Mari Berkenalan dengan Homo Hasadus alias Manusia Penuh Kebencian (Bag-1)

Mari Berkenalan dengan Homo Hasadus alias Manusia Penuh Kebencian (Bag-1)

Makhluk penebar kebencian ada di mana-dimana dan ternyata ada namanya: Homo Hasadus. Apakah kita termasuk jenis ini?

Mari Berkenalan dengan Homo Hasadus alias Manusia Penuh Kebencian (Bag-1)
Makhluk penebar kebencian ada di mana-dimana dan ternyata ada namanya: Homo Hasadus. Apakah kita termasuk jenis ini? Pict by Toto Prastowo

Belakangan ini marak aneka rupa ujaran-ujaran kebencian. Bahkan di Youtube sempat beredar video di mana anak-anak berteriak-teriak “bunuh, bunuh”. Sebagai orang dewasa yang waras dan berakal, hal ini tentu membuat miris. Akan jadi apa kelak anak-anak yang saat kecilnya ditanam-paksakan rasa permusuhan dan kebencian pada orang lain? Yang entah beda keyakinan atau pun sekadar berbeda pemahaman saja.

Banyak yang menyebut pangkalnya terjadi di Pilpres 2014 lalu dan berlanjut hingga kini. Hoax dan ujaran kebencian berseliweran di mana-mana.  Ujaran kebencian ini merupakan problem besar karena dengan efektif memadu-padankan sentimen keagamaan dengan politik. Lawan politik dipandang sebagai musuh agama. Beda pilihan politik berarti beda secara akidah dan keyakinan.  Celakanya skalanya kian massif. Di Pemilukada Jakarta 2017 bahkan sempat terjadi penolakan menunaikan kewajiban menshalatkan jenazah karena diyakini beda pandangan politik.

Kalau kita telusuri, pangkal ujaran-ujaran kebencian ini sebenarnya sudah disemai pada beberapa dekade lampau. Ujaran kebencian ini sebelumnya sesuatu yang dipraktikkan oleh kalangan eksklusif saja. Tapi, karena ia merupakan lembaga pendidikan, maka saat alumnus-alumnusnya tersebar, produksi kultur kebencian ini menjadi sesuatu yang niscaya.

Muasal Ujaran Kebencian: Perang Dingin Arab

Ujaran kebencian ini memiliki muasal nun di Timur Tengah. Awalnya adalah dari apa yang disebut Perang Dingin Arab. Pada 1960-an, Mesir yang sosialis di bawah kepemimpinan Presiden Jamal Abd el-Nasser melakukan nasionalisasi dan sentralisasi Universitas Islam al-Azhar. Reformasi ini memberikan keleluasaan bagi para sarjana al-Azhar untuk mengontrol warisan budaya Islam dan mendorong mereka untuk menyebarkannya ke luar Mesir. Al-Azhar dideklarasikan sebagai pusat penyebaran Islam dan visi Arab-Sosialis Pan-Arabisme-nya Nasser.

Arab Saudi merasa gerah tentu saja. Status keagamaan dan politiknya di dunia Muslim diserang frontal oleh Nasser. Dalam rangka meng-counter institusi al-Azhar ini, tak lama setelah reformasi al-Azhar, Arab Saudi mendirikan Universitas Islam di Medinah. Dari awal didirikan, para sarjana Wahhabi yang menjalankannya menyatakan tujuan kampus tersebut adalah misi internasional. Tak lama pula, menyusullah didirikannya Liga Muslim Dunia (World Muslim League) dengan orang-orang Saudi yang memegang posisi utama dan negara Saudi sebagai penyandang dana terbesarnya. Organisasi terakhir ini menjadi corong utama kelembagaan kebijakan luar negeri Arab Saudi. Ia menegakkan jaringan global kegiatan pendidikan, pusat budaya, mesjid, perusahaan penerbitan, dan organisasi bantuan yang mengusung Islam Wahhabi/Salafi dan melegitimasi kekuasaan Saudi.

Pada 1973, berkat booming minyak, Arab Saudi mendapatkan aliran uang yang berlimpah-ruah. Kelebihan kas ini diinvestasikan secara efektif ke Liga Muslim Dunia. Tak heran, di tahun berikutnya dibangunlah Universitas Imam Muhammad bin Saud di Riyadh. Dipautkan dengan Universitas Islam di Mekkah dan Medinah, terbentuklah core sistem universitas keagamaan Saudi. Kampus inilah juga yang melatih kebanyakan sarjana di negeri tersebut: hakim, imam, guru agama, pendakwah dan petugas polisi agama.

Namun demikian, banyak hasil analisis ilmiah kesarjanaan mengenai ideologi yang diajarkan di buku-buku ajar sekolah Saudi menunjukkan hal yang cukup suram. Analisis dari Center for Religious Freedom of Freedom House (2006) dan Arnon Groiss (2003) memperlihatkan bahwa buku-buku ajar Saudi mempromosikan pandangan dunia yang antipluralistik dan bersifat stereotipikal terhadap musuh. Bahan-bahan ajar tersebut berupaya menciptakan loyalitas pada penafsiran Islam yang dianggap sebagai tunggal, benar dan tak berubah.

Penafsiran macam inilah yang memberi bentuk khusus Islam Saudi. Buku-buku ajar itu juga mengkhotbahkan kebencian terhadap ateis, Yahudi, Kristen, Hindu, dan seluruh kelompok Muslim yang tak mengikuti penafsiran Saudi, khususnya Sufi dan Syi’ah. Buku-buku teks itu juga mengajarkan bahwa Barat merupakan ancaman permanen bagi Muslim, dari masa Perang Salib berlanjut dengan Zionisme internasional, yang berjuang untuk mendominasi dunia dan memaksa Muslim untuk defensif. Ancaman lainnya datang dari ideologi-ideologi Barat seperti nasionalisme, komunisme, humanisme, sekularisme, sosialisme dan eksistensialisme. (Bersambung)