Musik telah menjadi isu penting dalam pemikiran Islam semenjak permulaan Islam itu sendiri. Nabi Muhammad menyebut beberapa hal ihwal yang terkait dengan musik dalam percakapannya dengan orang lain, dan tak lama kemudian kontroversi muncul mengenai peranan musik dalam agama.
Ada dua kubu teori dasar musik dalam filsafat Islam: kubu Al-Farabi dan Ibn Sina, serta kubu Ikhwan Al-Shafa’ dan Al-Kindi (abad 3 H/9 M). Ikhwan Al-Shafa’ hidup sekitar abad 10 dan 11 M, namun tidak banyak yang mengetahui siapa ia sebenarnya, dan bersama Al-Kindi mereka merupakan pendukung kuat Neoplatonisme. Kita perlu meneroka kontroversi ini karena dapat mengungkapkan kontroversi serupa dalam jantung estetika itu sendiri.
Berbeda dengan Al-Kindi dan Ikhwan Al-Shafa’, Ibn Sina dan Al-Farabi tidak mengikuti jalur Neoplatonis dalam pemikiran musiknya. Bagi Al-Kindi dan Ikhwan Al-Shafa’, musik terkait dengan kenyataan-kenyataan aritmetik dan samawi, persis laiknya pandangan Pythagorean. Musik, karena itu, memiliki hubungan erat dengan sesuatu yang nyata dan objektif, yang merupakan sumber kekuatannya.
Bagi Ikhwan, musik yang membumi mencerminkan musik yang di langit, dan menggambarkan suatu jalan ke arah kemajuan spiritual, menuju dunia eksistensi yang lebih tinggi. Bagi Al-Kindi, musik adalah sistem harmoni yang berhubungan dengan keseimbangan lahiriah dan emosional, dan dapat digunakan sebagai terapi keseimbangan. Tetapi, ini juga berarti bahwa musik terkait dengan wujud yang benar-benar ada di dunia luar, dan ia dapat dinilai dari segi akurasi atau tidaknya.
Al-Farabi dan Ibn Sina, sebaliknya, menyikapi musik sebagai sesuatu yang terpisah dari hal lain. Musik terkait dengan bunyi dan cara-cara pengaturan bunyi yang dapat menghasilkan kesenangan di telinga pendengarnya. Apa yang penting dari musik adalah kemampuannya untuk membuat kita menikmati bunyi. Perbedaan antara dua pandangan ini tidak bisa dilebih-lebihkan. Bagi Al-Kindi dan Ikhwan, yang penting dari musik adalah apa yang dicerminkannya, sedangkan bagi Al-Farabi dan Ibn Sina, apa yang bisa dilakukannya untuk kita.
Al-Farabi adalah seorang teoritisi musik yang sangat penting, juga seorang penggubah lagu, dan beberapa musik karyanya hingga kini masih dimainkan di Timur Tengah. Lebih dari itu, dia banyak berperan dalam menyusun sistem nada Arab, yang membagi oktaf hingga duapuluh empat interval yang ekuivalen. Sistem ini masih menjadi dasar musik Arab tradisional, sedangkan yang agak berbeda, sistem analisis musik yang didasarkan pada Pythgorean menghasilkan sistem nada Turki dan Persia.
Di antara kitab yang menulis tentang musik pada abad-abad awal Islam, kita dapat menyebut bahwa inilah wilayah perhatian teoritis yang luar biasa, dan banyak musik yang benar-benar dimainkan. Teori Pythagorean menjadi dasar pemikiran di balik musik sufi, yang lebih daripada sekadar enak di telinga. Not-not dan berbagai gerakan dalam tarian dan musik sufi dirancang untuk menyerupai dasar realitas dan untuk menyembah Tuhan dengan menggunakan tubuh lewat cara-cara yang berbeda dari gerakan shalat. Perhatian kita di sini bukan pada ilmu musik, melainkan pada estetika, dan kita perlu memerhatikan beberapa masalah yang muncul dalam dunia Islam berkenaan dengan musik. Mengikuti garis Al-Farabi, musik Arab banyak menekankan pada tarab atau kenikmatan yang diperoleh ketika mendengar musik. Ada pepatah yang berbunyi al-fann ihsas (seni itu perasaan). Salah satu istilah Arab untuk musik, sama’, berarti mendengar, yang melukiskan musik sebagai pengalaman suci dan meletakkannya dalam kategori spiritual.
Pemain tarab harus memainkan selingan-selingan netral dengan baik dan akurat, juga merasakan efek musiknya, khususnya dengan merespons formula kadensial di akhir setiap frasa melodi, lebih-lebih dalam improvisasi pengaturan nada. Ia harus memiliki improvisasi pengaturan nada. Ia harus memiliki ihsas atau perasaan, yakni intonasi yang benar, akurasi ritmik, penilaian yang baik mengenai sistem skala dan penekanan nada. Ini semua lebih daripada sekadar kemampuan teknis. Dia juga harus memiliki kemampuan intuitif untuk menemukan keseimbangan musikal yang benar dalam membawakan musik antara cara-cara yang terlalu statis dan terlalu repetitif sehingga sukar melibatkan emosi, dengan pelbagai cara yang terlalu berlebihan dan liar sehingga sulit melibatkan emosi, dengan mempertahankan rasa pencapaian musikal yang hakiki.
