Beberapa hari yang lalu, saya mendengarkan ceramah seorang ustadz tentang wabah Corona (Covid-19). Dalam ceramahnya, sang ustadz nyinyir dengan orang yang berbondong-bondong beli masker hingga membuat harga masker naik tajam. Menurut ustadz tersebut, hal itu adalah prilaku orang-orang yang tak punya Tuhan. “Sama Corona saja takut, tapi sama Allah nggak,” tambahnya.
Memang tidak ada yang salah dari pernyataan tersebut, hanya saja terlalu buru-buru mengatakan bahwa orang-orang yang membeli masker sebagai orang yang tidak punya Tuhan adalah hal yang kurang tepat. Pasalnya mereka menggunakan daya dan upayanya untuk tidak tertular dan bisa jadi mereka juga tetap bertawakkal kepada Allah. Bukankah tawakkal juga harus dibarengi dengan usaha?
Suatu hari Rasulullah SAW didatangi seorang Badui dengan membawa unta. Saat sampai di depan masjid Nabawi, unta tersebut dibiarkan begitu saja dan tidak diikat. Melihat perilaku orang Badui tersebut, Nabi kemudian memintanya untuk mengikat untanya terlebih dahulu.
Bukan malah mengindahkan ucapan Nabi, si Badui itu kemudian menjawab, “Aku sudah bertawakkal kepada Allah SWT, wahai Nabi.”
Mendengar pernyataan Badui tersebut, Rasulullah SAW kemudian bersabda,
إعقلها ثم توكل علي الله
“Ikatlah terlebih dahulu unta itu, baru kemudian engkau bertawakkal kepada Allah SWT.” (H.R at-Tirmidzi)
Sabda Rasulullah SAW kepada Badui tersebut menunjukkan bahwa bertawakkal kepada Allah SWT tidak boleh dengan ‘tangan kosong’ alias tanpa usaha. Rasulullah SAW dalam sabdanya tersebut menekankan bahwa tawakkal tanpa usaha bisa jadi hal yang sia-sia.
Dalam kasus Corona yang sudah jadi pandemi sekarang misalnya, seorang ustadz boleh saja menyarankan kepada para jamaahnya agar menyerahkan semuanya kepada Allah (tawakkal) namun ada baiknya juga jika sang ustadz menganjurkan para jamaahnya untuk melakukan hal-hal yang bersifat pencegahan.
Berikut ini tiga hal yang bisa disampaikan para ustadz kepada jamaahnya dalam rangka pencegahan wabah Corona sebelum bertawakkal kepada Allah, atau dalam bahasa hadis di atas disebut kasb qabla tawakkal.
Pertama, menganjurkan para jamaah untuk tenang dan menjaga kesehatan.
Para ustadz bisa mengutip anjuran para pakar kesehatan untuk disampaikan kepada para jamaahnya. Selain itu, ustadz bisa menambahkan dengan penjelasan maqasid syariah yang ada lima, salah satunya adalah Hifdu an-Nafs, melindungi jiwa.
Para jamaah perlu diperkenalkan salah satu maqasid syariah ini, bahwa melindungi jiwa adalah ajaran penting dalam agama. Sehingga mereka bisa mengerti bahwa melakukan tindakan pencegahan adalah bagian penting dalam melindungi jiwa dan merupakan ajuran dari syariat. Pasalnya selama ini orang yang melakukan tindakan pencegahan, dianggap tidak percaya kepada Tuhan. Ceramah yang saya dengar di atas adalah salah satu buktinya.
Kedua, berhenti membandingkan takut tertular Corona dengan takut kepada Allah.
Salah satu syarat melakukan perbandingan adalah kesamaan antara maqis (furu’) dan maqis ‘alaih (ashl). Corona dengan Allah adalah dua entitas yang berbeda, yang satu adalah makhluk Tuhan dan satunya lagi adalah Tuhan yang harus kita sembah. Apalagi jika membandingkannya dalam hal tauhid dan menyebutkan bahwa orang yang takut Corona dianggap syirik, tentu salah besar.
Ketiga, menjelaskan bahwa beberapa ibadah dan aktivitas keagamaan yang biasa dilakukan di masjid dan perkumpulan banyak orang juga bisa dilakukan di rumah untuk sementara.
