Mudik terjauh adalah pulang kembali ke dalam diri dan menemukan kefitrahan sebagai Khalifah fil ardh. Menikmati dan menjalani perjalanan suluk (menyempurnakan batin) setelah berpuasa. Melalui tiga tahapan utama dalam suluk, pertama takhalli (mengosongkan), yang kedua tahalli (menghiasi) dan yang ketiga tajalli (penampakan).
Proses pengosongan (takhalli) kita lakukan dengan menahan diri (puasa) dari nafsu duniawi. Maha suci dzat-Nya yang mengetahui diri kita sering melampaui batas. Berpuasa betul dan sangat menganjurkan agar kita bisa mengontrol diri dari sesuatu yang dibolehkan. Bukankah selama ini kita tidak ada yang mengingatkan dari sesuatu yang mubah? Berpuasa tentu melatih kita untuk mengontrol diri secara utuh, baik dari perbuatan dan makanan yang tercela, tetapi juga segala hal yang baik.
Kita memulai proses pengosongan hati dari hal-hal duniawi dengan perlahan, ini pulalah awal mula kita melakukan suluk dan mudik sebagai insan yang fitrah. Setiap muslim sejatinya menyadari telah melakukan proses suluk pertama, sehingga proses lain pun mengikuti. Disadari apa tidak, kita akan melakukan proses tahalli (menghiasi diri). Maka tidak heran, setelah menyelesaikan puasa, kita akan menyambut syawal dengan penuh gegap gempita. Batin diisi dengan silaturahmi saling memaafkan, raga dihiasi pakaian terbaik yang kita miliki. Kita menghidangkan sesuatu yang paling baik kepada siapa saja yang datang kepada kita. Kita tunjukkan sebaik-sebaik keramahan kepada siapapun yang kita jumpai.
Maka dengan orang-orang yang menyambut sesamanya dengan sebaik-sebaiknya, akan sampai kepada proses tajalli (penampakan) akan hakikat dari segalanya. Tuhan turunkan keberkahan berupa kebebasan dari hal-hal duniawi, berganti ketaqwaan. Sesungguhnya orang betul dan ikhlas melakukan perjalanan takhalli (mengosongkan) dan tahalli (menghiasi) tanpa keinginan untuk takabbur, pencitraan diri dan bermegah-megah, akan mudik dalam diri.
Pada proses tajalli, penghayatan diri akan mengenalkan kesejatian rabbul alamin (Tuhan semesta), sesuai perkataan orang bijak “man ‘arafa nafsahu, faqad arafa rabbahu” (Siapa yang mengenal dirinya, akan mengenal Tuhannya). Sejatinya menyelesaikan urusan diri dan menyempurnakan diri menjadi insan kamil (manusia sempurna), manusia yang menjadi perwakilan Tuhan di dunia, yang bertugas untuk menyebarkan kebaikan dan kedamaian untuk semua umat manusia.
Tiap hak berpasangan dengan kewajiban. Kita menyadari itu. Hak kita untuk berbahagia, tetapi juga terikat akan kewajiban untuk membahagiakan orang lain. Ini merupakan satu kesatuan utuh. Tidak ada balasan kebaikan kecuali kebaikan pula (hal jaza ul ihsani illal ihsan), kata Tuhan. Jika seperti itu konsepnya, kita yang beridul fitri tahun ini, memiliki kewajiban untuk membahagiakan, menyenangkan, dan mencintai sesama. Cinta yang berlandaskan kepada Tuhan, bukan kepada objek yang dicintai.
Sebagai penutup, Dzun Nun yang seorang sufi pernah bertanya kepada seorang Rahib. “Apa arti cinta menurut anda? Sang Rahib menjawab “Cinta yang sejati tidak akan terbelah dua. Kalau kamu telah mencintai Allah, tidak ada lagi cinta kepada yang lain. Kalau cintamu bertumpah kepada lainnya, tidak mungkin cinta itu bisa disatukan kepada Allah. Sebab itu, tafakurlah. Selidiki hatimu, siapa yang lebih kamu cintai!”
Selamat idul fitri bagi mereka yang telah melewati proses tajalli dan mudik ke dalam dirinya. Mereka yang mengenal dirinya sebagai hamba dan perwakilan Tuhan menyayangi sesamanya. Inilah jalan menuju idul fitri. Ber-idul fitri dalam artian kembali sebagaimana sabda nabi bahwa setiap bayi dilahirkan dalam keadaan suci. Maka manusia yang mudik ke dalam dirinya berarti kembali kepada awal semula kelahirannya; manusia yang suci. Wallahu a’alam.
Saiful Haq, penulis adalah pegiat aktif di Gusdurian Bone.