Islami.co kemarin (17/01) memuat tulisan Ibnu Kharis yang berjudul “Menjawab Tudingan Nasionalisme Pecah Belah Umat Islam”. Tulisan itu berisi bantahan terhadap organisasi-organisasi semacam HTI dan ISIS yang mengecam ide nasionalisme dari beberapa segi, misalnya nasionalisme dianggap sebagai sebab perpecahan umat Islam, pemikiran dari luar yang tidak ada dalilnya dan seterusnya.
Penulis menemukan beberapa kerapuhan jalinan argumentasi dalam memberikan pembelaannya terhadap nasionalisme beserta dalil-dalilnya. Terutama, ketika kita ingin membantah pemikiran seseorang, maka kita harus meruntut kerangka berpikirnya mulai dari bagaimana seseorang itu mendefinisikan konsepsi tentang sesuatu dan bagaimana dia memandang sesuatu itu. Selanjutnya, gagasan tersebut ditelaah dan dikritisi.
Ringkasnya, bagaimana organisasi seperti HTI mendefinisikan nasionalisme dan apa saja dasar argumentasi mereka harus dinukil. Ini adalah salah satu upaya untuk berusaha bersikap adil dalam berpikir meskipun terhadap orang atau kelompok yang tidak kita sukai sekali pun.
Penulis yakin dalam memaknai nasionalisme, HTI tidak merujuk pada KBBI sebagaimana Kharis mendudukkan arti nasionalisme. Atau pun dalil apa yang kemudian digunakan HTI dan dalil yang ditawarkan Kharis dalam memandang nasionalisme juga berbeda. Akhirnya, bukan diskursus yang terjadi, namun perdebatan di dalam dua ruangan yang berbeda.
Alhasil, tulisan ini berusaha menyempurnakan bantahan Kharis terhadap HTI secara khusus dalam memandang nasionalisme dengan berusaha sedikit lebih adil. Pertanyaan yang ingin dijawab dalam tulisan ini kira-kira juga sama, berkisar pada apakah nasionalisme itu? Apa sumbangsihnya terhadap perpecahan umat Islam? Dan apakah Islam menerima nasionalisme?
Sebenarnya, penolakan HTI terhadap nasionalisme merupakan keberlanjutan dari cita-cita mereka untuk menegakkan sistem khilafah global dalam suatu daulah Islamiyah terpusat. Pengandaian bersatunya sebuah tatanan politik terintegrasi dalam satu kekuasaan tunggal secara otomatis akan menghancurkan nasionalisme yang bercirikan static border, sebuah yurisdiksi kekuasaan dalam batas teritori tertentu sebagaimana nation-state.
Baik khilafah maupun komunisme sama-sama merupakan ideologi global yang mengancam eksistensi dari paham nasionalisme yang hari ini berlaku hampir di seluruh dunia.
Dasar-dasar penolakan HTI terhadap ide nasionalisme secara garis besar dapat dijumpai dalam penjabaran Shidiq Al-Jawi, mantan Lajnah Tsaqafiyah DPP HTI, dalam majalah Al-Wa’ie edisi Desember 2014 yang mendasarkan pada dua hal. Pertama, secara teoritis maupun praktek. Kedua, pertentangannya dengan Islam.
Menurut Al-Jawi, secara teoritik nasionalisme hanya menyandarkan pada persatuan dengan sentimen-sentimen emosional semata, bukan didasarkan pada watak intelektual yang jernih. Alasan tersebut yang membuat nasionalisme membutuhkan banyak rekayasa simbol-simbol untuk membentuk suatu identitas nasional. Seperti lagu nasional, pahlawan, bendera, lambang dan seterusnya.
Pertanyannya kemudian, apakah simbol-simbol Khilafah seperti Bendera Islam (Liwa’ dan Rayah), Bahasa Islam (Bahasa Arab) dan seterusnya bukannya bernasib sama? Sensitifitas keagamaan akan lebih menundukkan pikiran seseorang dibanding sensitifitas nasionalisme.
Bagi penulis, demokrasi dan nasionalisme di Indonesia memang bukan sesuatu yang paling ideal, namun itu yang lebih realistis diterapkan di Indonesia hari ini. Menguatkan framing identitas keumatan yang berusaha menandingi identitas kewarganegaraan di era politik kontemporer akan semakin memperuncing persoalan dan mempercepat benturan peradaban sebagaimana narasi yang ditulis Samuel Hutington.