Imam Al-Zarkasyi — rahimahullah—mengutarakan:
Ahlussunah wal Jamaah adalah sebuah madzhab yang memiliki cara pandang tawassut (moderat/tengah-tengah). Pendapat mereka berada di tengah-tengah di antara keyakinan al Jabr (keterpaksaan; yakni keyakinan bahwa seorang hamba tidak mempunyai kuasa dan kehendak sama sekali. Ia bagaikan kapas yang terhempas kemana angin berhembus; fatalistik. Disebut sebagai golongan Jab(a)riyyah) dan keyakinan al-Qadr (keyakinan bahwa manusia mampu menciptakan perbuatannya sendiri atas kehendak dan kuasa hamba itu sendiri; free act-free will. Pemilik keyakinan ini disebut Qadari/Qadariyyah).
Mereka, ahlussunnah tidak berlepas dari dua sisi tinjauan yang menurut mereka tidak boleh diabaikan salah satunya.
Pertama, dari sisi penciptaan. Menurut Ahlussunnah, perbuatan hamba dari tinjauan penciptaan adalah dari Allah SWT, [Semua yang terjadi; yang dilakukan seorang hamba adalah DICIPTAKAN oleh-Nya]. Dari sisi lain, yakni sisi perbuatan, ia DILAKUKAN oleh hamba itu sendiri. Maka, pekerjaan hamba adalah perbuatan hamba dimana perbuatan yang dilakukannya adalah ciptaan-Nya. Dalam hal ini, Ahlus Sunnah mengistilahkannya dengan al-kasb. Keyakinan Ahlussunnah ini didasarkan kepada firman Allah SWT:
” Engkau Muhammad tidaklah —menciptakan perbuatan melempar– pada saat engkau –melakuan perbuatan melempar–, namun Allah lah –yang MENCIPTAKAN perbuatan mu– melempar [ QS Al Anfal : 17].”
Dalam ayat ini, Allah menetapkan perbuatan melempar [Kasb] kepada Nabi (idz ramayta) dan menafikan nisbat menciptakan perbuatan berupa pekerjaan melempar yang dilakukan oleh Nabi– (wa ma ramayta).
Di satu sisi, jika perbuatan dinisbatkan kepada sifat Kuasa Allah yang Qadim [ada tanpa permulaan], maka perbuatan itu disebut dengan PENCIPTAAN [menjadikan segala sesuatu dari tidak ada menjadi ada, termasuk diantaranya adalah menciptakan perbuatan hamba] dan Dzat yang MENCIPTAKAN perbuatan manusia dari tidak ada menjadi ada disebut sebagai Al-Khaliq; Dzat Yang Maha Mampu Menciptakan segala sesuatu dari tidak ada menjadi ada. Sedangkan di sisi lainnya, jika perbuatan hamba dinisbatkan kepada sifat kuasa yang ada pada seorang hamba yang baru datang [mempunyai permulaan; diciptakan dari tidak ada menjadi ada], maka disebut kasb dan yang melakukan perbuatan tersebut disebut kasib.
Konsep kasb ahlussunnah ini harus dijadikan pegangan, agar kita yakin bahwa seseorang hamba mempunyai tanggungjawab melaksanakan syariat adalah pemahaman yang sahih, ada pahala -bagi yang melaksanakan syariat-, ada siksa -bagi yang tidak berdisiplin melaksanakan perintah syariat yang diajarkan para Nabi dan Rasul-. Sebab, keyakinan bahwa seorang hamba tidak mempunyai kehendak dan kuasa sama sekali [al jabr] dan keyakinan bahwa seorang hamba mempunyai tanggungjawab untuk menjalankan syariat adalah dua keyakinan yang tak dapat disatukan sama sekali [ada pertentangan yang nyata antara keyakinan al jabr dan keyakinan adanya perintah dan larangan syariat yang jelas yang dibawa para Nabi dan Rasul].
Kesimpulannya, perbuatan hamba harus dinisbatkan kepada hamba itu sendiri dalam sisi pandang syari’at, sebab kelak manusia akan dimintai pertanggungjawaban atas seluruh perbuatannya -sebagaimana diberitakan oleh para utusan-Nya – . Dan dari sisi yang lain, tidak ada yang mampu berbuat secara hakiki -yakni menciptakan segala sesuatu, termasuk didalamnya adalah menciptakan perbuatan hamba dari tidak ada menjadi ada- kecuali Allah.
Maka, meninjau sisi lahir disebut syari’at dan melihat sisi batin disebut hakikat. Dua tinjauan yang tidak boleh dipisahkan satu sama lain ini adalah Madzhab -moderat- Ahlussunnah wal Jamaah.
Wallau A’lam bi as-Shawab
*) Penulis adalah Pegiat Komunitas Literasi Pesantren, tinggal di Brebes