Pada masa nabi, ada beberapa sahabat yang secara terang-terangan ‘melawan’ sabda Nabi Muhammad SAW. Namun Rasul SAW tidak memaksakan pendapat itu kepada mereka dan tidak pula menghukum mereka.
Suatu hari Nabi SAW bersama Anas bin Malik berjalan berkeliling Madinah, mengamati penduduk Madinah yang sedang menjalani kesehariannya. Di tengah kebun terdapat beberapa orang yang sedang mengawinkan kurmanya. Itu hal lumrah yang dilakukan masyarakat Madinah saat itu sebelum bulan panen tiba.
Rasulullah SAW yang melihat hal itu memberi saran kepada para petani kurma. Rasul berpendapat bahwa hal seperti itu sebaiknya tak perlu dilakukan karena Rasul mengira bahwa hal itu tak berdampak. Para petani pun mengikuti saran Rasul. Mereka tak melanjutkan hal penting yang selalu mereka lakukan sebelumnya. Ketaatan kepada Rasul mengalahkan segalanya.
Hari demi hari pun berlalu. Rasul bersama sahabat Anas kembali mengunjungi kebun kurma tersebut. Keduanya mendapati para petani sedang lesu. Kebun kurma yang biasanya berbuah bagus kini tak seperti sebelum-sebelumnya. Rasul menanyakan masalahnya. Para petani itu pun bercerita bahwa hasil kurmanya jelek setelah mengikuti saran sang Nabi. Mendengar cerita itu, Rasul pun bersabda,
أَنتُم أَعلَمُ بأمورِ دُنياَكُم
“Kalian lebih mengerti urusan duniawi kalian”
Dari pernyataan Rasul SAW ini, para ulama pun menyimpulkan bahwa tidak semua hadis Rasulullah SAW bisa diikuti. Bahkan dalam hadis di atas, Rasul secara langsung menunjukkan bahwa hal-hal yang terkait perkara duniawi, bukan agama, yang lebih diketahui oleh manusia itu sendiri, maka itu diserahkan oleh orang itu sendiri. Imam an-Nawawi dalam Syarah Sahih Muslim menjelaskan, yang dimaksud perkara duniawi adalah kebalikan dari hal-hal yang berkaitan dengan agama dan wahyu.
Beberapa sahabat juga dikisahkan pernah beberapa kali tidak sependapat dengan Rasulullah SAW. Khususnya jika berkaitan dengan keputusan Rasul yang tidak bersumber dari wahyu. Quraish Shihab dalam sebuah pengantar edisi terjemahan buku Muhammad Alghazali yang berjudul as-Sunnah an-Nabawiyyah baina Ahlil Fiqh wal Hadis, menyebutkan tiga kisah masa sahabat yang pernah berselisih pendapat dengan Rasulullah SAW.
Walaupun berselisih pendapat, bukan berarti mereka membangkang atau ‘membantah’ sabda Rasulullah SAW. Mereka bahkan di antaranya, pernah berselisih pendapat dan memberikan pendapat yang terbaik sesuai keahlian mereka. Hal itu dilakukan setelah mengetahui bahwa saran Rasul tersebut tidak berasal dari wahyu Allah SWT.
Ketiga kisah sahabat nabi yang dianggap melawan nabi tersebut adalah:
- Para pedagang pasar pernah menolak saran nabi untuk membebaskan hutang ayah Jabir bin Abdillah
- Buraidah menolak saran nabi untuk tidak bercerai dari suaminya
- Khubab bin al-Mundzir yang menolak saran nabi saat perang
Pertama, para pedagang di pasar pada masa Nabi. Suatu hari Jabir bin Abdillah meminta kepada Nabi Muhammad SAW untuk berbicara kepada para pedagang pasar. Jabir meminta kepada para pedagang pasar tersebut melalui perantara Nabi SAW agar mau membebaskan hutang-hutang ayah Jabir. Akhirnya Rasul pun mau membantu Jabir untuk berbicara kepada para pedagang.
Sayangnya, para pedagang tidak sepenuhnya sepakat dengan saran Rasulullah SAW. Mereka berpendapat bahwa ayah Jabir harus tetap membayar hutang-hutangnya. Para pedagang tersebut merasa penolakan tersebut sah-sah saja karena saat itu nabi hanya memberikan saran. Mereka juga tidak akan melawan nabi jika hal itu berasal dari wahyu Allah.
Setelah mengetahui penolakan tersebut, Nabi tidak lantas memvonis para pedagang sebagai penista atau pengkhianat. Nabi secara tidak langsung sepakat bahwa mereka boleh saja menolak saran Rasulullah SAW. Dalam kisah ketiga nanti, hal seperti ini diperjelas. Bahwa yang bisa disangkal atau berbeda pendapat adalah yang bukan berasal dari wahyu Allah SWT.
Kedua, kisah Buraidah. Sebagai pasangan berkeluarga saat ada sebuah masalah, Rasul pasti akan menasehati agar tidak retak dan terjadi perceraian. Dalam kasus Buraidah ini Rasul menasehatinya agar tidak bercerai dengan suaminya. Sayangnya, Buraidah tetap ingin bercerai dengan suaminya. Rasul pun tidak memaksakan kehendaknya.
Ketiga, kisah Khabbab bin al-Mundzir, ia adalah seorang peramu taktik saat perang Badar. Saat itu, Rasul menyarankan agar para pasukan Badar berhenti di suatu tempat. Saat mendengar rencana Rasul tersebut, Khabba langsung bertanya, apakah hal itu pendapat Rasul sendiri atau wahyu dari Allah. Rasul pun menyebut bahwa hal itu adalah pendapatnya pribadi. Mendengar hal itu, Khabab lalu mengusulkan sebuah taktik yang akhirnya dapat membawa pasukan Badar meraih kemenangan. (Baca kisahnya: Khabbab bin al-Mundzir, Peramu Taktik Jitu Perang Badar)
Tiga hal ini menunjukkan bahwa tidak semua hal yang ada dalam hadis nabi wajib diamalkan. Hal ini bisa dilihat berdasarkan posisi Nabi Muhammad SAW saat mengucapkan hadis tersebut. Oleh karena itu, para ulama seperti Al-Qarafi, membagi kategori posisi Nabi Muhammad menjadi lima: sebagai rasul, sebagai mufti, sebagai hakim, sebagai pemimpin masyarakat tertentu, sebagai diri pribadi. (Baca selengkapnya: Meneladani Kehidupan Rasul, Manakah yang Boleh dan yang Terlarang?)
Hal ini perlu kita fahami agar kita tidak terjebak dalam pemaknaan sunnah secara ‘buta’ tanpa memperhatikan posisi dan kondisi saat itu, baik kondisi Nabi maupun kondisi masyarakat pada saat itu. (AN)
Wallahu a’lam.