Selalu menarik membincang relasi Islam dan kota Solo. Jamak disebut, Solo adalah miniatur Indonesia. Solo sangat plural. Berbagai elemen masyarakat dengan keunikan karakternya bisa ditemukan di Solo. Partai politik yang dominan di Solo adalah PDIP. Tak aneh jika Jokowi pernah jadi walikota dua periode di sana. Di sisi lain, ada sosok Abu Bakar Ba’asyir yang belum lama ini pemberitaan tentangnya memenuhi media. Solo tak hanya melahirkan Haji Samanhudi (pendiri Sarekat Dagang Islam), tapi Solo juga lekat dengan Haji Misbach yang komunis.
Di Solo, warga dengan beragam latar agama bebas mengekspresikan diri. Ketika di Jakarta hiruk pikuk dengan beberapa aksi bela Islam (dari 411 hingga 212), Solo seakan tak mau ketinggalan. Sejumlah umat Islam berkumpul di Gladag dan Manahan. Mereka menyuarakan pandangannya. Tak jauh dari Gladag, ketika Imlek datang, daerah Pasar Gede dipenuhi lampion dalam semarak Festival Lampion. Warga Solo ramai berdatangan, untuk jalan-jalan atau sekadar berswafoto, sampai berakibat kemacetan panjang. Mereka seolah tak bertanya perayaan Imlek ini milik kelompok mana. Semua larut belaka dalam kegembiraan.
Ormas Islam di Solo juga bukan hanya sebatas NU dan Muhammadiyah. Solo adalah “ibukota” MTA (Majelis Tafsir Alquran). Tahun 2007, ketika saya masih sekolah di Solo, MTA belum tampak “besar”. Tapi sepuluh tahun berselang, saya melihat bagaimana bus-bus dari luar kota berdatangan dan parkir di sekitaran Stadion Manahan mengangkut warga MTA. Mereka hendak mengikuti Silaturahmi Nasional yang juga dihadiri Presiden Jokowi. Kedatangan presiden menyiratkan betapa “penting” MTA.
Membaca penelitian Zuly Qodir dan Bilver Singh (Gerakan Islam Non Mainstream dan Kebangkitan Islam Politik di Indonesia) kita mendapat sejumlah fakta mengenai MTA. Organisasi yang saat ini dipimpin Ahmad Sukina itu tergolong organisasi purifikasi Islam. Bedanya dengan Muhammadiyah, MTA lebih banyak bergerak di pedesaan. Saat ini MTA telah memiliki 604 cabang di seluruh Indonesia. Tergolong perkembangan pesat untuk sebuah organisasi yang berdiri tahun 1972.
MTA tak lepas dari kontroversi. Yang pernah mengemuka misalnya soal hukum memakan daging anjing. Isu itu sempat memanas di wilayah Solo dan sekitarnya. Belakangan MTA telah memberi klarifikasi bahwa daging anjing haram dikonsumsi. Kontroversi lainnya adalah soal imamat dan baiat di MTA, juga soal dukungan mereka terhadap Golkar di masa lalu.
Keberadaan MTA di Solo meneguhkan posisi Solo menjadi kota yang ramah terhadap perkembangan pelbagai macam paham. Terpilihnya FX Rudi yang non muslim sebagai walikota Solo sempat diragukan oleh sebagian umat Islam. Tapi nyatanya keraguan dan kekhawatiran itu tak pernah terbukti. Semua diberi tempat yang sama tanpa diskriminasi.
Pun demikian, sejumlah kasus kekerasan berlatar agama dan terorisme masih terjadi di Solo. Tentu belum lekang dari ingatan kita bagaimana sebuah kelompok yang menamakan diri Laskar Umat Islam Surakarta menyerang Social Kitchen. Kita juga belum lupa ketika segerombolan orang yang mengatasnamakan Islam mengintimidasi sebuah acara bedah buku di IAIN Surakarta. Hanya karena penulis buku (Haidar Bagir) mereka anggap Syiah dan sesat. Sebelumnya, kita mencatat sejumlah bom yang meledak di Solo, salah satunya ledakan di Mapolresta Solo tahun 2016.
Keberagaman dan toleransi, boleh jadi, bisa dipelajari di Solo. Meski Solo juga bukan tanpa PR. Untuk menjadi kota yang selalu nyaman ditinggali terdapat banyak hal yang perlu diperbaiki.
Di masa mendatang kita tentu berharap akan lahir lebih banyak kota yang nyaman dihuni. Kota yang warganya tidak menganggap perbedaan sebagai alasan perpecahan.