Zuhud Bukanlah Larangan Untuk Kaya

Zuhud Bukanlah Larangan Untuk Kaya

Zuhud Bukanlah Larangan Untuk Kaya

Sayyidina Utsman bin Affan gelisah saat masyarakat kota Madinah kesulitan pangan karena paceklik berkepanjangan. Hingga tiba saatnya makanan yang dibawa unta sebanyak enam puluh ekor yang ia pesan dari luar daerah datang. Ia Bergegas membagikan seluruh makanan yang dimuat dalam enam puluh ekor unta itu dengan gratis ke seluruh masyarakat.

Di lain waktu, Madinah berada dalam kondisi gawat. Tersiar kabar Romawi akan menyerang sementara kondisi ekonomi sedang lesu sehingga sulit membiayai perang. Banyak yang siap berdarma bakti tapi kendaraan untuk mencegat pasukan Romawi tak punya. Sekali lagi Utsman bin Affan turun tangan. Ia sumbangkan 950 kuda dan 50 unta untuk pasukan perang.

Cerita Ustman di atas hanya sebagian kecil dari kiprah para hartawan yang juga ahli zuhud. Mereka bukan orang yang gila dunia. Mereka memang seorang hartawan. Namun tidak bersikap

Zuhud menurut Imam Ghazali adalah hati tiada terikat dan terpaut dunia. Zuhud tak berbanding lurus dengan berapa jumlah harta yang dimiliki. Ia merupakan perspektif dalam memandang dunia. Bisa jadi orang yang sangat kaya raya namun hatinya zuhud. Sebaliknya bisa juga orang miskin papa tapi hatinya sangat diperbudak dunia.

Imam Abdullah bin Alawi Al-Haddad membagi dunia menjadi tiga.

Pertama dunia yang terpuji yaitu dunia yang menjadi penghantar melakukan kebaikan atau menghindarkan dari keburukan. Ada beberapa amal kebaikan yang membutuhkan harta seperti zakat, infaq, shadaqah pada fakir miskin, menolong kesusahan tetangga dan keluarga. Begitu juga dengan harta orang bisa menghindarkan dirinya dari mencuri, korupsi, menipu dalam transaksi. Karena Rasulullah Saw. bersabda, “Sebaik-sebaik harta adalah harta yang berada di tangan orang saleh.”

Kedua, harta tercela yaitu harta yang menjadi sebab meninggalkan kebaikan atau terjerumus dalam kemaksiatan. Banyak orang ketika hidup pas-pasan baik dengan saudara dan tetangga, ia punya rasa empati tinggi. Namun ketika kaya ia lupa segalanya. Harta yang dimiliki tak membuatnya puas namun tambah beringas. Ia makin bakhil dan melakukan segala cara untuk menumpuk harta. Zakat tak ditunaikan, tetangga dan kerabat yang kesusahan tak diperhatikan. Sedang kesehariannya berfoya-foya. Begitu juga banyak yang karena mengejar kebutuhan hingga lupa shalat dan puasa. Harta seperti ini yang dimaksud dalam Al-Quran Surat at-Taghâbun:15 “Sesungguhnya hartamu dan anak-anakmu hanyalah cobaan.” Begitu juga yang dimaksud Rasulullah melalui sabdanya, “Dunia itu terlaknat, begitu juga yang ada di dalamnya kecuali ingat kepada Allah dan apa-apa yang dicintai-Nya.”

Ketiga, Dunia mubah atau tanpa nilai. Ia tak layak dipuji atau dicela. Dunia yang mubah adalah yang tak menyebabkan meninggalkan kewajiban atau melakukan kemaksiatan. Ia menikmati sewajarnya apa yang dimiliki.

Penjelasan Imam Abdullah Al-Haddad ini menunjukkan bahwa menurut kaum shufi dunia dianggap baik atau buruk bukan karena dunia itu sendiri. Ia hanyalah alat yang bisa baik dan buruk tergantung fungsinya. Tashawwuf dan zuhud bukan anti dunia. Tashawwuf adalah bagaimana kita memandang dan menggunakan dunia. Biasanya ketika punya uang kita membayangkan rumah yang bagus, kendaraan yang mewah, makanan yang enak atau tempat rekreasi yang nyaman. Tashawwuf mengajak kita agar ketika memcari uang atau memiliki uang kita membayangkan sarana untuk dakwah, membayar zakat, berbagi dengan sesama, menolong tetangga dengan modal usaha, membiayai pendidikan kerabat, dan menolong biaya rumah sakit sahabat. Ia memiliki kendaraan sebagai sarana dakwah dan ibadah. Ia berpakaian bagus untuk mensyukuri nikmat dan menjaga marwah dirinya. Orang yang bertashawwuf akan selalu gelisah ketika belum bisa memiliki niat yang baik ketika menggunakan harta dan belum bisa berbagi. Ia akan merasa puas ketika bisa menolong saudara sebagaimana kita puas ketika bisa ganti hp baru menjelang hari raya. Ia akan merasa bahagia ketika tamu menghabiskan suguhannya di hari raya sebagaimana kita bahagia ketika bisa berwisata ke Puncak. Tampilan lahir boleh sama, harta yang dimiliki boleh sama-sama banyak tapi cara pandang dan bayangan untuk apa harta itu sangat berbeda. Karena itulah Sayyidina Abbas bin Abdul Muthollib ketika ditawari mengambil harta rampasan perang, ia mengambil sebanyak-banyaknya hingga untanya tak kuat untuk mengangkat. Secara lahir ia tamak akan harta. Tapi sebenarnya ketika itu ia sedang ingat dengan ayat dan hadits yang menjelaskan keutamaan bershodaqah. Ia sangat ingin memiliki harta yang banyak agar bisa bersedekah. Gayung bersambut, Rasulullah Saw. menawarinya. Bergegas ia ambil sebanyak mungkin agar segera bisa bersedekah sebanyak-banyaknya. Tashawwuf bukan membenci dunia. Ia menjelaskan duri mawar dan efek samping obat agar orang bisa memetik dan memanfaatkan mawar tanpa terkena durinya, mengonsumsi obat tanpa terkena efek samping negatifnya. Begitu juga dengan harta.