Pada tahun 622 M, Kanjeng Nabi Muhammad resmi bertolak ke Madinah sebagai upaya penyelamatan dari konflik, intimidasi dan kekerasan kaum kafir Quraisy. Berbagai literatur sejarah Nabi merekam kejadian itu dengan sangat heroik. Adalah Abu Bakar ash-Shidiq sebagai sahabat sekaligus teman Nabi yang turut mendampingi selama perjalanan.
Sementara, peristiwa bersejarah itu juga tidak terlepas dari upaya kaum Quraisy yang telah mengintai aktivitas Nabi karena dianggap mengancam eksistensi kaum elite Quraisy, saat itu. Namun naas, saat hendak mengeksekusi ternyata mereka nihil. Pasalnya, ada seorang anak muda bernama Ali bin Abi Thalib yang konon siap syahid berbaring di ranjang tempat Nabi istirahat, sebagai siasat mengelabuhi upaya pembunuhan junjungan umat Islam itu.
Belakangan, dalam istilah yang lebih syar’i peristiwa bersejarah itu diabadikan dengan istilah “Hijrah” dan oleh karenanya sekaligus menandai awal penanggalan baru yang dalam tradisi Islam disebut tahun Hijriyah.
Hijrah, dalam konteks kisah Nabi merupakan titik balik kebangkitan umat Islam. Betapa tidak, situasi Mekkah saat itu, barangkali sudah tidak kondusif untuk Nabi mendakwahkan Islam. Namun bukan berarti Nabi lari dari kenyataan. Beliau hanya melakukan terobosan-terobosan strategis untuk kepentingan umat. Sebab itu, jaminan keamanan dari masyarakat Yatsrib (Madinah) disambut baik oleh Kanjeng Nabi Muhammad untuk menciptakan suatu tatanan masyarakat yang lebih beradab.
Pada titik ini, Nabi bukanlah pribadi yang menutup diri terhadap dunia luar. Sebagaimana misi risalahnya, bahwa Kanjeng Nabi memang diutus Tuhan untuk menyempurnakan budi pekerti manusia (akhlaq).
Sehingga, menjadi maklum ketika setibanya di Madinah, Nabi Muhammad dipilih sebagai pemimpin pemersatu suku bangsa. Pribadi Nabi yang penuh cinta kasih, menjadikan kaum lemah, yatim piatu, dan sebagainya mendapatkan perlindungan utuh. Nabi mengayomi dan dekat dengan mereka, bahkan kedekatannya melebihi relasi dengan para elite.
Itulah sebetulnya etos kepemimpinan a la Nabi yang hari ini mulai kabur dengan penafsiran secara serampangan memaknai sejarah hijrah Nabi. Segelintir orang maupun kelompok membayangkan, bahwa hijrah adalah upaya menyenangkan Nabi dengan hanya meniru penampilan lahiriahnya namun mengabaikan aspek substansialnya.
Fenomena artis berhijab disebut hijrah. Absennya Caisar Putra Aditya di layar kaca dengan goyang caisarnya digosipkan ia sedang hijrah. Bahkan, alih profesinya Teuku Wisnu dari aktor sinetron menjadi Host acara keislaman di salah satu televisi Nasional kita pun digaung-gaungkan bahwa dia berhijrah. Memang sekilas hal itu tidak keliru, namun sangat wagu.
Lebih sialnya lagi, misal ada orang yang berpikir, bahwa kanjeng Nabi Muhammad akan gembira jika umatnya memakai busana sebagaimana beliau pakai empat belas abad silam; atau Tuhan akan merestui (ridha) jika Islam dijadikan ideologi resmi negara dengan merapatkan barisan berupa penegakan Khilafah Islamiyah.
Ide-ide khilafah yang semakin masif akhir-akhir ini adalah bentuk gagal paham memaknai hijrah Nabi dan Negara Madinah. Mereka melihat Negara Madinah sebagai bentuk sistem Kekhilafahan, padahal Negara Madinah merupakan negara yang menjamin semua warga negara menjalankan ajaran agamanya masing-masing.
Pada titik ini, mereka lupa jika Kanjeng Nabi Muhammad telah menegaskan diri bahwa satu-satunya prinsip dan tujuan diutusnya Rasul Allah adalah sebagai rahmat bagi seluruh alam. Bahkan, dengan berdalih untuk menegakkan rahmat ini pun, ada saja yang berusaha memaksakan orang lain masuk ke dalam apa yang mereka anggap rahmat; sebuah tindakan yang dari sudut pandang manapun sebenarnya bertentangan dengan semangat rahmat itu sendiri.
Lalu, bagaimana kontekstualisasi hijrah dalam konteks kekinian?
Hijrah, jika kita mengacu pada Nabi, adalah upaya membangun komitmen dengan ketulusan dan melakukannya pun penuh kearifan, bukan arogansi atau mengkapling surga sesuai egonya sendiri. Tantangan yang sejatinya dihadapi umat Islam Indonesia hari ini adalah bertolak dari perilaku saling mencaci dan mengumbar ujaran kebencian menuju alam kebijaksanaan.
Menurut KH. Mustofa Bisri (2010), bahaya laten yang sebenarnya kita hadapi adalah kekurangtahuan yang diiringi anggapan kesempurnaan pengetahuan. Akhirnya perasaan klaim saling benar tak dapat dihindari. Jika sekadar merasa paling benar tanpa menghakimi pihak lain, barangkali tidak terlalu berbahaya. Bahaya akan muncul ketika mengatasnamakan Tuhan untuk berlindung sekaligus menyerang siapa saja berseberangan pandangan dengan mereka.
Karena itu, gagasan penting dari pesan hijrah adalah perjuangan untuk terus mendorong setiap orang agar terus belajar. Perjuangan melawan kebodohan, belajar menahan ego kebencian dan sikap saling curiga, bertolak untuk membuka diri kepada siapapun, membebaskan setiap orang agar keluar dari kotak-kotak ideologis dan kotak-kotak dogmatis yang selama ini membelenggu kita dan telah menjebak dalam memahami ajaran luhur agama. Itulah kiranya refleksi makna hijrah pada momentum pembuka tahun baru hijriyah 1439 ini.
Anwar Kurniawan, Penulis adalah Santri Ponpes Pandanaran dan Pegiat di Islami Institute Jogja.