Kisah Masjid dan Gereja yang Bergandengan Mesra di Kota Solo

Kisah Masjid dan Gereja yang Bergandengan Mesra di Kota Solo

Kedua rumah ibadah ini bergandengan mesra sangat lama dan menandai toleransi agama di kota Solo

Kisah Masjid dan Gereja yang Bergandengan Mesra di Kota Solo
GKJ Joyodiningratan dan Masjid AL Hikmah bersanding dan berbagi alamat di Jalan Gatot Subroto 222 lebih dari setengah abad.

Dua bangunan yang didirikan bersebelahan sudah menjadi hal yang wajar di mata masyarakat. Tetapi bagaimana jika kedua bangunan itu adalah tempat ibadah dari dua agama yang berbeda?

Sebagian besar orang mungkin bertanya-tanya apakah mungkin kedua tempat itu akan didirikan bersebelahan. Dalam kenyataannya memang benar adanya, kedua bangunan ini didirikan. Masjid dan gereja berdiri berdampingan dapat dikunjungi di Jl. Gatot Subroto No.222, Kratonan, Serengan, Kota Surakarta, Jawa Tengah.

Sejarah berdirinya kedua bangunan ini berawal dari pemilik tanah pada waktu itu yang bernama Haji Ahmad Zaini. Beliau memiliki tanah seluas 1.600 meter persegi. Tanah ini pada mulanya akan dibeli untuk membangun sebuah gereja. Beliau menyetujuinya, akan tetapi beliau meminta kepada pihak gereja untuk tidak membeli semua tanah miliknya. Karena beliau ingin membangun mushola disamping gereja, agar masyarakat dapat melihat suatu perbedaa agama bukan menjadi perusak dalam menjalin keharmonisan dalam kehidupan.

Maka, dibangunlah sebuah gereja pada tahun 1939, yang diberi nama dengan Gereja Kristen Jawa Joyodiningratan. Sedangkan mushola sendiri didirikan beberapa tahun setelah gereja, lebih tepatnya pada tahun 1947 dan diberikan nama Mushola Al-Hikmah. Karena tempat ibadah pada waktu itu masih jarang dan jumlah masyarakat muslim yang semakin meningkat, maka diputuskan untuk merenovasi mushola untuk dijadikan masjid pada tahun 1990-an.

Sekitar 60 tahun lamanya, Masjid dan Gereja telah bediri berdampingan. Tidak pernah terjadi perselihan di antara kedua pihak.

“Masjid dan Gereja bisa bergandengan dengan aman dan sangat bagus, karena keduanya dapat menjaga perbedaan ini menjadi sebuah kebersamaan,” tutur bapak Natsi, takmir masjid tersebut.

Tidak dapat dipungkiri lagi bahwa setiap agama memiliki waktu, tempat dan cara ibadah yang berbeda-beda.

Beliau juga menambahkan,“Dengan perbedaan ini kedua belah pihak dapat saling memahami satu sama lain. Sikap saling menghormati ini telah disampaikan dari pendahulu-pendahulu kepada anak cucu hingga sekarang ini. Maka pada initinya dibangun tugu lilin (di antara masjid dan gereja) ini sebagai tanda bahwa tidak akan ada masalah sampai nanti.”

Bentuk toleransi yang terjadi dapat dirasakan saat hari raya Idhul Adha dan Idhul Fitri.

“Pada saat hari raya Idhul Adha karena masjid tidak memiliki lahan untuk menyimpan hewan qurban, maka pihak masjid meminta izin kepada pihak gereja untuk menaruh hewan qurban di depan gereja (yang biasa digunakan untuk tempat parkir). Dan pihak gereja memberikan izin,” tambah beliau.

Begitupun dengan sholat Ied yang dilakukan hingga menutup jalan di depan gereja. Apabila sholat Ied bertepatan dengan hari minggu maka pihak gereja akan melakukan kebaktian, setelah sholat Ied telah selesai.

Keharmonisan yang terjadi di sini sudah turun-temurun dan dirasakan oleh masyarakat. Sehingga masyarakat sekitar sudah tidak heran lagi apabila terjadi kegiatan tadi.

Ibu Nunung sebagai pendeta di GKJ Joyodiningratan menuturkan,“Saat ini kami merasakan bahwa keberadaan Gereja dan Masjid ini dapat menjadikan teladan dalam kerukunan dalam umat beragama. Kami tidak mengganggu satu sama yang lain, dan kami bisa hidup berdampingan dengan damai, saling menghormati. Dan dalam kemanusiaan kita bisa bersama-sama menjalankan bakti sosial.”

Semoga kerukunan antar umat beragama ini dapat berjalan terus. Sehingga dapat dicontoh dan diterapkan dalam kehidupan sosial. Bahwa bersahabat itu tidak memandang suku, ras, agama dan bahasa. karena manusia memang diciptakan untuk saling mengenal satu dengan yang lain. []