Suatu hari seorang sufi terkenal bernama Ibrahim bin Adham kedatangan seroang tamu. Tamu ini sangat masyhur di kalangan masyarakat sebagai ahli maksiat. Tercatat, ia pernah mencuri, menipu, dan juga berzina.
Dalam Kisah Hikmah Para Sufi dan Ulama Salaf (Yogyakarta: Qudsi Media) karya Ali Abdullah, dikisahkan bahwa dalam kunjungannya ke kediaman Ibrahim bin Adham, ia mengutarakan keinginannya kepada guru sufi di kota tersebut.
“Wahai Tuan Guru, aku adalah seorang pendosa dan ahli maksiat. Rasanya aku tak mungkin bisa keluar dari lingkaran maksiat ini. Tetapi, apabila ada cara untuk menghentikan semua ini, maka ajari aku,” ucap lelaki tersebut.
“Jika Engkau berpegang teguh pada lima prinsip ini, maka Engkau akan terbebas dari segala dosa dan maksiat,” jawab Ibrahim bin Adham.
“Apa sajakah lima prinsip tersebut wahai Tuan Guru?” tanya lelaki tersebut penasaran.
Ibrahim bin Adham menjelaskan prinsip pertama yang harus dipegang teguh adalah ketika si ahli maksiat berbuat dosa, maka usahakan Allah tidak melihatnya.
Mendengar prinsip pertama ini, ahli maksiat tersebut sontak kaget. “Wahai Tuan Guru, bagaimana mungkin itu terjadi, sementara Allah selalu melihat perbuatan makhluk-Nya baik dalam keadaan sendiri, dalam ruangan yang gelap, bahkan dalam lubang semut sekalipun,” kata lelaki tersebut dengan penuh keheranan.
Ibrahim bin Adham menjawab, “Wahai anak muda, jika yang melihat perbuatanmu adalah tetangga, kawan, atau orang yang Engkau hormati, apa Engkau akan meneruskan perbuatanmu? Sementara Allah yang maha melihat, Engkau tidak malu?”
Lelaki tersebut tertunduk malu.
“Baik, kemudian apa prinsip yang kedua?”
“Kedua, jika Engkau berbuat dosa dan maksiat, maka jangan memakan rizki Allah”
Lelaki tersebut kembali keheranan. “Bagaimana mungkin Tuan Guru? Bukankah semua rizki berasal dari Allah? Bahkan air liur yang ada dalam mulut dan tenggorokan juga berasal dari Allah,” kata lelaki tersebut.
“Jika demikian wahai anak muda, masih pantaskah kita makan rizki Allah sementara kita masih melanggar perintah-Nya dan melakukan larangan-Nya? Kalau Engkau menumpang makan kepada seorang kemudian Engkau mengencewakannya dan orang tersebut mengetahui perbuatanmu, masihkah Engkau merasa malu menumpang makan kepadanya?”
Lelaki tersebut kembali menunduk.
“Ketiga, apabila Engkau masih berbuat dosa dan maksiat, jangan lagi tinggal di bumi Allah!” jelas Ibrahim bin Adham.
Ahli maksiat tersebut kaget dan heran.
Baca juga: Mengenal Ibrahim bin Adham: Sosok Pemimpin Sejati
“Bukankah semua tempat di bumi ini milik Allah? Bahkan juga planet, bintang, dan langit adalah milik-Nya juga,” ia berkata dengan penuh keheranan.
“Benar demikian,” jawab Ibrahim bin Adham. “Engkau bagaikan bertamu ke rumah orang dan numpang makan di sana. Tetapi di sana, Engkau melecehkan semua aturan di rumah tersebut dan tuan rumah mengetahui hal tserebut. Apakah Engkau masih punya malu untuk tinggal dan makan di sana?” lanjut Ibrahim bin Adham.
Ahli maksiat itu terdiam. Terlihat air matanya mulai keluar perlahan-lahan.
“Baiklah untuk yang keempat, jika Engkau akan berbuat dosa dan maksiat, lalu suatu saat nanti malaikat maut datang untuk mejemputmu sebelum bertobat, maka tolak lah jangan mau nyawamu dicabut olehnya!”
“Bagaimana mungkin Tuan Guru? Bukankah tak seroang pun mam;u menolak datangnya malaikat maut?” ia semakin tidak percaya.
“Iya benar. Jika Engkau mengetahui yang demikian, mengapa masih berbuat dosa dan maksiat? Tidakkah Engkau berpikir bahwa malaikat maut bsia datang kapan saja, bahkan dalam keadaan belum bertobat? Atau ketika sedang mencuri, menipu, atau sedang berzina?”
Ia semakin sesenggukan.
Sebelum melanjutkan, Ibrahim bin Adham bertanya, “Apakah Engkau masih sanggup mendengar yang kelima?”
“Aku masih sanggup mendengarkan nasihatmu wahai Tuan Guru,” jawab lelaki itu.
“Baiklah, yang kelima, jika Engkau akan berbuat dosa dan kemudian mati dalam keadaan melakukan dosa, maka jangan mau apabila malaikat memasukkanmu ke dalam neraka. Mintalah kepada malaikat tersebut kesempatan hidup sekali lagi agar Engkau bisa memperbaiki dosa-dosamu!”
Ia menangis semakin keras.
“Bukankah hidup hanya sekali, bagaimana mungkin aku minta untuk hidup lagi?”
“Kau benar. Hidup hanya sekali dan kita tidak pernah tahu kapan kita akan mati. Tetapi semua yang kita perbuat akan dipertanggungjawabkan. Apakah kita masih akan menyia-nyiakan ksesempatan hidup yang hanya sekali ini?”
Ahli maksiat tersebut terus menangis, hingga badannya begitu lemas. Dalam keadaan seperti itu, ia merminta Ibrahim bin Adham untuk membantunya dalam bertobat. Ibrahim bin Adham menyanggupinya. Beberapa waktu kemudian, orang mengenalnya sebagai hali ibadah. (AN)