Para ustadz juga perlu menjelaskan bahwa ternyata ibadah-ibadah sunnah juga lebih baik dikerjakan di rumah. Terutama dalam kondisi yang mengharuskan seseorang untuk mengisolasi diri seperti saat ini.
Dalam hadits riwayat Abu Dawud dan Imam At-Tirmidzi misalnya dijelaskan bahwa Rasul pernah meminta para sahabat untuk mengerjakan shalat sunah setelah maghrib (ba’diyah maghrib) di rumah.
عن سعدِ بن إسحاقَ بن كَعْبِ بن عُجْرَةَ عن أبيهِ عن جَدّهِ قال: “صَلّى النبيّ صلى الله عليه وسلم في مَسْجِدِ بَني عبدِ الأشْهَلِ المغْرِبَ فَقَامَ نَاسٌ يَتَنَفّلُونَ، فقَال النبيّ صلى الله عليه وسلم: عَلَيكُمْ بهَذِهِ الصّلاة في البُيُوتِ
“Dari Said bin Ishaq bin Kaab bin ‘Ujrah dari ayahnya dari kakeknya berkata bahwa ketika Rasulullah selesai melakukan shalat maghrib di masjid Bani Abdil Ashal, beberapa orang kemudian melakukan shalat sunah. Kemudian Rasul Saw bersabda, ‘Lakukanlah shalat ini di rumah-rumah kalian,’ (H.R At-Tirmidzi)
Hadis tersebut dimasukkan At-Tirmidzi dalam bab “Ma dzakara fis Shalah ba’dal maghrib fil bait afdhal” (Bab yang menjelaskan keutamaan shalat ba‘diyah maghrib di rumah). Dari tarjamatul bab yang dibuat oleh At-Tirmidzi tersebut menunjukkan bahwa At-Tirmidzi menggunakan hadis ini sebagai landasan kesunahan melakukan shalat sunah setelah maghrib di rumah.
Dalam riwayat lain juga dijelaskan terkait keutamaan melakukan shalat sunah secara umum di rumah.
عن زيد بن ثابت ، عن النبي صلى الله عليه وسلم قال : أفضل صلاتكم في بيوتكم إلا المكتوبة.
“Dari Zaid bin Tsabit, dari Rasulullah SAW bersabda, ‘Shalat yang paling utama adalah di rumah kalian kecuali shalat maktubah (shalat fardhu),’” (HR Bukhari dan Tirmidzi).
Bahkan dalam kitab Syamail At-Tirmidzi juga dijelaskan bahwa walaupun rumah Rasulullah dekat dengan masjid, Rasulullah lebih memilih shalat sunah di rumah. Rasulullah juga mengingatkan agar kita tidak menjadikan rumah kita seperti kuburan yang tidak pernah digunakan untuk shalat. Hal ini disebutkan dalam hadits riwayat Aisyah dalam Musnad Ahmad.
صَلُّوا فِي بُيُوتِكُمْ وَلَا تَجْعَلُوْهَا عَلَيْكُمْ قُبُوْرًا
“Shalatlah kalian di rumah kalian. Jangan jadikan rumah kalian seperti kuburan.”
Penjelasan di atas bisa digunakan para ustadz untuk meyakinkan kepada para jamaahnya bahwa sesungguhnya ibadah sunnah bisa, bahkan dianjurkan untuk dilakukan di rumah masing-masing, kecuali i’tikaf.
Lalu bagaimana dengan shalat jamaah?
Shalat jamaah sebenarnya tidak harus dilakukan di masjid. Jika ada teman satu kosan atau keluarga dalam rumah, bisa juga diajak untuk melakukan shalat jamaah.
Namun jika tidak ada dan terpaksa harus berangkat ke masjid karena keadaan di rumah tidak memungkinkan, maka ada baiknya untuk membawa sajadah sendiri dan cuci tangan dengan sabun sebelum atau sesudah dari masjid.
Seorang ustadz ada baiknya bijak dalam memberikan fatwa atau materi ceramah saat terjadi wabah Corona seperti saat ini. Untuk orang yang mengerti referensi keislaman, mungkin bisa mengolah sebelum mencerna pernyataan sang ustadz, tapi untuk orang awam yang mendengarkan, bisa berpotensi salah faham dan dapat menimbulkan madharat yang lebih besar. (AN)
Wallahu a’lam.