21 September diperingat sebagai hari perdamaian dunia, tapi kerapkali kisahnya hanya diceritakan oleh lelaki saja. Apakah perempuan tidak bisa jadi juru damai?
Shadia Marhaban, perempuan asal Aceh ini, merupakan satu-satunya perempuan dalam perundingan Helsinki. Lalu ada Suraya Kamaruzaman, sekali lagi, sosok perempuan yang menyebutkan perdamaian sesuatu yang niscaya. Ia yang sering dipanggil Aya tersebut, menyakinkan banyak orang bahwa yang dibutuhkan Aceh adalah perdamaian bukan referendum atau merdeka. Aya melipat gandakan basis-basis yang memiliki ideologi yang sama, yaitu perdamaian.
Keterilibatan perempuan dalam perdamaian dan keamanan telah diatur dalam Resolusi Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa 1325. Resolusi tersebut mengakui dampak yang tidak proporsional dan unik dari konflik bersenjata terhadap perempuan dan anak. Resolusi ini menyerukan adopsi perspektif gender untuk mempertimbangkan kebutuhan khusus perempuan dan anak selama konflik, repatriasi dan pemukiman kembali, rehabilitasi, reintegrasi dan rekontruksi paska-konflik. Lalu bagaimana dengan kondisi di Indonesia?
di Indonesia pada 2007 sudah terbentuknya RAN P3AKS merupakan turunan dari Resolusi 1325 yang mana sudah ada 51 negara yang sudah menurunkannya. Dengan kata lain, RAN P3AKS ini sudah dilaksanakan di 51 negara di dunia. Akan tetapi, Resolusi 1325 menjadi tawaran dalam penyelesaian dalam konteks khusus untuk mendorong implementasi hukum internasional Cedaw. Serta dalam kontek Indonesia, didorong dari banyaknya korban kekerasan berbasis gender semasa konflik bersenjata yang terjadi di Indonesia.
Sebenarnya, Indonesia telah memiliki aturan tentang konflik sosial, yaitu Undang-undang no 7 tahun 2012. Undang-undang konflik sosial tersebut menjadi mandate atas terbentuknya RAN P3AKAS. Lalu, apakah ada aturan lainnya untuk memperkuat rujukan hukum RAN P3AKS? Ada sejumlah aturan untuk memperkuat aturan hukum RAN P3AKS, diantaranya, Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 4, Undang-undang No 7 tahun 1984 tentang CEDAW, Undang-Undang No 39 Tahun 1999 tentang HAM dan Undang-undang 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Semua aturan tersebut, menjadi instrument HAM yang relevan untuk mendukung RAN P3AKS.
Dalam Resolusi 1325, mengandung 4 elemen penting yaitu perlindungan, pencegahan, recovery dan mainstreaming gender. Namun, hanya ada dua hal yang dianggap relevan di Indonesia dan itu terkandung dalam RAN P3AKS, yaitu Perlindungan dan Pemberdayaan. Untuk elemen pemberdayaan ini, meliputi partisipasi perempuan dalam resolusi konflik dan peacebuilding.
Dalam kontek Indonesia setelah memiliki instrument HAM yang sangat jelas, apakah RAN P3AKS ini menjadi hal yang urgen untuk diterbitkan di Indonesia? Jawabannya sangat urgen, sebab ada banyak korban berbasis berbasis gender yang tidak menjadi mendapatkan keadilan. Serta adanya transformasi konflik bersenjata menjadi konflik sosial yang cendrung meningkat.
Misalkan di Aceh, paska konflik bersenjata, ada banyak kasus yang masuk ke dalam rumah tangga. Dalam konteks terorisme dan ekstremisme, Aceh menjadi wilayah training teroris. Begitu juga dengan Poso yang menjadi wilyah larinya para teroris.
Peran Perempuan dalam Regulasi Konflik
Konflik yang terjadi di Aceh yang terjadi sejak 1998 – 2005, namun gerakan perempuan di sana sudah mulai bergerak sejak 2000. Pada saat itu, sekitar 450 orang perempuan perempuan Aceh melakukan musyawarah. Pada musyawarah tersebut, ada 22 rekomendasi yang dihasilkan. Akan tetapi, seiring dengan berjalannya waktu, rekomendasi tersebut mulai terlupakan. Pada saat perundingan, hanya ada satu orang perempuan Aceh yang ikut berunding. Itu pun, selama proses negosiasi sangat terbatas.
