Malam itu saya sedang bersantap makan malam, tiba-tiba ada notifikasi dari whatsapp grup. Saya buka, isi pesan tersebut adalah postingan berita pidato seorang gubernur baru. Penggalan pidato tersebut menimbulkan kritik yang mengarah kepada perilaku rasis. Anies Baswedan namanya dan sebagai gubernur DKI Jakarta, ia membela diri.
Menurut beliau, apa yang disampaikan hanyalah penggambaran masa kolonial dulu. Tapi itu tidak menghentikan kritik dan protes kepadanya, yang dianggap telah menodai rasa persatuan yang selama ini terus dipupuk. Namun tidak sedikit orang yang juga mendukung, apa yang telah beliau bicarakan adalah dalam konteks yang benar dan cukup mengggambarkan keadaan sekarang ini.
Dalam sejarah, istilah “pribumi” adalah bagian politik belah bambu pemerintah Hindia Belanda. Kemudian di sekitar tahun 1998, istilah ini kembali mencuat disebabkan kalau harta benda terlepas dari penjarahan dan pembakaran maka biasanya dituliskan “milik pribumi” di depan rumah atau took beretnis tertentu.
Inilah yang akan kita bincangkan dalam tulisan ini, bagaimana istilah “pribumi” yang digunakan dalam pidato tersebut bisa memiliki dampak yang cukup destruktif. Trauma yang ditimbulkan dari pelabelan ini sebenarnya dirasakan oleh mereka yang dilabeli “pribumi” juga pada mereka yang distigmakan “non-pribumi”. Kesadaran ini seharusnya bisa kita miliki sebab kalau kita harus keluar dari urusan stigma dan pelabelan ini, sebab yang sebenarnya diuntungkan dalam persoalan ini adalah mereka yang sedang menggoreng isu ini untuk memuluskan kekuasaan mereka tanpa diganggu mereka yang berjuang untuk memiliki kehidupan yang lebih baik.
Di masa kolonial, sudah saya tuliskan di atas bahwa mereka n label ini untuk memuluskan kekuasaan mereka atas jajahan mereka selama mungkin. Setelah masa kolonial, orde baru menerapkan politik yang sama untuk melancarkan kekuasaan mereka dan bertahan dalam rentang 32 tahun. Politik seperti ini memang menjadi alat yang cukup ampuh dalam mencuci tangan bagi mereka yang sebenarnya menjadi sumber masalah dan penghisap dari seluruh kekayaan dari negeri sedang mereka hisap.
Jika kita hubungkan dengan persoalan diksi pribumi, dengan tuduhan istilah tersebut akan mengarah pada perilaku rasis, maka diksi ini mungkin saja bisa dikatakan netral. Bukan dalam konteks menunjuk kebencian kepada salah satu etnis tertentu. Namun penggunaan kata tersebut sangat tidak bijak, apalagi diucapkan seusai pemilukada ang cukup panas pasca pemilukada dan menguras emosi, duit dan otak.
Bagi Jacques Derrida, yang mengubah realitas juga berarti mengubah teks, dan teks itu sendiri adalah realitas kehidupan manusia. Untuk mengubah realitas orang perlu terlebih dahulu mampu memahami dan menggambarkan realitas. Ada keterkaitan yang mendalam antara menggambarkan (to describe) dan mengubah (to transform).
Melalui teori J.L. Austin dalam buku How to do Things With Words, setiap penuturan manusia bisa diartikan dengan dua cara yakni secara konstatif atau secara performatif. Pernyataan konstatif adalah tentang fakta sebagaimana adanya, biasanya sangat deskriptif. Yaitu menggambarkan sesuatu tanpa ada penilaian apapun. Seperti “saya sedang membaca buku”.
Sedangkan pernyataan performatif adalah pernyataan yang tidak hanya melibatkan kata-kata tapi juga perbuatan. Di sinilah pernyataan performatif bukan cuma bermakna menyatakan tapi juga melakukan sesuatu. Inilah yang perlu kita tiru dari seorang Derrida, yang tidak berhenti pada makna awal dalam sebuah pernyataan. Namun membaca ulang dengan cermat dan memberikan tafsiran yang baru dalam teks tersebut.
Oleh sebab itu untuk membuktikan apakah pidato yang memuat kata “pribumi” tersebut berpretensi ke arah rasisme atau tidak, maka kita perlu membaca ulang dan menafsirkan ulang secara seksama kata “pribumi” dalam pidato tersebut. Apakah kata itu benar-benar bermakna netral (dalam makna konstatif) atau malah miliki makna untuk menggerakkan (performatif)?
