Jin merupakan makhluk yang – meski tidak kasat mata – keberadaannya dipercaya oleh manusia. Dalam Islam, banyak sekali terdapat berbagai macam pengertian seputar jin yang datang dari kalangan ulama, dan beberapa di antaranya cukup lain dari pemahaman umum seputar jin sebagai makhluk halus.
Terdapat tiga pengertian seputar jin dari berbagai ulama yang kami rangkum dari buku karya Prof. Quraish Shihab berjudul Jin dalam Al-Qur’an. Di dalam buku tersebut, ada tiga pendapat seputar pengertian dan menyangkut hakikat jin yang mungkin cukup lain dari pemahaman umum.
Pertama, memahami jin sebagai potensi negatif dalam diri manusia. Menurut pemahaman ini, berangkat dari pemahaman bahwa malaikat adalah potensi positif yang mengarahkan manusia menuju kebaikan. Sebaliknya, jin dan setan dipahami sebagai potensi negatif manusia. Karena dipahami sebagai potensi negatif manusia, maka penganut paham ini menilai jin dan setan tidak memiliki wujud tersendiri.
Pendapat ini memiliki kelemahannya sendiri. Memang tidak dapat disangkal bahwa dalam diri manusia memiliki potensi positif dan negatif. Akan tetapi, banyak teks keagamaan yang menjelaskan bahwa jin memiliki personalitas di luar diri manusia. Bahkan jin sudah ada sebelum adanya manusia sendiri. Misalnya, teks dalam al-Quran ketika Allah memberitahu malaikat akan menciptakan manusia (Adam) dan memerintahkan malaikat bersama jin untuk bersujud kepada Adam. Dengan argumen ini, maka pendapat jin sebagai potensi negatif manusia dengan sendirinya lemah.
Adapun pengertian kedua, mengambil poisisi yang lebih rasional. Para pakar tafsir atau ulama yang paling rasional pun sebenarnya tidak mengingkari tentang adanya jin. Namun mereka tidak memaknainya dalam arti yang hakiki.
Pengertian kedua memahami jin sebagai penyakit, kuman atau virus. Kelompok penganut pengertian ini menilai jin bukan sebagai makhluk berakal, apalagi sebagai makhluk mukallaf yang dibebani tugas tertentu dari Allah SWT sebagaimana manusia.
Pandangan ini dikemukakan oleh Muhammad Abduh dan muridnya, Muhammad Rasyid Ridha. Perlu diperhatikan, bahwa penganut paham rasional ini tidak menyebutkan bahwa semua jin adalah sama dengan virus atau penyakit dengan gamblang. Namun, paham ini menjelaskan bahwa bisa jadi makhluk yang tidak terlihat oleh mata kita (seperti virus, kuman dan penyakit) bisa juga masuk dalam kategori jin.
Kurang lebih penggalan kutipan Rasyid Ridha berikut ini dalam tafsir al-Manar:
“Para teolog berpendapat bahwa jin adalah makhluk-makhluk yang hidup dan tersembunyi. Telah berulang-ulang kami nyatakan bahwa bisa saja dikatakan bahwa makhluk hidup dan tersembunyi yang dikenal dewasa ini melalui mikroskop dan dinamai dengan mikroba-mikroba – bisa saja – merupakan jenis jin.”
Terkait pendapat ini, Prof. Quraish Shihab menegaskan bahwa sebenarnya Muhammad Abduh sendiri tidak sepenuhnya berpendapat demikian. Ulama pembaharu asal Mesir ini tidak banyak menolak eksistensi jin sendiri. Muhammad Abduh hanya berpendapat bahwa jin sebagai bisikan negatif manusia itu bukan sesuatu yang mustahil. Demikian juga dengan pendapat bahwa jin adalah virus atau mikroba yang “tersembunyi” yang hanya bisa dilihat dengan mikroskop. Perlu dicatat, tulis Prof. Quraish Shihab, bahwa pendapat ini hanya sebagian dari apa yang mereka namai sebagai pengertian dan bentuk dari jin. Sedangkan sebagian bentuk yang lain lagi tidak mereka jelaskan.
Pengertian ketiga, adalah pemahaman yang memahami jin sebagai jenis makhluk manusia liar yang belum berperadaban. Seorang pemikir India, Ahmad Khan, merupakan yang pertama datang dengan pemahaman ini. Ia menulis buku tentang jin dalam pandangan al-Qur’an.
Menurut Ahmad Khan, al-Quran menyebut kata jin sebanyak lima kali di dalam al-Quran. Dan kesemuanya dalam konteks bantahan terhadap keyakinan yang dimiliki orang musyrik Arab saat itu. Oleh karenanya, tidak bisa dijadikan sandaran atau bukti tentang eksistensi jin. Adapun pengertian kata jin di luar konteks lima ayat tersebut, Ahmad Khan berpendapat bahwa jin adalah makhluk manusia liar yang hidup di hutan, pegunungan atau tempat terpencil di pegunungan yang tak terjamah manusia. Menurut Ahmad Khan, bahasa Arab mendukung pendapat ini. Bahasa yang berkembang, membuat makna sebuah kata yang terdapat pada masa jahiliyah tidak bisa kita pahami saat ini.
Pendapat Ahmad Khan didasarkan pada pendapat pakar bahasa Ibn Faris yang mengatakan bahwa tidak semua ucapan orang Arab sampai kepada kita. Ahmad Khan juga mengambil syair-syair jahiliyah sebagai bagian dari menguatkan pendapatnya.
Pendapat Ahmad Khan tentang pengertian jin ini, menurut Prof. Quraish, adalah aneh. Argumentasi pendapat bahwa jin adalah amnesia liar yang belum berperadaban secara kebahasaan tidak diletakkan pada tempatnya. Apalagi dengan mengambil kosakata dari syair masa jahiliyah.
Kalau memang pendapat tentang pengertian jin adalah manusia yang tidak berperadaban dan liar, bukankah itu dapat menimbulkan kerancuan? Bukankah Allah menguraikan tentang jin antara lain untuk mengikis kepercayaan jahiliyah saat itu? Padahal masyarakat jahiliyah saat itu memahami pengertian jin bukan dalam arti manusia terbalakang, melainkan makhluk tersendiri yang sama sekali berbeda dengan manusia. Demikian antara lain pendapat dari al-Maududi yang disajikan oleh Prof. Quraish Shihab.
Bagaimana manusia memahami pengertian jin bermacam-macam, tercermin dari bagaimana berbagai ulama mendekatinya dengan berbagai pengertian dan definisi. Semoga bisa menambah wawasan dan bermanfaat. Wallahu a’lam bisshawab.