Guru sejarah saya bercerita pengalaman masa kuliahnya itu saat mengajar di kelas saya beberapa tahun lalu. Berhubung saya duduk paling depan, dan beliau adalah guru favorit saya, jadi saya masih ingat apa yang beliau ceritakan. Baru belakangan ini, saya sering mendapat cerita serupa dari beberapa orang di Jogja yang dulu sempat terlibat dalam reformasi ‘98.
Pelemparan kutang dan celana dalam perempuan tersebut adalah bentuk protes oknum aktivis kepada para mahasiswa (atau kampus) yang tak ikut serta “berjuang” ke Jakarta. Kutang dan celana dalam perempuan adalah simbol bahwa mereka adalah para pengecut, penakut, atau bahkan banci. Mereka tak seberani, sejantan, semaskulin, para aktivis yang turun ke jalan.
Lantas, memangnya ada yang salah dengan fenomena ini?
Ya, salah besar. Sadarkah kita bahwa kasus pelemparan ini tidak hanya berdampak pada tersindirnya para mahasiswa yang enggan ke Jakarta, tapi secara tidak langsung juga sebuah penghinaan pada kaum perempuan. Stigma dan label negatif yang memproyeksikan perempuan sebagai makhluk penakut, lemah, tak bisa diajak bekerja keras, adalah alasan logis kenapa mereka memilih objek “kutang” dan “celana dalam perempuan”.
Saya katakan salah besar karena yang melakukan ini bukanlah anak-anak, tapi sekolompok aktivis yang setiap hari berteriak tentang keadilan, keadilan, dan keadilan. Bagaimana bisa kita mendapuk diri sebagai pemerjuang keadilan, sedang kita sendiri masih berlaku tidak adil pada suatu kaum? Ini standar ganda namanya.
Jangankan aktivis, sekelas intelektual yang banyak melahap teori keadilan pun masih banyak melakukan hal yang sama. Dalam sebuah diskusi yang diadakan Yayasan Jurnal Perempuan, si pemantik diskusi mengeluh atas kawan sesama akademisinya yang seolah mengolok-oloknya sebab dia memegang matakuliah teori feminis untuk menggantikan dosen pengampunya yang sedang posdoktoral.
Semua ini terjadi dikarenakan, baik para aktivis atau intelektual tersebut selama ini hanya sebatas mengonsumsi teori keadilan, bukan memproduksi keadilan. Selain itu, faktor lingkungan patriarkis yang membesarkan kita sangat berpengaruh pada cara berpikir yang akhirnya juga menjurus patriarkis. Bahwa perilaku mengutamakan (dan mengunggulkan) laki-laki daripada perempuan dalam masyarakat adalah sesuatu yang wajar.
Di dalam peradaban kita, status perempuan selalu tidak diuntungkan dan dihargai secara sangat rendah. Hanya pada tubuh perempuan seluruh jenis ketidakadilan bergerombol. Kita sebut ketidakadilan apapun, semua ada di sana. Ketidakadilan ekonomi, ketidakadilan politik, ketidakadilan sosial, ketidakadilan seksual, ketidakadilan dalam ruang berekspresi, semua ada pada perempuan.
Lalu, jika pola pikir seperti ini masih berlaku, apa bedanya Indonesia abad ke-21 dengan Jazirah Arab sebelum abad ke-6? Sebelum Islam datang, perempuan dipandang hina dan rendah. Perempuan hanya dianggap sebagai pekerja domestik dan objek pemuas nafsu para laki-laki. Perempuan tak lebihnya sebuah properti yang bisa dijadikan barang rampasan perang ataupun harta warisan. Semakin banyak istri yang dimiliki seorang laki-laki, semakin tinggi derajat sosialnya.
Saya kira, kita harus mulai keluar dari kungkungan ketidakadilan berpikir ini, seiring dengan majunya perempuan secara kapasitas, juga mulai tampilnya perempuan-perempuan yang mandiri dan kuat.
Kita tidak bisa terus-menerus memberi stigma bahwa perempuan adalah makhluk lemah, ketika Sri Mulyani mendapat penghargaan sebagai Menteri Terbaik Dunia oleh World Government Summit di Dubai, UEA tahun ini.
Siapapun tidak bisa berteriak bahwa perempuan penakut, ketika sampai detik ini ibu-ibu di Kendeng, Jawa Tengah masih menjadi garda depan perlawanan terhadap korporasi besar semen yang mencoba merampas ruang hidupnya.
Para aktivis bahkan intelektual sekalipun seharusnya mulai berhenti melabeli perempuan hanya bisa bekerja pada urusan domestik, ketika Ny. Sinta Nuriyah selama 17 tahun terakhir telah berkeliling ke berbagai daerah di Indonesia untuk melakukan sahur keliling, dengan melibatkan komunitas lintas iman dan kalangan masyarakat akar rumput.
Selain itu, beliau juga masuk dalam daftar sebelas perempuan berpengaruh dunia versi New York Times pada tahun lalu karena dianggap konsisten menyerukan Islam yang toleran.
Kita harusnya percaya bahwa perempuan selalu punya andil besar pada hidup setiap manusia. Ibu adalah sekolah pertama bagi anak-anaknya. Bukan berarti karena ibu selalu berada di rumah, sebagaimana domestifikasi pada konsep “ibuisme negara” yang terjadi pada masa Orde Baru, melainkan karena energi feminin yang begitu besar yang dimiliki oleh perempuan.
Paulo Coelho, novelis terkenal asal Brasil, mengamini soal energi feminin ini. Dalam sebuah wawancaranya bersama Juan Arias, Paulo mengatakan, “Seluruh hidupku diatur oleh energi feminin, oleh perempuan. Sebelum bertemu perempuan, aku tidak tahu apa itu welas asih.” Kebesaran nama Paulo tidak bisa lepas dari peran perempuan yang ada di sekelilingnya.
Melihat realitas tersebut, sifat-sifat seperti lemah, pengecut, penakut, banyak ngomong, yang sering kita asosiasikan dengan perempuan menjadi tidak relevan. Karena pada dasarnya sifat-sifat tersebut bersifat netral. Artinya mereka bukanlah sifat yang terpaut pada satu gender tertentu. Kita berbicara dalam ranah kebiasaan dan karakter manusia. Laki-laki atau perempuan bisa saja bersifat demikian.
Arogansi gender kitalah yang membuatnya menjadi stigmatik. Bahwa maskulinitas selalu lebih unggul dan bisa diandalkan daripada femininitas. Bukannya sifat maskulin pada seorang laki-laki salah. Kesalahan sebagian besar laki-laki ada pada arogansi gender dan keluputannya berpikir (juga belaku) adil terhadap perempuan. Itulah yang harus diubah.
Ya, mulai sekarang.
Mohammad Pandu, penulis adalah pegiat di Islami Institute Jogja.