Keadilan adalah gagasan paling sentral dalam menata relasi antar manusia. Ini diajarkan setiap agama, tradisi sosial dan etika kemanusiaan. Penegakkannya adalah niscaya sebagai upaya meraih cita-cita manusia dalam kehidupan bersamanya. Abu Bakar al Razi (w. 865 M)/Rhazes, salah seorang filsuf dan pemikir besar Islam abad pertengahan bahkan menegaskan : “Tujuan tertinggi untuk apa kita diciptakan dan kemana kita diarahkan bukanlah kegembiraan atas kesenangan-kesenangan fisik. Akan tetapi pencapaian ilmu pengetahuan dan praktik keadilan”. (Baca : Majid Khadduri, Teologi Keadilan Perspektif Islam, Risalah Gusti, Surabaya, Cet. I, 1999, hl. 155). Jauh berabad sebelumnya filosof klasik paling terkemuka, Aristoteles, mengemukakan bahwa : “Keadilan adalah kebajikan tertinggi yang di dalamnya setiap kebajikan dimengerti”. (Ibid).
Dalam konteks Islam, sentralitas ide keadilan (al ‘adl dan al qisth) tersebut dibuktikan melalui penyebutannya di dalam kitab suci al Qur’an sebanyak lebih dari 50 kali dalam beragam bentuk. Di samping menggunakan kata “al ‘Adl”, sendiri, kitab suci tersebut juga menggunakan kata lain yang memiliki makna yang indentik dengan keadilan, seperti al qisth, al wasath (tengah), al mizan (seimbang), al sawa/al musawah (sama/persamaan), al matsil (setara) dan lain-lain. (Lihat Ibnu Manzhur, Lisan al Arab, Dar al Shadir, Beirut, cet. I; al Fayruzabadi, al Qamus al Muhith ; al Zabidi, Taj al Arus; Dr. Rafiq al ‘Ajm, Mawsu’ah Musthalahat Ushul al Fiqh ‘Ind al Muslimin, Maktabah Lubnan, cet. I, 1998, h. 924-928).
Lebih dari itu keadilan menjadi salah satu nama Indah Tuhan ( al-‘Adl) dan merpakan tugas utama kenabian. Semua teks-teks agama tentang keadilan tersebut memperlihatkan dengan jelas bahwa keadilan merupakan perintah Tuhan yang harus ditegakkan manusia demi kepentingan manusia sendiri. Dalam teks-teks suci Islam : Al-Qur’an dan al-Sunnah yang di dalamnya disebut kata adil atau keadilan, menunjukkan bahwa ia merupakan gabungan nilai-nilai moral utama, seperti kejujuran, keseimbangan, kesetaraan, kebajikan, keserasian, proporsionalitas dan kesederhanaan. Nilai-nilai moral ini menjadi inti dari visi agama yang harus direalisasikan manusia dalam kapasitasnya sebagai individu, keluarga, anggota komunitas maupun penyelenggara negara. Baca al Qur’an antara lain : Q.S.[IV]:58; Q.S. [VI]: 152; Q.S.[XVI]:60;
Antinonim dari keadilan adalah kezaliman (al zhulm), tirani (al thugyan), dan penyimpangan (al jawr) dan penindasan. Tuhan mengecam keras tindak-tindakan ini.
Al-Qur’an menyatakan dengan tegas : “La Tazhlimuna wa La Tuzhlamun”. “janganlah kalian berbuat zalim dan jangan pula (mau) dizalimi”.
Dalam sebuah hadits Qudsi, Tuhan menyampaikan :
يَا عِبَادِي إِنِّي حَرَّمْتُ الظُّلْمَ عَلَى نَفْسِي ، وَجَعَلْتُهُ بَيْنَكُمْ مُحَرَّماً فَلَا تَظَّالَمُوا.
“Wahai hamba-hamba-Ku, Aku telah mengharamkan kezaliman atas Diri-Ku, dan Aku juga mengharamkannya kepada kalian. Maka janganlah kalian saling menzalimi”.
اتقوا الظلم فان الظلم ظلمات يوم القيامة
“Hindarilah kezaliman, karena ia adalah kegelapan berlapis-lapis pada hari kiamat kelak”.
Tampak jelas sudah bahwa untuk penegakan keadilan kaum beriman memiliki dua sisi yang harus diperjuangkan secara simultan; menciptakan moralitas kemanusiaan yang luhur dan mengapuskan segala bentuk kekerasan, tirani, penyimpangan, penyalahgunaan wewenang, menipu dan segala moralitas yang rendah lainnya.
*KH. Husein Muhammad