Di kalangan muslim di dunia barat, nama Malcolm X merupakan nama yang sangat familiar. Ia dikenal sebagai seorang muslim yang memperjuangkan hak asasi manusia, tapi sekaligus dicap sebagai tokoh diskriminatif karena memperjuangkan supremasi kulit hitam.
Islam yang membuat Malcolm X dikenal sebagai dua pribadi yang bertolak belakang satu sama lainnya itu. Sebelum menjadi seorang muslim, ia adalah seorang Kristen. Earl Little, ayahnya, adalah seorang pendeta yang sangat vokal menanamkan kebanggaan kulit hitam kepada anak-anaknya. Pada usia belasan tahun, Malcolm tumbuh sebagai remaja jalanan yang hidup dalam dunia gelap. Narkotika, perkelahian, minuman keras hingga pelacuran adalah kehidupan sehari-harinya. Akibat sebuah kasus, Malcolm kemudian dipenjara hingga usia 27 tahun.
Di dalam penjara inilah Malcolm mengenal Islam melalui beberapa saudara yang mengunjunginya. Saudaranya itu tergabung dalam organisasi Nation of Islam (NoI). Namun NoI mengajarkan Islam yang sangat diskriminatif, selain memberi pandangan yang kritis terkait rasisme yang dilakukan oleh kulit putih. NoI mengajarkan Malcolm X untuk tidak menerima segala bantuan dari kulit putih sekali pun terkait dengan perjuangan persamaan hak asasi manusia. Malahan, ia mengatakan bahwa ras kulit putih adalah iblis. Semasa di NoI inilah Malcolm X mengenal Islam yang sangat kaku dan merasa benar sendiri.
Hingga pada satu waktu Malcolm X keluar dari NoI setelah mendapat teguran dari banyak cendikiawan muslim atas pandangan-pandangannya yang bertentangan dengan Islam rahmatan lil’alamin. Banyak kalangan menilai apa yang disuarakan oleh Malcolm sangat bertentangan dengan nilai universal Islam, terutama terkait pandangannya terhadap warga kulit putih. Bagaimana mungkin seseorang yang berjuang menyetarakan hak-hak justru bersikap diskriminatif?
Setelah melaksanakan haji pada tahun 1964, pandangan Malcolm X benar-benar berubah. Ia yang dulunya sangat anti terhadap kulit putih menjadi seorang muslim yang memperjuangkan humanisme Islam. Itu setelah ia melihat manusia dari segala penjuru dunia yang berkumpul di Makkah dan Madinah untuk beribadah. Ternyata ada banyak sisi kehidupan yang beru diketahuinya setiba di kota suci itu.
Perjalanan Malcolm X ke kota suci Makkah dan Madinah menjadi jalan hijrahnya menemukan Islam yang sejati. Dalam bahasa sederhana, ziarah Malcolm X yang berganti nama menjadi Malik el-Shabazz itu adalah perjalanan haji yang mabrur. Titik tolak perjalanan hidupnya menjadi manusia yang mencintai manusia berawal dari kota suci yang diberkahi ini.
Sayangnya ia hanya setahun berkesempatan menyampaikan pandangan universalisme Islam. 21 Februari, 53 tahun silam, ia ditembak oleh tiga orang berkulit hitam, orang-orang yang ia perjuangkan hak-haknya, tanpa diketahui motifnya. Malcolm X wafat di usia 39 tahun, usia yang masih sangat muda. Namun perjuangan singkatnya menyampaikan Islam yang ramah itu membuat banyak orang Amerika tertarik untuk mempelajari Islam. Salah satunya adalah Classius Clay Junior alias Mohammad Ali.
Tanah suci membuat jiwa seorang Malcolm X menjadi begitu mencintai manusia lainnya. Tanah suci membuat ia mengenal Islam yang memperjuangkan kemanusiaan. Apakah semua orang yang pulang dari tanah suci menjadi manusia seperti Malcolm X? Seperti cerita di masa kecil saya dulu, semua tergantung apakah ibadah haji dan umrohnya itu mabrur, atau mabur, atau justru hanya kabur dari kewajiban-kewajiban membantu tetangganya demi terlihat sebagai seorang yang religius. Wallahua’lam…