Setiap ibadah ada beberapa kesunahan-kesunahan yang perlu dilakukan. Kesunahan-kesunahan ini selain menambah kualitas ibadah yang dilakukan, juga menambah spirit ibadah. Sebagaimana namanya, sunnah, maka dalam istilah ushul fikih, jika dilakukan mendapatkan pahala, dan jika ditinggalkan tidak disiksa.
Di antara ibadah-ibadah yang memiliki kesunnahan adalah adzan. Bagaimana tidak bernilai ibadah, pahala dan keutamaan adzan begitu besar. Bahkan dijamin dalam hadis, bahwa manusia dan jin dan makhluk lain yang mendengar suara adzan, akan menjadi saksi di hari kiamat kelak.
فَإِنَّهُ لَا يَسْمَعُ مَدَى صَوْتِ الْمُؤَذِّنِ جِنٌّ وَلَا إِنْسٌ وَلَا شَيْءٌ إِلَّا شَهِدَ لَهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ
“Karena sesungguhnya tidak ada manusia, jin atau suatu hal lain yang mendengar panjangnya suara muadzin kecuali ia menjadi saksi bagi muadzin tersebut di hari kiamat.” (HR. Bukhari)
Adapun sunnah-sunnah yang bisa dilakukan para muadzin sebagaimana disebutkan Dr. Musthafa al-Khin dan Dr. Musthafa al-Bugha dalam kitab al-Fiqh al-Manhaji ala Madzhabi Imam as-Syafi’i adalah sebagai berikut:
Pertama, menghadap kiblat. Mengapa disunnahkan menghadap kiblat? Karena kiblat adalah arah yang paling baik dan juga arah yang paling mulia. Sebagaimana dikatakan oleh ulama salah maupun khalaf.
Kedua, suci dan terbebas dari hadas kecil maupun besar. Dimakruhkan bagi muadzin yang masih memiliki hadas. Terlebih bagi muadzin yang mengumandangkan adzan dalam keadaan junub. Sebagaimana disebutkan dalam hadis riwayat Abu Dawud.
قال رسول الله – صلى الله عليه وسلم -: كَرَهْتُ أَنْ أَذْكُرَ اللهَ عَزَّ وَجَلَّ إِلَّا عَلَى طُهْرٍ أَوْ قَالَ: عَلَى طَهَارَةٍ
“Rasulullah Saw bersabda: Saya memakruhkan menyebut nama Allah Swt kecuali dalam keadaan suci, atu disebutkan dengan kata “ala thaharatin”.
Ketiga, dengan berdiri. Hal ini didasarkan pada perintah Rasul Saw kepada Bilal agar berdiri terlebih dahulu.
قال رسول الله – صلى الله عليه وسلم -: ياَ بِلَالُ قُمْ فَنَادِ لِلصَّلَاةِ
“Rasulullah Saw bersabda: Wahai Bilal, berdirilah dan kumandangkan adzan untuk shalat.”
Kelima, menengok ke kanan (tidak bergerah seluruh badan, hanya kepala saja) saat mengucapkan Hayya ala shalah, dan menengok ke kiri saat mengucapkan hayya alal falah. Sebagaimana disebutkan Bukhari,
أن أبا جحيفة رضي الله عنه قال: رأيت بلالاً يؤذن، فجعلت أتتبع فاه هنا وهنا بالأذان يميناً وشمالاً: حيى على الصلاة حيى على الفلاح.
“Sesungguhnya Abu Juhaifah Ra. berkata: Aku melihat bilal mengumandangkan adzan, kemudian aku mengamati mulutnya ke arah sini dan sini ketika adzan kanan dan kiri: hayya ala shalah dan hayya alal falah”
Keenam, mengulang adzan, yakni seorang muadzin mengucapkan kedua syahadat secara lirih terlebih dahulu baru kemudian mengucapkannya dengan keras. Hal ini berdasarkan hadis riwayat Abu Mahdzurah dalam Sahih Muslim.
Ketujuh, taswib, yakni mengucapkan Asshalatu khairun minan naum setelah mengucapkan hayya alal falah ketika adzan shalat subuh.
Kedelapan, disunnahkan dikumandangkan oleh orang yang memiliki suara bagus. Agar menarik simpati dari masyarakat dengan harapan masyarakat tersebut tergerak untuk menuju masjid. Sebagaimana sabda Rasul Saw yang diriwayatkan Abu Dawud dalam Sunannya. Dalam pesan Rasul tersebut disebutkan bahwa Bilal diperintah untuk adzan karena ia memiliki suara yang kuat dan indah.
Kesembilan, disunnahkan muadzin adalah orang yang berakhlak baik dan terpercaya. Hal ini karena mempengaruhi kepercayaan masyarakat apakah memang benar-benar sudah masuk waktu shalat atau belum.
Kesepuluh, tidak berlaku tamthit (mencaci dan merendahkan adzan), yakni dengan memanjangkan bacaan adzan terlalu panjang dan melagukan bacaan adzan seperti nyanyian. Bahkan hal ini dimakruhkan.
Kesebelas, disunnahkan adzan dua kali, yakni ketika sebelum masuk waktu fajar (shalat subuh) dan sesudah masuk waktu fajar.
Keduabelas, bagi yang mendengarkan adzan, disunnahkan untuk diam, khusyu dan mengikuti serta menirukan bacaan adzan tepat setelah muadzin. Kecuali ketika hayya alas shalah dan hayya alal falah, maka disunnahkan mengucapkan lahaula wa laa kuwwata illa billah.
Ketiga belas, membaca doa dan shalawat kepada Rasul Saw setelah adzan. Berikut doanya:
اَللّهُمَّ رَبَّ هَذِهِ الدَّعْوَةِ التَّامَّةِ وَالصَّلَاةِ القّائِمَةِ، آتِ سَيِّدَنَا مُحَمّداً الوّسِيْلَةَ وَالْفَضِيْلَة، وَابْعَثْهُ مَقَاماً مَحْمُوْداً الذِّي وَعَدْتَهُ
Allâhumma Rabba hâdzihid-da‘wati at-tâmmati, wash-shalâtil-qâimati, âti sayyidanâ Muhammad al-washilah wal fadlîlah, wad-darajatar rafî’ah wab’atshu maqâman mahmûdan alladzî wa’adtah.
“Ya Allah Tuhan yang memiliki seruan yang sempurna dan shalat yang tetap didirikan, kurniailah Nabi Muhammad wasilah (tempat yang luhur) dan kelebihan serta kemuliaan dan derajat yang tinggi dan tempatkanlah dia pada kependudukan yang terpuji yang telah Engkau janjikan.”
Sedangkan bagi muadzin, disunnahkan untuk melirihkan bacaan doa dan shalawatnya.
ويقول المؤذن الصلاة على النبي – صلى الله عليه وسلم – والدعاء بصوت أخفض من الأذان ومنفصل عنه، حتى لا يتوهم أنها من ألفاظ الأذان.
“Dan muadzin membaca shalawat dan doa dengan suara yang lebih lirih dari suara ketika adzan serta terpisah setelah adzan. Sehingga orang-orang tidak mengira bahwa doa dan shalawat yang dibaca tersebut bagian dari lafaz adzan.”
Wallahu A’lam.