi, maka ia tak abadi. Maka, pernikahan antara dua insan haruslah bertujuan ibadah karena Allah, hingga semakin intim dan sublim kepada-Nya, karena hanya kekuatan ibadahlah yang mampu meningkatkan peristiwa duniawi menjadi begitu bernilai di mata Allah.
Dalam keluarga terjadi perjumpaan antara suami, istri dan Allah. Dalam proses tersebut manusia menemukan jati diri kemanusiaannya, sebagai mahluk sosial sekaligus religius, sebagai abdullah sekaligus khalifatullah. Dalam pernikahanlah Islam mengatur berbagai kesepakatan dalam batas yang wajar dan manusiawi, karena bagaimanapun juga hakikat Islam adalah memanusiakan manusia. “Man arofa nafsahu faqod arofa Robbahu”, ia yang mengenal dirinya akan mengenal Tuhannya.
Maka bari para jomblo, pengantin baru bahkan pengantin lama, “kekasihmu yang saat ini telah kau rengkuh jadi bagian dirimu bukanlah belahan jiwamu lagi, karena sesungguhnya aku tak setuju istilah belahan itu, sebab belahan mengandung jarak padahal sesungguhnya tidak. Pernikahan sangatlah sakral dan sublim, ia adalah kesadaran paling tinggi dalam fase kehidupan kita sebagai manusia, perjumpaan antara kita dengan Allah yang paling primitif dan transendental, seketika kau cumbu istrimu sungguh hakikatnya Allah hadir disana jika kau tau dan rasakan!”
Pernikahan adalah sebuah penyatuan bukan penyamaan atau peng-aku-an, ia adalah pelepasan sekaligus pen-satuan antara dua insan manusia yang sebelumnya sangat jauh berbeda. Cara pandang, sudut pandang dan jarak pandang yang terjadi akan berbeda dan itu mesti kalian sadari sekaligus hayati dengan seksama.
Buat para pengantin baru, selamat menempuh samudera baru yang penuh gelombang, siaplah, tabahlah dan bertahanlah sekuat mungkin, jangan sampai janji suci yang telah kalian ucap surut ketika ‘gelombang coba’ menghadang. Jangan terlena jika lautan kehidupan nampak tenang, kalian mesti tetap waspada dalam kesadaran dan sadar dalam kewaspadaan. Bersama dalam badai, apapun jangan sampai kalian singgung soal sighot taklik yang kau bacakan, jangan sampai dan jangan pernah sampai, sekalipun baik dalam khilaf ataupun sadar. Karena detik ketika kalian berikrar adalah pemaduan jiwa menjadi satu dan sama sekali baru.
Masa lalu adalah cermin yang hanya sesekali perlu kalian tengok namun jangan sampai kalian pecahkan, karena tanpanya kau bisa oleng, namun juga jangan terlalu sering memandangnya, karena masa depan adalah hasil usaha kalian bersama. Dalam keadaan dan situasi apapun, jangan pernah berkata “aku” atau “kamu”, karena kalian telah menjadi “kita”.
Akhirnya, selamat bergabung dalam samudera kehidupan rumah tangga tanpa batas dan aras. Selamat begabung, semoga sakinah, mawaddah, warahmah lan berkah, jangan sampai janji setia kalian terpisahkan oleh apapun, bahkan atasnama Tuhan sekalipun.
Nimatilah….nikmatilah, masa bulan-bulan indah kalian, namun jangan terlalu terlena, kudu segera sadar tujuan utama ‘pernikahan’ yaitu beribadah dan mendialogkan perbedaan kalian, jangan rapuh oleh bahagia dan jangan gentar oleh coba, hujan badai dan pasang surut gelombang kehidupan pasti akan kalian temui sebagaimana aku dulu, hanya ‘cinta sejati’ yang punya visi serta dilandasi nilai ubudiyah yang bisa menyelamatkan dari benturan, cobaan dan ujian. Nikmatilah, berbahagialah dan bersatulah dalam suka maupun duka, karena sesungguhnya menikah merupakan muamalah yang menjadi ibadah melebihi beratnya jihad di medan perang.
Wallahu a’lam bi al-showab!….