Mari Berkenalan dengan Homo Hasadus alias Manusia Penuh Kebencian (Bagian 2-Habis)

Mari Berkenalan dengan Homo Hasadus alias Manusia Penuh Kebencian (Bagian 2-Habis)

Bagaimana muasal kebencian hingga menjadi racun yang mematikan? Begini analisis dan petanya

Mari Berkenalan dengan Homo Hasadus alias Manusia Penuh Kebencian (Bagian 2-Habis)
Makhluk penebar kebencian ada di mana-di mana dan ternyata ada namanya: Homo Hasadus. Apakah kita termasuk jenis ini? Ilustrasi by Toto Prastowo

Pada bagian  pertama penulis bicara tentang muasal ujaran kebencian yang menurut hemat penulis bisa ditelusur pada Perang Dingin Arab (Baca: Mari Berkenalan dengan Homo Hasadus alias Manusia Penuh Kebencian (Bag-1). Muasal ujaran kebencian ini mengalami bentuk yang lebih keras lagi dalam pertarungan merebut hegemoni atas dunia Islam, pertarungan antara Iran versus Saudi.

Muasal Ujaran Kebencian: Konflik Hegemonik Iran/Saudi

Revolusi Islam Iran pada 1979, membawakan Arab Saudi tantangan baru yang lebih ketat. Revolusi Iran ini mengakhiri supremasi Arab Saudi di dunia Islam. Revolusi ini memaksa Saudi mencari cara untuk membendung secara efektif ‘efek Iran’ di Timur Tengah khususnya, dan lebih luas lagi pada dunia Islam umumnya. Betapa tidak? Iran yang nota bene Syi’ah Itsna ‘Asyariah (Imamiyah) merupakan tantangan besar bagi ideologi Wahhabiyah Arab Saudi. Teokrasi Syi’ah menantang legitimasi rezim Saudi dan perannya sebagai pelindung situs suci di Mekkah dan Medinah.

Konflik hegemonik Iran/Saudi di kawasan Timur Tengah menjadi tak terelakkan. Dalam konteks inilah institusi-institusi pendidikan Saudi akan memainkan peran penting dalam menekan Islam Syi’ah di negara-negara lain sekaligus memantapkan aliansi-aliansi ideologisnya.

Politik keagamaan Saudi mempertimbangkan secara serius posisi strategis utama Indonesia. Dengan populasi penduduk Muslim terbesar di dunia, Saudi melihat Indonesia sebagai landasan dan pintu masuk untuk menjalin hubungan dengan komunitas muslim Asia Tenggara. Amanda Kovacs, dalam tulisannya “Saudi Arabia Exporting Salafi Education and Radicalizing Indonesian’s Muslims” di GIGA Focus, 2014, menggambarkan dengan subtil bagaimana Saudi menggunakan politik pendidikan keagamaannya di Indonesia.

LIPIA

Arab Saudi memancangkan lima sentra untuk meluaskan pengaruh ideologi Wahhabiyah/Salafiyyah di dunia. Lima sentra ini antara lain adalah Emirate Ras al-Khaimah, Djibouti, Tokyo, Fairfax (AS), dan Jakarta. Di Jakarta, pada 1980, Arab Saudi mendirikan Lembaga Ilmu Pengetahuan Islam dan Arab (LIPIA), cabang dari Imam Muhammad bin Saud University Riyadh. LIPIA ini, karena setingkat dengan perguruan tinggi, ia menjadi tonggak penting bagi Arab Saudi untuk meluaskan pengaruhnya di Asia Tenggara. Ia merupakan benteng ideologis sekaligus mikrokosmos Saudi di Indonesia. Meskipun tidak menganut konsep Indonesia tentang masyarakat demokratik dan plural secara keagamaan, pemerintah Indonesia masa Orde Baru mengizinkan LIPIA beroperasi secara bebas.

LIPIA secara umum berupaya menarik mahasiswa-mahasiswa Muslim dari wilayah timur, kebanyakan dari wilayah-wilayah Kristen, sekaligus para mahasiswa dari negara lainnya di Asia Tenggara. Mahasiswa laki-laki yang berprestasi, yang mau dengan segenap hati mempelajari al-Quran dan—yang terpenting—dapat diharapkan untuk menyebarkan gagasan-gagasan Saudi di Asia Tenggara dihadiahi beasiswa melanjutkan ke Universitas Imam Muhammad bin Saud di Riyadh. Dengan bermukimnya mereka di Riyadh, diharapkan mereka akan lebih setia lagi pada nilai-nilai Wahhabi dan lebih simpatik pada kekuasaan Saudi.

Pelajaran-pelajaran di LIPIA merupakan transfer langsung  dari diskursus keagamaan di Arab Saudi. Berbeda dengan mayoritas kepemelukan mazhab di Indonesia yang Syafi’iyyah, para guru di LIPIA dengan sepenuh hati berupaya menanamkan superioritas mazhab Hambali dengan penafsiran yang sangat skripturalistik. Arab Saudi ditampilkan sebagai satu-satunya negara di mana hukum Islam dijalankan dengan baik. Para dosennya mengglorifikasi asal-mula Arab Saudi, Istana Saud (House of Saud) dan pentingnya negara tersebut bagi dunia Muslim.

