Bermula saat saya dan teman-teman UIN Jakarta menghadiri acara Internasional Islamic Education EXPO di BSD Serpong, Tangsel di hari Kamis (24/11) kemarin. Singkat cerita, setelah mendarat di lokasi, saya bergegas mencari-cari tempat dimana Gus Ulil berada. Setelah “muter-muter”, akhirnya saya ketemu dengan beliau secara langsung untuk yang pertama kalinya. Beberapa saat kemudian, kajian pun dimulai beliau dengan gaya bicaranya, yang menurut saya, khas dan santai.
Dari penafsirannya tentang apa, siapa dan bagaimana itu santri millennial, saya dapatkan banyak sekali “pencerahan” dan catatan baru yang sangat menarik untuk saya bagikan di sini. Tentunya dengan beberapa tambahan dari saya sendiri.
Pengertian santri sebagaimana diketahui pada umumnya adalah seseorang (laki-laki/perempuan) baik itu tua, muda, maupun kecil, yang menimba ilmu agama. Namun, biasanya pengertian ini dikhususkan pada mereka yang masih belajar atau pernah belajar di pondok pesantren. Adapun millenial sendiri adalah generasi yang lahir pada tahun 1981 – 1996, kini biasa dikenal sebagai “Zaman Now”.
Dari pengertian itulah, Gus Ulil mencoba mencirikan santri millennial dengan tiga hal: Pertama, mereka mengembangkan Islam Indonesia yang moderat atau wasathiyah, Dalam arti tidak memahami Islam secara literalis atau hitam putih, yang pada gilirannya mengakibatkan pemahaman mereka menjadi radikal. Misalnya, sangat mudah mengkafirkan, bangga dengan kekerasan, dan ngoyo mendirikan kekhilafahan.
Namun di sisi lain, santri millennial juga tidak terlalu liberal, yang mempermudah segala urusan agama sesuai kehendak/nafsunya belaka. Misalnya, ingin menjadikan seorang perempuan sebagai Imam dalam sholat Jum’at hanya karena alasan emansipasi wanita.
Kedua, mereka tidak pernah mempertentangkan antara Islam Ka’bah (Timur Tengah) dan Islam Pancasila (Indonesia). Seperti yang pernah dikatakan Gusdur, setelah reformasi, terdapat fenomena Arabisasi yang ditandai dengan munculnya sekelompok orang atau lebih tepatnya golongan yang mencoba mempermasalahkan Pancasila.
Mereka berdalih bahwa Pancasila itu bukan dari Islam, atau sistem “Thoghut”, dan lain sebagainya, tanpa mengerti sejarah panjang lahirnya Pancasila dan esensi nilai-nilai Pancasila.
Padahal, apabila mereka mau membuka fikiran dan mata hati sedikit saja, pasti akan tahu bahwa salah satu sila pertama yang “mengayomi” sila-sila selanjutnya yang berbunyi “Ketuhanan Yang Maha Esa” adalah refleksi atau cerminan dari salah satu ayat al-Qur’an dalam surat al-Ikhlas, yakni tentang Ke-Esaan Allah.
Ketiga, mereka tidak mempertentangkan antara Muwathin (warga negara) dan Mu’min (orang Islam). Misalnya, masyarakat muslim Indonesia mencirikan keislamannya dengan sarung. Uniknya, sarung merupakan hasil modifikasi dari jubah Timur Tengah, yang warna dan coraknya tidak hanya putih, akan tetapi bermacam-macam. Ada yang bercorak batik khas Jawa, tenun khas Samarinda, sampai Poleng khas Bali. Sarung adalah budaya Asia Tenggara. Sarung juga simbol bahwa Islam budaya lokal tidak bertentangan dengan Islam Arab.
Bedakan antara Dhoruriyat, Hajiyat, dan Tahsiniyat
Ada yang bertanya, sebenarnya apa tugas utama generasi muslim millennial ? Santri atau generasi muslim millennial itu harus bisa membedakan mana kebutuhan Dhoruriyat (Primer), Hajiyat (Sekunder), dan Tahsiniyat (Tersier). Lalu, tugas paling utama santri adalah berkecimpung dalam bidang pendidikan dan sosial-ekonomi.
Tugas Dhoruriyat santri bukanlah “bermain” politik. Politik itu hanyalah Hajiyat atau pendukung saja. Mari sedikit melihat sejarah Walisongo. Mereka menyebarkan Islam khushusnya di Jawa, dengan menggunakan metode dan cara yang sangat lembut, dan pada akhirnya, beberapa kerajaan yang awalnya berkeyakinan Hindu-Budha berubah menjadi kerajaan Islam. Maka kita mengenal Kerajaan/Kesultanan Demak, Banten, Jepara, dan lain sebagainya.
Namun, sejarah menunjukkan bahwa lambat laun kerajaan itu runtuh dan hancur. Lalu apakah mereka, para ulama’ dan umara’, memaksa ingin mendirikan kerajaan atau istilah sekarang “Khilafah” Islam di negeri ini lagi? Jawabannya tentu tidak. Kenapa? Karena mereka mengetahui bahwa hal itu bukanlah persoalan Dhoruriyat, akan tetapi persoalan Hajiyat belaka. Menurut mereka, yang lebih penting dari itu adalah menjadikan masyarakat muslim Indonesia memiliki karakter yang Islami.
Adapun tugas Tahsiniyat santri millennial adalah meneladani akhlak Nabi Muhammad, mencintai negerinya sendiri, berusaha mem-viralkan Islam yang dalam bahasa Prof. Azyumardi Azra disebut sebagai “Flowery Islam” atau Islam yang berbunga-bunga yang diterima semua orang.
Oleh karenanya, ciri-ciri di atas penting untuk dilestarikan dan diviralkan oleh para santri. Karena Islam seperti ini adalah Islam yang khas dunia melayu, dunia Indonesia, dan dunia Nusantara. Selain itu, Islam semacam ini adalah Islam yang berhak berkembang di Indonesia.