Ayat-ayat yang menyerukan tentang jihad memang sangat banyak jumlahnya. Bahkan dalam Al-Quran sendiri kata ‘jihad’ diulang sebanyak empat puluh satu kali dengan beragam bentuknya. Di antaranya adalah ayat jihad di dalam surat At Taubah; 44-45 yang membahas tentang indikasi keimanan seseorang dari responnya saat menjawab panggilan jihad.
Dalam beberapa buku tafsir disebutkan jika ada seruan jihad maka bagi orang yang benar-benar beriman dengan Allah dan hari akhir tidak akan mencari-cari alasan untuk menghindar dari panggilan tersebut. Hanya bagi orang-orang munafik serta kafir saja lah yang akan mencari beribu alasan untuk meminta izin kepada Rasululah saw agar diperkenankan ‘absent’ dari panggilan jihad.
Karena menurut para mufasir seperti Muhammad Thahir Ibnu Asyur, sorang pakar tafsir dari Tunisia dan Ahmad Musthofa al-Maroghi pakar tafsir sekaligus mantan Syaikhul Azhar dari Mesir bahwa bukan termasuk kebiasaan orang-orang yang beriman untuk meminta izin melaksanakan perintah-perintah tuhan yang sifatnya adalah wajib. Suatu kewajiban harus benar-benar ditunaikan kecuali ada halangan. Dan halangan itu pun nyata bukannya mengada-ada.
Dua ayat di atas diturunkan sebagai pedoman bagi Rasululah Saw untuk membedakan antara orang yang benar-benar beriman dan orang yang hanya menjadikan imannya sebagai ‘gincu’ atau tampilan saja (munafik). Maka surat at-Taubah oleh kebanyakan pakar tafsir disebut sebagai ‘Fadlihah’ atau sang pengungkap karena ayat ini mengungkap gejala-gejala yang membedakan antara orang yang beriman dan orang munafik.
Hampir semua mufasir sepakat bahwa konteks jihad di sini dimaknai sebagai seruan untuk berperang. Bahkan dalam tafsirnya, al-Maroghi menambahkan hadis yang diriwayatkan oleh Abdullah Ibnu Abbas bahwa sebaik-baik kehidupan seseorang adalah ia yang siap memegang kendali kudanya di dalam jalan Tuhan. Siap menjawab seruan-Nya untuk berperang dan selalu merindu kematian.
Legitimasi semacam ini semakin memperkuat pemaknaan jihad sebagai seruan ‘perang suci’ yang melibatkan keimanan. Dan ukuran keimanan seseorang hanya ditentukan dari keberaniannya untuk berperang meskipun jika terdapat halangan maka ia bisa meminta izin untuk tidak ‘berjihad’.
Penafsiran-penafsiran seperti ini mulai muncul sejak abad ke-5 H karena pada masa-masa itu Islam sedang berjaya yang direpresentasikan dalam kekuasaan kerajaan atau negara-negara yang melakukan perluasan wilayah. Seperti Dinasti Abbasiyah yang tengah gencar melakukan misi-misi perluasan wilayahnya. Maka untuk melancarakan misi kerajaan dibawalah pemakanaan ‘jihad’ sebagai perang suci. Muncul lah pelbagai kata-kata dan mahfudlot yang mendukung aksi ‘jihad’, di antaranya; Surga ada di bawah bayang-bayang pedang.
Tak heran mobilisasi penguasa-penguasa saat itu semakin mulus dengan mempersembahkan agama sebagai latar belakang misi mereka. Benar apa yang dikatakan Ibnu Khaldun (808 H) dalam bukunya El Muqaddima bahwa ketika kekuatan agama muncul maka ia akan semakin memperkuat kekuatan ‘ashobiyah atau fanatisme golongan.
Pasukan elit Dinasti Ottoman Turki, Jeniseri terkenal dengan keberaniannya untuk berperang. Mereka siap meregang nyawa untuk berperang membela negaranya. Selain berani mereka juga religius. Nuansa-nuansa spiritual hadir dalam setiap nafas kehidupan mereka. Mereka terlatih untuk disiplin dalam menjalankan amalan-amalan ibadah; shalat malam dan puasa sunah.
Seiring berjalannya waktu pasca-wafatnya Sulaiman Al Qonuni, Sultan Ottoman yang dikenal sangat bijaksana, regulasi pasukan Jeniseri berubah. Mereka yang awalnya dilarang untuk menikah maka regulasi itu pun diubah. Mereka diperkenankan untuk menikah dan berketurunan. Perlahan tapi pasti, mereka mulai kehilangan keberaniannya untuk mati dan berperang sampai titik darah penghabisan. Dan kekuatan Dinasti Ottoman yang telah berhasil menguasai sepertiga dunia melemah hingga pada akhirnya dinasti ini tutup usia pada tahun 1924.
Namun di dalam konteks era global saat ini pemaknaan kata ‘Jihad’ sebagai seruan berperang sangat parsial dan tidak relevan. Pasca-munculnya undang-undang HAM masyarakat dunia dituntut untuk hidup rukun, damai dan saling berdampingan. Penjajahan dan peperangan di atas muka bumi ini (seharusnya) ditiadakan. Maka, jika indikasi keimanan seseorang hanya tercermin dengan responnya menjawab seruan berperang agaknya kurang etis.
Pemaknaan jihad dalam konteks era-global lebih pas jika dimaknai sebagai pengerahan daya dan upaya seseorang untuk mencapai tujuan dan cita-citanya. Maka jalan jihad di sini menjadi semakin lebar dan luas. Bagi seorang guru maka jalan jihadnya adalah dengan cara mendidik murid-muridnya hingga menjadi ‘insan kamil’, bagi seorang pedagang maka jihadnya adalah berdagang secara jujur, dan bagi seorang pemimpin maka jihadnya adalah berlaku adil terhadap rakyatnya. Jihad di sini dilakukan sesuai dengan kadar kemampuan masing-masing orang, tidak melulu dengan perang. Karena tidak semua jihad adalah perang.