Kiranya bukan rahasia lagi kalau Habib Rizieq Shihab bersama dengan FPI menolak demokrasi sebagai satu sistem suksesi dalam transisi pemerintahan. Alasan ia menolak demokrasi karena yang terakhir ini dianggap sebagai bagian dari produk liberalisme Barat. Liberalisme, seperti halnya pluralisme dan sekularisme, dipandang sebagai satu paket di dalam kotak besar berjudul Westernisasi atawa Pembaratan. Demokrasi liberal, karena ada embel-embel liberalnya, dengan demikian tertolak.
Pada 2017 lalu, Habib Rizieq dengan Gerakan 212 secara gemilang berhasil menjungkalkan gubernur petahana, Basuki Tjahaya Purnama alias Ahok untuk menduduki kembali kursi DKI-1. Gerakan 212 yang sampai kini masih menuai pro dan kontra, berhasil merebut posisi dalam wacana publik. Meski demikian, lantaran Habib Rizieq yang self-exile ke Arab Saudi, nasib gerakan ini kini dalam tanda tanya besar.
Seperti bisa dilihat dalam sejumlah pewartaan, wadah para alumni 212 yang sebelumnya bernama Presidium Alumni 212 mengalami pertikaian kelembagaan dan berujung pada terbelahnya kelembagaan tersebut menjadi dua. Satu pihak menyebut diri sebagai Persaudaraan Alumni 212, di pihak lainnya tetap mempertahankan sebutan Presidium Alumni 212.
Persaudaraan Alumni 212 yang digawangi Eggi Sudjana dan Slamet Maarif berupaya menjadi payung bagi banyak pecahan gerakan yang menggunakan simbol 212. Keinginan menjadi payung inilah yang mendasari perubahan dari sistem presidium kepada sistem persaudaraan. Persaudaraan gerakan dilihat dalam kerangka kolektif-kolegial. Ia adalah antithesis dari sistem presidium yang dipandang bercorak otoritarian.
Habib Rizieq yang didaulat oleh para alumni 212 sebagai Imam Besar Umat Indonesia, ditinjau dalam kacamata sosiologis, merupakan simbol kepemimpinan kharismatis. Salah satu kekurangan kepemimpinan kharismatis adalah kala pemimpinnya tidak ada rakyatnya mengalami disorientasi. Namun, berlebihan mungkin bila gerakan 212 kita sebut mengalami disorientasi. Pembelahan yang terjadi bisa ditafsirkan sebagai kristalisasi dua orientasi kepemimpinan yang berbeda.
Bila Persaudaraan Alumni berorientasi kepemimpinan yang demokratis, maka Presidium Alumni bisa disebut memiliki orientasi kepemimpinan yang otokratis. Di sinilah poin menariknya. Persaudaraan Alumni menegaskan bahwa kepemimpinan mereka bercorak kolektif-kolegial. Bahasa mudahnya, ini adalah kepemimpinan bersama sesama kolega (kawan), persekawanan. Kiranya ini menjadi hal yang sangat menarik, sebab persekawanan ini adalah salah satu etos utama demokrasi. Rizieq yang menolak demokrasi secara formal, malah ditusuk balik oleh etos demokrasi itu sendiri.
Eksil-diri dan Objektivisme
Baru-baru ini, Faisal Assegaf, yang mengaku sebagai salah satu inisiator gerakan 212, memberikan saran yang cukup mengagetkan tentang Rizieq. Pernyataannya ini sulit untuk dimengerti bila kita menganggap bahwa gerakan 212 sebagai gerakan yang monolitik. Bagi Faisal Assegaf, Rizieq Shihab harus berani menghadapi proses hukum yang menunggunya di Tanah Air. Menurutnya, Rizieq harus meniru sikap kenegarawanan Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok dalam menghadapi kasus hukumnya. “Bukan lari dan bersandar kepada pengacara atau mobilitas massa,” ujar Faisal Assegaf (Tempo.co, 18/02/2018).
Faisal mengatakan, dalam satu sisi Ahok lebih kesatria dibanding Rizieq, yang tidak berlindung di balik mobilitas massa atau pengacara. Tapi, menghadapi proses hukum dan biarkan pengadilan yang memutuskan.”Kita harus belajar dari kasus penistaan agama Ahok,” ujarnya. Menurut dia, ada kalanya kita mengambil pelajaran dari musuh kita. Seorang ulama, kata Faisal tidak bersandar dengan bisikan-bisikan, atau mobilitas massa, namun berdasarkan hal yang dia yakini dengan kebenaran.
Eksil-diri Rizieq ke Arab Saudi meninggalkan banyak persoalan yang menggantung. Entah itu kasus chat seks, campur racun, dan sederet persoalan hukum lain yang lantas berada dalam remang-remang. Ketidaktegasan pemerintah RI sendiri juga berkontribusi dalam problem ini. Tak perlu disinggung persoalan kiwari, penyerangan tokoh-tokoh agama yang “disamarkan” dalam stempel “kegilaan” atawa “ketidakwarasan”.
Kiranya kini ada antiklimaks yang menarik dengan Rizieq. Rizieq melarang pendukungnya menuduh bahwa ia akan dijebak terkait isu kepulangan dirinya. Baik yang menginginkan dirinya pulang maupun yang tidak menurutnya semua berniat baik. Ia mengembalikan semua kepada Tuhan. Statement ini tentu bersifat mendinginkan suasana.
Perlu diduga bahwa eksil-diri Rizieq ini membawanya pada proses permenungan atas segala perjuangan yang dilakukannya. Tidak bisa tidak, saat seseorang berjarak dari realitas, ia akan menimbang ulang posisinya, peran dan kehidupannya. Inilah objektifisme. Sesuatu yang mesti dilakukan dalam kehidupan. Objektifisme bagian dari tafakkur. Satu hadits menyebutkan bahwa Rasulullah SAW bersabda, “Tafakkur sesaat lebih baik ketimbang ibadat 60 tahun.” (HR. Ahmad)
Perubahan kebijakan politik luar negeri Arab Saudi sendiri yang kini mengarahkan biduknya ke paradigma moderasi patut diduga memiliki efek terhadap Rizieq. Karena itu mari berdoa semoga Habib Rizieq diberikan pemahaman yang lebih baik atas realitas dunia, keislaman dan keindonesiaan. Wallahu A’lam. [ ]