Seperti dituturkan oleh Kovacs, LIPIA berusaha untuk menerjemahkan dan menyebarkan tulisan-tulisan otoritas keagamaan dan politik Saudi sekaligus esai-esai mengenai tema-tema keagamaan tertentu. Penerjemahan ini berlangsung baik dari bahasa Arab ke Indonesia maupun ke bahasa Asia Tenggara lainnya. Publikasi-publikasi berbahasa Indonesia yang bersirkulasi di kampus LIPIA, menyebarkan pandangan dunia Wahhabi dan beragam antagonisme semisal kebencian terhadap Muslim Syi’ah dan melegitimasi kebijakan dalam dan luar negeri Saudi.

Bersama kehadiran LIPIA beberapa alumninya mewarnai budaya keagamaan Indonesia menjadi berwarna xenofobik bahkan rasis. Misalnya Ja’far Umar Thalib yang mendirikan Laskar Jihad. Abu Nida, Ahmad Faiz Asifuddin dan Aunur Rofiq Ghufron merupakan alumni yang menjadi aktor-aktor kunci dalam menyebarkan Salafisme melalui pesantren-pesantren. Kemudian, Zain al-Muttaqin, Nurcholis Ridwan, dan Hepi Andi mendirikan majalah Salafi berama Sabili. Sabili merupakan media cetak berbentuk majalah yang menyebarkan gagasan-gagasan wahhabi/salafi. Pada tahun 2000-an Sabili mendapatkan lawan tanding dari majalah Syir’ah yang digawangi para anak muda NU.

Salah satu yang fenomenal adalah Habib Muhammad Rizieq Shihab yang mendirikan organisasi massa keagamaan bernama Front Pembela Islam (FPI). Didirikan pada 1998, seturut gelombang reformasi, FPI menjadi sarana efektif bagi kelompok militer untuk membendung tuntutan kalangan pro-demokrasi yang dilabeli “komunis”. Pasca gelombang reformasi mereda, FPI beralih ke arah penegakan hukum ‘jalanan’. Aksi FPI akan menyolok terutama di bulan-bulan Ramadan, dengan turun tangan langsung agar diskotik dan tempat-tempat hiburan ditutup. Namun, beberapa aksinya menyerang kelompok yang mengusung baik demokrasi, hak asasi manusia, maupun kebhinnekaan.

FPI merupakan ormas menarik. Betapa tidak? Didirikan oleh Rizieq, yang selain keturunan dari habaib juga memiliki retorika-retorika yang keras. Bagi kalangan NU, yang sendirinya memuliakan para habaib jua, serangan Rizieq pada Abdurrahman Wahid (Gus Dur) merupakan hal yang berat diterima. Apabila serangan itu pada perbedaan paham, mungkin bisa dimengerti, tetapi menyerang dengan sebutan kekurangan fisik merupakan hal yang aib dan kurang adab, untuk tidak mengatakan kurang akhlak. Lebih-lebih ditambah dengan tuduhan ‘Syi’ah’, ‘liberal’, ‘sesat’, dan seterusnya yang bersifat menghakimi dan merasa benar sendiri. Di sini mungkin bisa kita sebut FPI bolehlah beramaliyah NU, tapi retorikanya wahhabi.

Dibimbing nilai-nilai dan tradisi Salafisme Wahhabi Arab Saudi, aktor-aktor Islamis ini menggelorakan ketegangan baik inter maupun intra-keagamaan di masyarakat Indonesia. Keterlibatan religious mereka bukan hanya mengislamisasi  Indonesia dalam bayangan Salafisme tapi juga mengarabisasi  negeri ini.

Tradisi wahhabi/salafi niscaya memproduksi apa yang bisa disebut homo hasadus. Neologisme ini merupakan gabungan dari term berbahasa Yunani dan Arab. Homo berarti manusia, dan hasadus berasal dari hasad, yang memiliki arti dengki. Di dalam Risalahnya, al-Qusyairi menyebutkan bahwa kaum sufi bersyair, “Redanya semua permusuhan dapat diharapkan, kecuali permusuhan dari orang yang permusuhannya didorong oleh rasa dengki.”

Dalam era maraknya sosial media sekarang munculnya fenomena haters sebagai nemesis dari fans merupakan persemaian bagi tumbuh dan kembangnya homo hasadus. Homo hasadus merupakan manusia yang penuh dengan kebencian, kedengkian. Benci terhadap orang yang memiliki sudut pandang, pemahaman, dan keyakinan berbeda. Homo hasadus bahkan akan berpesta-pora saat orang yang dibencinya mengalami keterpurukan. Homo hasadus mungkin merupakan antitesis dari homo socius, di mana manusia secara fitri membutuhkan orang lain untuk menolong dirinya. Apakah homo hasadus ini merupakan evolusi terkini dari kemanusiaan?

Semoga tidak, sebab ia merupakan noda bagi kemanusiaan setelah kesombongan dan keserakahan. Hal yang persis ditegaskan dalam hadist nabi “Ada tiga hal yang menjadi induk dari segala dosa, hindarilah dan berhati-hatilah terhadap ketiganya.

Hati-hatilah terhadap keangkuhan, karena keangkuhan menjadikan iblis enggan bersujud kepada Adam; berhati-hatilah terhadap tamak (rakus), karena ketamakan mengantar Adam memakan buah terlarang; dan berhati-hatilah terhadap dengki (iri hati), karena kedua anak Adam (Qabil dan Habil) salah seorang di antaranya membunuh saudaranya akibat dorongan dengki.” (HR. Ibn Asakir melalui Ibn Mas’ud). [ ]