Hijab kembali jadi perbincangan publik. Kemarin (27/8), kita kembali disuguhi perdebatan terkait potongan video Zavilda TV yang merekam seorang perempuan sedang meminta atau lebih tepatnya memaksa wanita lain untuk menutup aurat. Sebenarnya video tersebut telah beredar beberapa bulan lalu.
Kronologi kejadian di video berjudul “Cewe S3xy Mirip Via Vallen Pakai Hijab & Cadar, Kok Nangis?” ini bermula dari permintaan sang ukhti. “Boleh izin tutup auratnya ngak kak,” ujar sang ukhti kepada seorang perempuan, sebutlah bernama A, sedang duduk di bangku sekitaran Malioboro. Dari awal perbincangan si A sudah memperlihatkan sikap menolak, dan terlihat tidak nyaman dengan anjuran ukhti, sehingga sempat berdiri dan berusaha berjalan menjauhi si ukhti.
Namun, ukhti tersebut tetap mendakwahi si A dengan berbekal berbagai stigma perempuan berpakaian terbuka. Bahkan, ukhti terus saja mengoceh dengan sesekali mengutip dalil atau pelajaran agama untuk meloloskan keinginannya memakaikan hijab dan cadar yang telah dibawanya kepada si A.
Konten yang diunggah di kanal Youtube Zavilda TV tersebut sebenarnya cukup panjang jika dibanding dengan potongan video yang beredar di Tiktok dan Instagram kemarin. Namun, sepanjang sisa konten si ukhti cukup banyak mengintimidasi si A dengan bumbu siksa kiamat, seperti telah membukakan pintu neraka dan lain-lain.
Pemaksaan & judgement terlampau jauh. Berkata org lain sangat berdosa & telah jahat pd Tuhannya. Mulai akting jd panitia akhirat.
Mempersonifikasikan Tuhan yg murka, ancaman lagi yg keluar. Tolong ya, beragama itu berkesadaran. Tnpa paksaan, apalagi memaksa org lain demi konten. pic.twitter.com/Xb09wWGqZU
— अग्घियकल्यानी (@littlevixen__) August 26, 2022
Apa yang sebenarnya terjadi? Pelajaran apa yang bisa kita ambil dari kejadian ini? Dua pertanyaan ini mungkin sering terlintas di benak kita. Namun, jika kita ingin melihat dan memahami lebih dalam terkait persoalan konten hijab bagi perempuan tersebut, maka kita bisa memulai mengulik dari kehadiran para influencer di lanskap dakwah Islam dan ruang publik kita, termasuk dunia digital.
Tema dakwah di ruang publik entah berapa tokoh dan ulama yang membicarakannya. Namun, jika berkaca pada kasus video di Malioboro kemarin, sepertinya kita harus mulai melihat konten dakwah di ruang publik tidak terbatas pada format saja. Sebab, sosok Influencer atau pemengaruh adalah titik krusial untuk kita mendalami bagaimana wajah dakwah Islam kontemporer.
Tidak asing bagi kita, jika ada klaim hari ini bahwa media sosial membuka kesempatan bagi siapa saja untuk menjadi pendakwah. Bahkan, kehadiran influencer juga turut mengubah wajah dakwah Islam yang selama ini didominasi dari
Iya, teknologi media telah mengubah lanskap dakwah. Tidak saja menambahkan karisma atau unsur-unsur di luar ranah keilmuan Islam, seperti model suara, wajah ganteng, hingga kemampuan bernyanyi, dakwah juga mulai semakin cair. Dengan modal dalil, “Sampaikan kepada ku walau hanya satu ayat” atau “Mengingatkan sesama saudara muslim”, banyak para pengguna media sosial mulai menghadirkan konten-konten dakwah.
Para pengguna ini kemudian semakin “berpengaruh” karena telah memiliki pengikut (baca: Followers) yang cukup banyak. Bahkan, jika dibandingkan dengan para dai konvensional atau pendakwah media televisi sekalipun, para influencer ini malah memiliki penonton setia dan militan yang lebih banyak.
Jika di dekade awal kehadiran berbagai platform media sosial masih menampilkan para pendakwah yang berpindah medium, dari televisi ke layanan jejaring sosial. Maka, di dekade kedua ini, sosok influencer ini mulai hadir sebagai pendakwah. Mungkinkah definisi pendakwah sebagai otoritas agama akan berubah? Entahlah, harus ada ulasan tersendiri terkait tema ini.
