Bagaimana status anjing di mata ulama atau fuqaha’, para ahli hukum Islam? Kita semua tahu, fikih adalah bidang ilmu yang sangat besar pengaruhnya dalam membentuk model beragama umat Islam, sejak dulu hingga sekarang. Jika teologi menduduki posisi premium dalam Kristen, fikih adalah teologi-nya umat Islam. Menelaah fikih bisa membantu kita meneropong cara pandang umat Islam, mulai dari kelas elit hingga rakyat jelata.
Sebagaimana dalam isu apapun, pandangan fuqaha’ mengenai perkara ini tidak monolitik, seragam. Keliru sama sekali yang mengira bahwa seluruh fuqaha’ satu pandangan mengenai anjing sebagai binatang kotor/najis.
Secara garis besar, ada dua mazhab mengenai status anjing: apakah kotor/najis atau tidak. Mazhab pertama adalah mazhab-anjing-najis. Inilah pandangan yang diikuti oleh mazhab Syafii dan Hanbali. Mazhab Syafii, kita tahu, banyak dianut di kawasan Asia Tenggara, termasuk Indonesia. Inilah yang, antara lain, menjelaskan kenapa ada semacam fobia anjing (canine phobia) di masyarakat Muslim Indonesia.
Mazhab kedua agak kurang populer: mazhab-anjing-bersih. Inilah pandangan yang diikuti mazhab Hanafi dan Maliki yang banyak diikuti di kawasan Maghribi (Afrika Utara) dan sekitarnya. Pandangan ini juga dianut oleh mazhab yang sekarang sudah nyaris tak berbekas, karena jarang pengikutnya: yaitu mazhab Zahiri. Ini adalah mazhab yang didirikan oleh Daud al-Zahiri (w. 883 M), seorang juris Muslim kelahiran Kufah, Iraq.
Mari kita telaah sebentar bagaimana argumen masing-masing mazhab ini. Apa argumen mazhab yang menganggap anjing kotor, dan apa argumen mazhab lawannya? Manakah dari kedua argumen itu yang lebih kuat?
Titik tengkar kedua mazhab ini berputar di sekitar hadis riwayat Abu Hurairah: Jika wadah (gelas atau piring) kalian dijilat anjing, maka ia harus dicuci sebanyak tujuh kali, salah satunya dengan menggunakan tanah. Hampir semua orang Islam kenal hadis ini. Paling tidak, pernah dengar dari orang lain atau dengar melalui kabar burung.
Dalam pandangan mazhab yang pertama, hadis ini menjadi argumen pokok bahwa anjing adalah kotor/najis. Bagaimana logic-nya sehingga hadis itu bisa menopang pendapat tentang anjing najis? Seorang ulama dari mazhab Syafii al-Khathib al-Syirbini (w. 1570 M) dalam karyanya yang banyak dibaca di pesantren NU, Mughni al-Muhtaj, menjelaskan logic-nya sebagai berikut.
Mulut adalah bagian dari tubuh anjing yang paling bersih. Bahkan anjing adalah binatang dengan mulut yang paling tidak berbau, karena kerap menjulurkan lidah (li katsrat ma yalhats). Jika mulutnya yang bersih saja mengeluarkan air ludah yang kotor, seperti disebut dalam hadis di atas, apalagi bagian-bagian tubuh yang lain. Ini prosedur berargumen yang di dalam teori hukum Islam disebut mafhum aula. Contoh gampangnya: Jika mengantuk saja dilarang, apalagi tidur.
Mazhab kedua punya tafsir lain atas hadis jilatan anjing itu. Hadis ini, menurut mazhab kedua, sama sekali tak menyebut kekotoran anjing sebagai binatang. Yang ada hanyalah perintah mencuci gelas jika dijilat anjing.
Ibn Hazm (w. 1064 M), jubir paling lantang dari mazhab Zahiri, menyuarakan secara baik logika berpikir mazhab kedua. Dalam risalah pendek yang khusus ia tulis untuk membahas anjing, Risalah al-Kalb Thahir (Risalah Tentang Anjing Itu Tidak Kotor), ia menyanggah pandangan mazhab pertama sebagai berikut.
Jika perintah mencuci tujuh kali adalah pertanda bahwa tubuh anjing kotor, sebagaimana dikatakan mazhab pertama, maka perintah memandikan mayat manusia yang tentu dilakukan beberapa kali juga menandakan tubuh manusia kotor/najis. Padahal, tak ada seorang pun yang berpendapat, tubuh manusia najis. Dengan kata lain, ada proses berpikir yang salah pada mazhab pertama.
Saya menambahkan argumen lagi. Hadis tentang jilatan anjing itu, paling jauh, hanyalah menandakan bahwa kita harus berhati-hari dengan air liur anjing, sebab di sanalah kemungkinan bakteri ditularkan. Perintah mencuci tujuh kali tidak harus diikuti secara harafiah. Bilangan itu hanya perintah untuk hati-hati (precautionary).
Hadis mengenai jilatan anjing juga mempunyai beberapa versi. Ada satu versi yang memuat riwayat perintah mencuci tujuh kali. Versi lain, lima kali, tiga kali. Bahkan ada versi yang menyebut hanya sekali saja. Sebuah versi malah tidak menyebut keharusan mencuci dengan tanah. Dengan kata lain, bilangan tujuh bukanlah harga mati. (Baca artikel Prof. Khaled Abou El Fadl, “Dog in the Islamic Tradition and Nature”).
Saya sendiri berpandangan, mazhab kedua ini lebih kuat argumennya, dan lebih masuk akal. Sebagaimana dikatakan Ibn Hazm dalam risalahnya tadi, tak ada penjelasan yang eksplisit, baik di Quran maupun hadis, bahwa anjing adalah binatang kotor. Kekotoran anjing hanyalah tafsir saja dari sebagian ahli hukum Islam. Tidak semua fuqaha’ menyetujui tafsir ini.
Ini juga memperlihatkan bahwa fikih Islam adalah diskursus yang cair, dan membuka ruang perbedaan yang kreatif. Di satu pihak fikih bisa menjadi sumber rigiditas. Tetapi di pihak lain, ia juga bisa menjadi sumber kreativitas dan pola pikir luwes, fleksibel. Keluwesan diskursus fikih Islam mengenai anjing jarang dikenalkan kepada masyarakat. Sesuatu yang amat disayangkan.
Jadi, sudah saatnya umat Islam merevisi pandangannya mengenai anjing. Fobia anjing sama sekali tak ada dasarnya dalam sumber-sumber otentik Islam. Wallahu a’lam.[]