Habib Jindan dan Propaganda Marxisme

Habib Jindan dan Propaganda Marxisme

Habib Jindan juga dianggap melecehkan salah satu tokoh pimpinan mereka diklaim sebagai Imam Besar umat Islam.

Habib Jindan dan Propaganda Marxisme

Beberapa hari terakhir, media sosial cukup riuh soal Abu Janda dan Felix yang kemarin tampil di salah satu talkshow TV Swasta. Padahal jika kita bergeser ke arah selatan menuju Jogjakarta maka kita akan menemui kenyataan yang cukup mengiris hati kita, di mana saudara-saudara kita diperlakukan sangat tidak adil oleh aparat Negara. Animo terhadap persoalan ini sangatlah rendah baik di media sosial apalagi media massa, orang lebih tertarik dengan perdebatan Abu Janda dengan Felix dibanding mendukung saudara-saudaranya di Kulonprogo.

Media sosial sekarang ini menjadi aparatus paling efektif dalam menebar isu bahkan propaganda. Kasus penistaan agama yang menimpa Gubernur Jakarta beberapa waktu yang lalu adalah model yang paling tepat bagaimana media sosial berhasil membentuk persepsi dan menggerakkan massa.

Kemarin, di beranda media sosial saya ada sebuah video seorang Habib yang menegur keras seorang Habib juga bernama Habib Jindan bin Novel bin Salim bin Jindan. Kritik tersebut yang diarahkan kepada Habib Jindan disebabkan beliau terus mengkampanyekan Islam damai dan tanpa caci maki.

Habib Jindan dikenal sebutan “Singa Podium” juga bersuara keras aksi-aksi yang selama ini mengklaim membela agama Islam, kalau agama Islam dibela dengan caci maki maka Habib Jindan bersyukur tidak mengenal Islam dari sumber mereka. Salah satu contohnya Habib Jindan menyuarakan bahwa mereka yang memasang spanduk tidak akan menyalatkan siapa yang memilih menjadi pendukung atau pemilih salah satu kandidat maka itu adalah sebuah penistaan terhadap mesjid dan juga penistaan terhadap agama Allah yaitu Islam.

Bersama saudara beliau, Habib Ahmad selalu menyuarakan bagaimana seharusnya kita berhadapan dengan pemimpin atau pemerintahan yang zalim. Saat kita tidak setuju dengan keputusan atau kebijaksanaan pemerintah maka kita harus tetap menyampaikan keberatan kita dengan cara yang baik, inilah yang juga sering diingatkan oleh Habib Jindan.

Habib Jindan menyuarakan Islam cinta damai ini merupakan bagian dari menyebarkan bagian dari apa yang pernah disampaikan oleh guru beliau Habib Umar bin Hafiz di salah satu acara di Jakarta beberapa waktu yang lalu. Habib Umar mempertanyakan adakah kata caci maki kepada kafir Quraisy, kaum Munafiq dan kaum Yahudi di Madinah, Rasulullah malah mencontohkan kepada kita untuk terus berdakwah kepada mereka yang menentang Rasul bukan malah mencaci maki mereka.

Propaganda bahwa Habib Jindan melemahkan dan memecah belah umat terus disebar khususnya di media sosial. Habib Jindan juga dianggap melecehkan salah satu tokoh pimpinan mereka diklaim sebagai Imam Besar umat Islam. Kritik kepada Habib Jindan semakin meluas saat beliau menjadi penceramah saat peringatan Maulid Nabi Muhammad di Istana Bogor minggu lalu, karena dianggap menjadi antek pemerintah yang sudah melakukan kezaliman kepada rakyat.

Sebuah propaganda sebenarnya tak selalu berkonotasi negatif. Martin Suryajaya dalam buku kumpulan tulisannya berjudul “Mencari Marxisme”, pernah membahas tema Marxisme dan Propaganda. Dalam Marxisme, Prinsip propaganda Marxis bukanlah menyebarkan gagasan yang apapun asal menguntungkan kepentingan kelas pekerja.

Sebab dalam prinsip Marxis, propaganda itu haruslah menyebarluaskan gagasan yang benar. Kata yang perlu digaris bawahi adalah “Yang Benar”, karena dalam adagium tersebut berlaku asumsi: gagasan apapun, asalkan benar, tidak akan merugikan kelas yang diperjuangkan oleh Marx yaitu kelas buruh.

Ada sebuah fragmen berbunyi “Setiap manusia, secara kodrati, adalah Marxis. Mereka menjadi non atau anti-Marxis karena kesalahpahaman saja”. Inilah aksioma paling pokok dalam propaganda Marxis. Peran propaganda Marxis bukanlah menyalahkan orang yang tidak membaca Das Kapital, atau tidak mengetahui struktur kelas dan kata borjuis.

Jadi tugas paling penting dalam propaganda Marxis adalah menginternalisasi nilai-nilai dan ajaran Marxis, menanamkan ideologi kiri dan sejenisnya, melainkan menjadi bidang untuk lahirnya gagasan yang benar dari dalam diri manusia itu sendiri. Sebab dengan hadirnya kebenaran, maka Marxisme akan datang dengan sendirinya.

Islam sebagai agama yang memiliki penganut terbesar di Indonesia ini, perlu belajar dari propaganda kaum Marxis ini. Sebab memaksakan menyebarkan nilai-nilai Islam ke seseorang juga Negara, malah berpotensi membuat Islam jadi mendapatkan resistensi dari mereka menjadi objek dakwah. Islam yang disebarkan atau dipopulerkan dengan cacian dan makian malah menjadikan mereka yang di luar Islam menilai bahwa Islam adalah agama yang penuh cacian dan makian.

Inilah yang bisa kita ambil dari sebuah adagium yang diajarkan oleh Habib Jindan dan Habib Ahmad “Sebaik-baik jihad adalah mengatakan yang benar, kepada pemimpin yang zalim”.

Menurut Habib Ahmad bin Novel bin Salim bin Jindan, saudara dari Habib Jindan, bahwa menyampaikan sesuatu keberatan itu haruslah kebenaran yang bukan cuma menguntungkan dirinya sendiri namun kebenaran bagi seluruh umat manusia.

Inilah Islam yang selama ini kita rindukan sebab setelah politik di pilkada Jakarta yang cukup menguras emosi keberagamaan kita, maka bukanlah kita seharusnya mengembalikan Islam ke arah yang lebih tepat yaitu apa yang disebut oleh KH. Husien Muhammad “Islam adalah tempat di mana orang merasa aman dan nyaman”.

Kebenaran yang hakiki adalah kebenaran yang bermanfaat dan mendamaikan seluruh umat manusia. Oleh sebab itulah, jika kebenaran yang disampaikan dengan menindas, menekan atau melibas orang lain maka itu bukanlah kebenaran yang hakiki dan malah akan merusak kebenaran itu sendiri.

Wallahu a’lam bi Shawab- Fatahallahu alaihi futuh al-arifin.