Perempuan tidak memiliki kontrol terhadap proses dan hasil dari perundingan damai. Sehingga, perempuan tidak memperoleh persamaan kesempatan dalam menikmati manfaat dari hasil perundingan perdamaian. Lalu, pada konflik kekerasan yang terjadi kepada kelompok Ahmadiyah terjadi berkali-kali dan terpola di NTB Dalam situasi ini, perempuan dan anak yang mendapatkan dampak paling rentan dalam kekerasan tersebut. Jamaah Ahmadiyah ini berkali-kali juga mereka mengalami kehancuran dan kehilangan asset. Namun, gerakan perempuan Ahmadiyah di NTb masih belum terpola seperti di Aceh.
Dari cerita konflik yang terjadi Aceh, perempuan hanya menjadi simbol yang perlu dilindungi. Akan tetapi, dalam konflik yang terjadi di NTB, perempuan harus dilindungi tidak berlaku. Sehingga, diperlukan penguatan pengarusutamaan gender terutama pada saat pengambilan keputusan di wilayah konflik. Hal ini akan berdampak pada kebijakan yang dihasilkan akan berbasis gender. Hal yang bisa dijadikan contoh adalah fasilitas di pengungsian yang harus memperhatikan kebutuhan masing-masing gender. Dalam konflik yang terjadi di Aceh, menyisakan pertanyaan besar bagaimana penangan perempuan yang mengalami kekerasa.
Perlunya Menerbitkan RAN P3AKS
Dalam konteks isu kekinian di Indonesia, tren ekstremisme dan terorisme yang melibatkan perempuan cukup meningkat meningkat saat ini. Belakangan ini, persoalan lain dari konflik sosial adalah menguatnya otoritas religiositas di beberapa wilayah memicu konflik keagamaan dan marginalisasi interpretasi agama minoritas, padahal pemeluk agama minoritas adalah tetap warga negara dan negara menjamin keberadaan mereka.
Dengan adanya, RAN P3AKS menjadi sangat penting dalam mengambil peacebuilding untuk mencegah terlibatnya lebih banyak perempuan yang terlibat dalam ekstremisme. Dalam konteks nasional Resolusi 1325 menjadi upaya untuk merespon dari women, peace dan security menjadi lebih masih harusnya bisa didukung secara penuh.
Untuk itu, RAN P3AKS harus segera disahkan di Indonesia. Di mana RAN P3AKS menjadi berdampak pada pemenuhan hak-hak korban kekerasan berbasis berbasis gender dan mencegah sejak dini konflik kekerasan karena dengan melibatkan perempuan dalam pengambilan keputusan, maka wajah pembangunan Indonesia akan jauh lebih sensitif untuk menjaga perdamaian.
Selain itu, RAN P3AKS menjadi produk nasional yang dapat merespon keamanan perempuan yang mana bisa menjawab masalah Prevention and countering of violent extremism (P/CVE). Kelompok-kelompok ekstrem di Indonesia, memiliki karakter dan aksi tersendiri. Namun terdapat kesamaan dari kelompok ekstrem tersebut, yaitu tingkat solidasitas dan perekrutan di tingkat basis. Di mana sosial media dan akar rumput (basis) menjadi perhatian penting mereka yang mana menjadi gerbang untuk melakukan perekrutan transfer ideologisasi.
Perempuan tidak hanya dijadikan target dalam P/CVE, tetapi menjadi pelaku berbagai peran mulai dari perekrutan, pendukung suami untuk melakukan terorisme, agenda dan pelaku peacebuilde. Dengan melihat karakter mereka, hal ini menjadi sangat penting dalam melakukan intervensi. Untuk akar rumput, sangat penting memperkuat community resilient adalah cara memperkuat para perempuan untuk rekrutmen dalam kontek perdamaian dan toleransi.