Derrida tidak hanya menggambarkan maksud teks-teks yang dibacanya secara persis, tetapi juga mengubahnya menjadi teks yang memiliki makna baru. Dua konsep itu yakni deskripsi/penggambaran (description) dan transformasi (transformation) dapat digabungkan menjadi dekonstruksi (deconstruction). Sekilas konsep dekonstruksi ini tampak aneh dan kontradiktif.
Dari keseluruhan pidato yang dibacakan dihadapan ribuan orang, kritik banyak orang tertuju pada penggalan pidato tersebut yaitu,“Dulu kita semua pribumi ditindas dan dikalahkan. Kini telah merdeka, kini saatnya menjadi tuan rumah di negeri sendiri. Jangan sampai Jakarta ini seperti yang dituliskan pepatah Madura. Itik telor, ayam singerimi. Itik yang bertelor, ayam yang mengerami.”.
Makna kata pribumilah yang menjadi perdebatan ini, jika kita melihat pakai kacamata Derrida apakah diksi “pribumi” tersebut cuma bersifat konstatif atau malah bersifat performatif.
Anies Baswedan sebenarnya bisa berkilah bahwa makna dalam kata tersebutnya hanyalah konstatif dari makna pribumi masa kolonial dan tidak ada pretensi menyudutkan salah satu etnis. Namun dalam sudut pandang lain, Pribumi yang dimasukkan adalah untuk menyebut mereka yang selama ini tertindas dalam berbagai aspek dan lepas dari belenggu tersebut saat dia (baca: Anies Baswedan) telah menduduki kursi penguasa Jakarta, yang notebene sebagai simbol kekuasaan ekonomi Indonesia.
Inilah makna baru yang muncul dalam pidato yang disampaikan itu. Makna ini bisa muncul sebab jika kita melihat kontestasi yang cukup menguras emosi dan segregasi yang luar biasa di pemilukada kemarin. Istilah pilihan politik sudah berkelindan dengan status keimanan seseorang, bahkan tidak mungkin kita lupakan bagaimana persoalan pilihan politik bisa membuat orang tidak ditunaikan shalat jenazahnya.
Disinilah makna “pribumi” itu dimainkan, dalam kondisi seperti itu pembelahan melalui stigma yang dilabelkan lawan dari pribumi adalah kolonial dan non pribumi. Sehingga ini menandakan bahwa pernyataan “pribumi” bukanlah pernyataan yang netral tapi jelas pernyataan performatif yaitu perlawanan akan ketertindasan berdasarkan pada stigma ras dan golongan.
Padahal dalam perjuangan melawan penindasan itu seharusnya cuma mengenal dua posisi yaitu penindas dan ditindas, dan ini tidak didasarkan pada ras, suku, golongan, etnis apalagi agama. Kalau kita masih menggunakan istilah yang digunakan oleh kolonial maka kemungkinan kita akan salah sasaran dan malah terjebak dalam perangkap perilaku rasis yang menjadi penindas baru. Bukan membuat kehidupan ini lebih baik bebas dari rasisme.
Rasisme adalah suatu sistem kepercayaan atau doktrin yang menyatakan bahwa perbedaan biologis yang melekat pada rasmanusia menentukan pencapaian budaya atau individu – bahwa suatu ras tertentu lebih superior dan memiliki hak untuk mengatur ras yang lainnya. Dalam sejarah dunia, banyak mencatat dampak destruktif dari doktrin rasisme ini, seperti Kigali, Pakistan dan Chili
Beberapa penulis dalam berbagai novel atau tulisan-tulisan serius menggunakan istilah rasisme untuk merujuk pada preferensi terhadap kelompok etnis tertentu sendiri (etnosentrisme), ketakutan terhadap orang asing (xenofobia), penolakan terhadap hubungan antar ras (miscegenation), dan generalisasi terhadap suatu kelompok orang tertentu (stereotipe)
Rasisme telah menjadi faktor pendorong diskriminasi sosial, segregasi dan kekerasan rasial, termasuk genosida. Politisi sering menggunakan isu rasial untuk memenangkan suara. Istilah rasis telah digunakan dengan konotasi buruk paling tidak sejak 1940-an, dan identifikasi suatu kelompok atau orang sebagai rasis sering bersifat kontroversial. Inilah yang ditakutkan akan terjadi di Indonesia kalau kita masih menggunakan istilah yang dipakai oleh kolonial dalam framing mereka.
Oleh sebab itulah, saya mengharapkan kepada Anies Baswedan untuk lebih bijak lagi dalam bercakap khususnya berpidato di depan massa. Sebab jika kita memelihara framming yang digunakan kolonial ini, maka kita malah akan terjebak dalam keadaan yang sama cuma dibalik kita sebagai kolonial baru kepada mereka yang tertindas.
fatahallahu ‘alaihi futuh al-‘Arifin