Gerakan Aksi Bela Islam (ABI) yang berjilid-jilid merupakan aksi fusi dari beberapa gerakan sipil-keagamaan. Dimotori Habib Rizieq Shihab, sebagai Imam Besar FPI, dengan organ taktis Gerakan Nasional Pengawal Fatwa Majelis Ulama Indonesia (GNPF-MUI), gerakan ini sukses memainkan politik identitas. Identitas yang dimainkan di sini adalah identitas keagamaan, dalam hal ini Islam.
Secara efektif, Rizieq Shihab berusaha mengkristalkan identitas Islam Indonesia agar bergerak sentripetal ke dirinya. Di sela-sela gerakan Aksi Bela islam tesebut, Rizieq Shihab bahkan sempat hendak didaulat menjadi Imam Besar umat Islam, namun isu ini berakhir tenggelam.
ABI sebagai politik identitas merupakan simbol yang menyatukan beberapa narasi yang relatif berbeda. Hizbut Tahrir Indonesia dengan platform khilafahnya, FPI dengan platform syariahnya, high politics dari Amien Rais, dan nasionalisme dari Prabowo dan SBY. Pengerucutan politik identitas yang mengatasnamakan Islam dan NKRI menjadi manuver yang menarik banyak pihak untuk bergabung. Berapa lama politik identitas ini akan menjadi magnet, entah hanya sejarah yang akan menjawabnya. Sebab, sebagai manuver politik, ia akan mengalami pasang naik dan pasang turun. Tergantung situasi dan kondisi selain juga tentunya upaya penciptaan momentum dari politisi.
Fanpage FPI di social media memajang logo NKRI Bersyariah. Sementara dalam salah satu postingan di sosial media, NKRI mendapat singkatan berbeda, yakni Negara Khilafah Republik Indonesia. Apabila digandengkan, Negara Khilafah Republik Indonesia Bersyariah, maka ini merupakan fusi dari platform HTI dan FPI sekaligus.
FPI tampaknya memang sangat getol mengusung platform syariahnya. Namun, apakah sedari awal platform syariah ini merupakan pijakannya? Apabila ditelusur ke masa awal pembentukannya, FPI sangat dipengaruhi oleh kondisi sosial-politik yang karut-marut. Berdiri pada 17 Agustus 1998, FPI diinisiasi oleh unsur-unsur militer. Seperti diketahui, masa-masa sebelumnya, Mei 1998 merupakan momen kritikal “era reformasi”. Pada saat itu, banyak unsur-unsur gerakan pro-demokrasi dengan berbagai latar belakang ideologis yang berbeda bergabung menuntut perubahan. Rezim Orde Baru yang korup tak mampu lagi melawan tuntutan ini.
Pasca Soeharto menyerahkan kekuasaannya kepada Habibie untuk menjalankan pemerintahan transisi, gelombang aksi demonstrasi massa pro-demokrasi cukup surut, namun tidaklah berhenti sama sekali. Dalam konteks inilah, FPI diinisiasi. Ia menjadi counter wacana demokrasi yang gegap gempita disuarakan banyak pihak.
FPI diinisiasi bersama serentetan upaya kalangan militer memobilisasi kelompok milisi dalam bingkai Pengamanan Swakarsa (Pamswakarsa). Konflik vertikal antara negara versus masyarakat sipil, berupaya dibelokkan menjadi konflik horizontal antara sipil versus sipil sendiri. Kelompok milisi ini dibentuk untuk menandingi wacana gerakan pro-demokrasi yang berusaha menolak Sidang Istimewa (SI) pada Nopember 1998. SI dipandang gerakan pro-demokrasi sebagai upaya melegitimasi Habibie sebagai presiden.
Sementara kalangan lainnya, yakni mereka yang mengidentifikasi diri dari kelompok Islam, menganggap bahwa kalangan yang menolak Habibie adalah kalangan komunis dan non-muslim. Sebuah anggapan yang keliru dan simplistik. Sebab, mereka yang menolak Habibie ini sebagian juga dari kalangan muslim.
Mengusung syariah dan khilafah sebagai jargon politik merupakan fenomena khas wacana abad ke-20 dan 21. Nazih Ayubi, seorang sarjana sosiologi politik, dalam tulisannya Political Islam: Politics and Religion in the Arab World (1993) mengemukakan tesis ini. Jargon politik ini menurutnya, bergerak antara wacana hakimiyyah ala Khawarij yang mengabsolutkan diri sebagai pemerintahan ilahiah dan wacana taqiyyah ala Syi’ah yang suka memelintir perkataan.
Jargon syariah FPI dan khilafah HTI merupakan jargon politik. Dalam hal ini, politik ditarik senafas dengan agama. Hal ini akan tampak kontras dibandingkan dengan NU dan Muhammadiyah yang mengambil jalur kultural. Keberagamaan ditarik mengambil jarak dari politik. Meskipun bila ditelusur, gerak menjauh dari politik yang dilakukan NU dan Muhammadiyah terhubung erat dengan reaksi atas ‘politik asas tunggal Pancasila’ ala Orde Baru pada 1980-an.
Dikaitkan dengan perspektif tasawuf, jargon syariah bila ditelisik, kelihatan cukup menjauh dari hakikat, bahkan cenderung menafikannya. Hakikat apa yang dimaksud di sini? Tentu saja hakikat yang terkait erat dengan rahasia-rahasia ketuhanan. Dalam tasawuf, syariat tidak dapat dilepaskan dari hakikat. Demikian pula sebaliknya, hakikat tak bisa mengenyahkan syariat. Karena itu, kebijaksanaan tentang level keilmuan keagamaan yang paling penting adalah beranjak dari syariat ke hakikat, atau fiqih, kalam dan tasawuf.
Hal ini selaras dengan prinsip metafisikal Islam yang dikristalkan dalam QS. 57:3, “Dialah Yang Awal dan Yang Akhir, Yang Lahir dan Yang Bathin”.
Syariah merupakan ilmu lahir, sedangkan hakikat (kenyataan batiniah) didapati dari menempuhi metode atau tarekat. Mengusung syariah semata akan pincang, berpegang pada hakikat saja bakalan centang-perenang. Karenanya perlu keseimbangan.
Dan, Islam adalah agama yang menekankan pada keseimbangan kehidupan duniawi dan ukhrawi. [ ]