Budaya tarab melambangkan kreativitas pada lingkaran komunikasi interaktif antara pemain dan penonton. Dalam lingkungan ideal, harus ada sebuah hubungan yang dinamis antara pemain berbakat yang mengalami transformasi estetik dan penonton yang sama berbakatnya dan mengalami transformasi emosional. Untuk itu, dituntut adanya suasana, jaww. Sering kali dibutuhkan waktu yang lama untuk memulai pertunjukan karena sang artis berusaha membangun suasana yang tepat.
Problematika ini adalah masalah yang ditanggulangi oleh artis dan penonton, dan pemain berupaya membantu para penonton untuk meraihnya. Seperti yang mungkin dibayangkan, ini merupakan proses yang sama sekali tidaklah mudah. Yang perlu ditekankan di sini ialah bahwa musik dipandang sebagai suatu aktivitas spiritual yang sangat penting, meskipun bukan aktivitas keagamaan (secara formal), dan hal ihwal inilah yang meletakkan pembatas unik tentang apa yang diperkenankan terjadi dari sudut pandang estetik.
Reaksi penonton sering kali sangat gaduh, kadang malah terlalu berisik. Mereka dapat ikut campur dalam musik itu sendiri, dan tidak jarang malah menjadi pertunjukkan itu sendiri, yang bersifat sukarela dan tidak kreatif. Kadang penonton bereaksi sebagaimana para sufi, dan sering kali agak liar dan bebas. Namun, dalam banyak tulisan yang terkenal mengenai topik ini, para sufi menekankan pentingnya diam dan merenung ketika mendengar musik, dan jika musik serta tarian membuat orang mabuk kepayang, kita jelas boleh jadi bersikap liar, tetapi ketika fase itu berakhir, kita harus tenang dan diam baik secara fisik maupun mental.
Sebagaimana ditulis oleh Al-Ghazali dalam kitab Ihya’ ‘Ulum Al-Din, orang yang paling tenanglah yang sering kali mencapai tingkat ekstase tertinggi (wajd). Para pemikir sufi acap memafhumi bahwa tenang adalah sikap yang efektif untuk berhubungan dengan Tuhan. Dalam beberapa adat-istiadat lama di Timur Tengah, ketika lamaran pernikahan dilakukan, jika jawabannya diam itu artinya setuju, dan seseorang dapat berpikir dengan tenang untuk menerima keberadaan Tuhan dengan sikap yang jauh lebih tulus tinimbang banyak pernyataan keyakinan yang disuarakan.
Musik terdiri dari berbagai ketenangan yang berkelindan, dan masa-masa ketenangan baik sebelum, selama dan sesudah berakhirnya musik dapat membentuk ruang yang kuat untuk kontemplasi. Mungkin, salah satu kritik yang dapat diajukan untuk budaya tarab adalah bahwa budaya ini tidak memberi banyak ruang untuk diam dan merenung.
Sungguh, di sini kita perlu membedakan antara dua bentuk reaksi: pertama, respons yang aktif dan gaduh, dan itulah yang umumnya kita temukan di Timur Tengah, dan lebih banyak lagi terhadap musik sufi yang tersebar di berbagai tempat, khususnya di Asia Tenggara, tempat sufi sangat kental berpengaruh. Kedua, respons yang tenang, yakni tatkala perasaan emosi lebih banyak menyentuh pikiran pendengar daripada raganya, tetapi salah total untuk dianggap bahwa kita bisa dengan mudah membedakan antara pikiran dan raga, dan salah satu tujuan sufisme ialah menolak pembedaan seperti itu. Di lain pihak, aktivitas-aktivitas yang banyak dilakukan oleh para sufi dalam bentuk musik dan tarian, dalam usaha mereka mendekatkan diri kepada Tuhan boleh jadi tidak mencapai sasaran.
Aktivitas-aktivitas itu acap secara harfiah menjadi pertunjukkan, dan inilah yang terjadi ketika improvisasi yang murni telah berakhir. Ketika pemain dan pendengar berada dalam keselarasan yang hakiki dan masing-masing bisa merefleksikan dan merespons apa yang dihasilkan orang lain, kita mempunyai bentuk dialog yang mungkin berhasil merefleksikan hubungan kita dengan sang Pencipta. Terjadi suatu pertumbuhan kesadaran yang bertahap dan peningkatan yang lamban dalam pemikiran dan apresiasi, dan di akhir seluruh proses itu kita pun mengalami perkembangan, namun itu tidak berarti bahwa kita harus berteriak dan menggerakkan tangan ketika merespons musik dan lagu.
Tindakan seperti inilah yang mungkin mendorong kita untuk melihat pertunjukkan sebagai hiburan belaka, sehingga ketik pertunjukkan itu berakhir, kita bisa menjalani masa hidup kita seperti sebelumnya dan seolah-olah pertunjukkan itu tidak pernah ada karena ia tidak pernah betul-betul memengaruhi kita.