Sebagian di antara kita pasti pernah menemui orang-orang yang sambat (gampang mengeluh), baik karena tidak lekas punya pasangan, tidak dapat mencukupi kebutuhan materi, mendapatkan tugas yang banyak, diberi sakit yang tidak lekas sembuh, dan sambat–sambat yang lainnya.
Bahkan tidak jarang kita temukan sambatan-sambatan tersebut dalam platform-platform media sosial. Ada sebuah kutipan yang beberapa kali trending di platform twitter tentang sebuah ungkapan “nanti kita sambat tentang hari ini.” Nampaknya ini merupakan kata-kata yang terinspirasi dari salah satu judul film tanah air “Nanti Kita Cerita Tentang Hari Ini” yang diparodikan oleh para netizen kreatif.
Sudah menjadi suatu kewajaran jika sifat manusia gampang sambat, bahkan sifat manusia yang seperti itu sudah di-nash-kan dalam Al-Qur’an. Setidaknya terdapat 2 tempat di mana Al-Qur’an meggambarkan secara eksplisit bagaimana manusia diciptakan sebagai makhluk yang gampang sambat, yakni dalam surat Al-Ma’arij: 19-20
إِنَّ ٱلْإِنسَانَ خُلِقَ هَلُوعًا (19) إِذَا مَسَّهُ ٱلشَّرُّ جَزُوعًا (20)
“Sesungguhnya manusia diciptakan bersifat keluh kesah lagi kikir. Apabila ia ditimpa kesusahan ia berkeluh kesah.”
Dan pada surat Fushilat: 49
لَا يَسْـَٔمُ ٱلْإِنسَٰنُ مِن دُعَآءِ ٱلْخَيْرِ وَإِن مَّسَّهُ ٱلشَّرُّ فَيَـُٔوسٌ قَنُوطٌ
“Manusia tidak jemu memohon kebaikan, dan jika mereka ditimpa malapetaka dia menjadi putus asa lagi putus harapan.”
Kalau menurut siklus psikologi manusia, seseorang yang sambat kepada orang lain dapat memberikan efek lega dengan tingkatan yang berbeda-beda, meskipun si pendengar hanya mendengarkan dan sama sekali tidak memberikan solusi. Lantas bagaimana Al-Qur’an dan Hadis mengakomodir agar kita sebagai seorang muslim tidak mudah sambat? Berikut adalah tips-tipsnya:
Pertama: memperbanyak dan memperbaiki kualitas beribadah
“Kecuali orang yang sholat, yakni mereka yang tetap setia melaksanakan sholatnya.” Terjemahan ayat tersebut merupakan kelanjutan dari nash Al-Qur’an tentang manusia yang diciptakan sebagai makhluk yang bersifat keluh kesah. Dengan gamblang, Al-Qur’an menjelaskan bahwa orang yang menjaga ibadahnya akan terhindar dari sifat-sifat gampang sambat. Namun tidak cukup jika hanya dengan menjaga ibadah, pun harus dibarengi dengan memperbaiki kualitas ibadah, meskipun dilakukan dengan bertahap sedikit demi-sedikit.
Kedua: perbanyak bersyukur dan qona’ah
Mengutip hadis nabi yang diriwayatkan oleh Sahabat Abu Hurairah:
انْظُرُوا إِلَى مَنْ هو أَسفَل مِنْكُمْ وَلا تَنْظُرُوا إِلَى مَنْ هُوَ فَوقَكُم
“Lihatlah pada seseorang yang berada di bawahmu, dan jangan melihat seseorang yang berada di atasmu.
Baca juga: Kisah Rasululullah Minta Makan Aisyah untuk Diberikan Orang Yahudi
Hadis di atas mengajarkan kita cara bersyukur, yakni dengan melihat orang-orang yang sedang di posisi di bawah kita, baik itu harta, jabatan, atau yang lainnya. Perlu disadari bahwa nikmat yang diberikan Allah begitu besar yang hakikatnya kita tidak dapat menghitungnya. Perlu untuk keluhan menjadi kebahagiaan dengan selalu bersyukur dan menerima segala hal keadaan yang diberikan.
Ketiga: menjaga pikiran agar istiqomah berperasangka baik
Sambat seringkali diawali dengan pikiran-pikiran negatif terhadap sesuatu. Misalnya, kegagalan yang akan terjadi, padahal kita sebelum melakukan apapun. Oleh karena itu, menjaga perasangka tetap positif penting untuk dilakukan. Jika kita sudah bisa menjaga kestabilan perasangka kita, selanjutnya kita perlu mengevaluasi bagaimana perasangka kita terhadap orang lain.
Tidak ada satupun yang bisa hidup seorang diri, prasangka-prasangka buruk terhadap sesama hanya akan menghambat perkembangan mental kita. Tidak bisa dibayangkan jika ada seseorang yang ingin berbuat baik kepada kita, namun justru kita sudah negative thinking duluan padanya. Alih-alih mendapatkan nikmat dari kebaikannya, kita hanya akan sengsara jasmani dan rohani, dan sudah diketahui akhirnya, kita hanya akan sambat.
Keempat: mengurangi idealisme keinginan untuk sempurna
Ekspektasi yang terlalu berlebihan akan berdampak buruk jika ternyata hasil yang diusahakan tidak sesuai dengan harapan. Kesempurnaan tidak akan terjadi ketika manusia masih ada di alam dunia. Dan perlu disadari kembali bahwasanya kesempurnaan adalah hanya milik Allah.
Kelima: jadikan kegagalan sebagai pengalaman dan pembelajaran
Dalam pepatah disebutkan, kegagalan adalah guru dan pengalaman terbaik. Sanada dengan sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Sahabat Abu Hurairah sebagai berikut:
“Bersungguh-sungguhlah dalam mencari apa yang bermanfaat bagimu, dan mohonlah pertolongan kepada Allah (dalam segala urusanmu), dan janganlah sekali-kali kamu bersikap lemah, dan jika kamu tertimpa suatu kegagalan, maka janganlah kamu mengatakan : “Seandainya aku berbuat demikian, tentu tidak akan begini atau begitu’“ tetapi katakanlah : “Ini telah ditentukan oleh Allah, dan Allah akan melakukan apa yang Ia kehendaki,” karena kata “seandainya” itu akan membuka pintu perbuatan setan.”
Jika ketika sudah mentok harus sambat, harus bagaimana kita? Al-Qur’an memberikan solusi untuk kasus tersebut, sebagaimana yang dicontohkan oleh Nabi Ya’qub yang terekam dalam ayat Al-Qur’an surat Yusuf 86, yakni berupa pesan ketika kita memang benar-benar terpaksa sambat, maka sambatan tersebut untuk dicurahkan kepada Allah sebagai pemilik hakiki dan pengatur seluruh kehidupan manusia. (AN)