Perlu ditegaskan terlebih dahulu, wajah agama di ruang publik hari ini bukan ujug-ujug datang seketika. Ia merupakan hasil dari perubahan struktur kehidupan kita, terlebih teknologi digital yang turut mengakselarasi transformasi tersebut. Jika dakwah di ruang publik hari ini mulai dijejali dengan kehadiran aktor-aktor non-otoritatif sebagai penyampai keilmuan agama.
Apa itu otoritas agama? Jika kita mengulik definisi yang dikembangkan oleh Ismail Fadjrie Alatas, dalam buku What is Religious Authority, maka di sana disebutkan ada dua hal penting yang harus dimiliki oleh seorang otoritas agama, yakni relasi ke masa lalu yang dianggap otoritatif, dalam kasus Islam adalah masa kenabian, dan kemampuan membangun dan memelihara jemaah, yang kemudian sosok tersebut dapat dinilai layak untuk diikuti oleh para jemaah.
Tidak ada tingkat keilmuan agama pada penjelasan Alatas. Sebab, relasi ke masa kenabian tersebut adalah representasi bagaimana keilmuan Islam ditransmisikan, dijaga, hingga dipertahankan. Memang, wajah transmisi pengetahuan Islam hari ini telah berubah. Model pendidikan modern dan teknologi media memungkinkan orang untuk mendapatkan akses pada khazanah pengetahuan Islam.
Jika dulu para pencari ilmu dikenalkan dengan diksi nasab, sanad, dan silsilah sebagai model relasi para ulama ke masa lalu kenabian, yang dianggap sebagai fondasi keilmuan Islam. Hari ini, pendidikan modern dan kecanggihan teknologi digital seolah-olah menjadi “jalan pintas” untuk seseorang mengakses masa lalu kenabian tersebut, sebagai salah satu modal untuk menjadi otoritas.
Setelah melalui jalan pintas dalam mengakses keilmuan Islam, para influencer tersebut juga memiliki model, relasi, dan strategi yang berbeda dalam membangun dan memelihara jemaah. Hubungan mereka dengan para pemirsa mungkin tidak bisa disamakan dengan relasi ulama-jemaah. Para influencer tersebut “diharuskan” memiliki kemampuan dalam penguasaan teknologi media dan teknik marketing di dunia digital.
Walapun memiliki dua modal sosial yang seharusnya dimiliki oleh seorang otoritas dengan cara yang berbeda, para influencerpendakwah ini tetap memiliki pengaruh yang besar pada pemirsanya. Kehadiran mereka tidak bisa diabaikan begitu saja. Kasus ukhti di atas adalah buktinya.
Dengan dalih “mengingatkan”, “menyampaikan satu ayat”, atau “masih sama-sama belajar”, petuah-petuah keagamaan para influencer tersebut malah dipandang lebih otoritatif dibanding dengan para ulama, khususnya terkait dengan kehidupan masa kini. Walaupun, tidak jarang mereka juga melakukan kesalahan, seperti terlalu terburu-buru dalam menyimpulkan permasalahan agama atau gagal memahami persoalan ajaran agama.
Kasus Ukhti di atas adalah salah satu bukti bagaimana kehadiran seorang influencer pendakwah dalam lanskap dakwah Islam kontemporer. Akun Zavilda TV cukup rajin memproduksi konten yang bernada sama, yakni “menyadarkan” mereka yang dianggap sang ukhti telah melakukan “dosa”. Sebagian besar wilayah operasi sang ukhti pun hanya sekitaran Malioboro.
Dengan percaya diri, sang ukhti yang telah menjadi influencer pendakwah yang menghadirkan Islam di ruang publik. Memang, sebagian besar kita menyayangkan, kenapa Islam harus hadir dengan wajah intimidatif dan eksploitatif, bahkan ukhti tersebut tidak melihat sama sekali dan melanggar hak privasi dari banyak korban “dakwah hijab”-nya.
Lihat saja beberapa ungkapan yang dimunculkan di konten video sang ukhti. Sedikit saja ada luapan negatif atas “Dakwah hijab” sang ukhti, maka akan dikomentari dengan kata-kata yang kurang bersimpati. “Astaghfirullah terbiasa sexy” adalah satu dari sekian ungkapan negatif dalam konten-konten sang ukhti di kanal Zavilda TV.
Padahal para ulama kita mengajarkan untuk tetap rendah hati dan penuh simpati dalam menyampaikan dakwah. Kita juga dilarang untuk menyinggung orang lain di depan umum walaupun dengan alasan dakwah. Memenuhi ruang publik kita dengan “dakwah” jalanan seharusnya mulai dikurangi oleh para influencer pendakwah, sebab rentan menghadirkan wajah agama yang negatif dan kurang bersahabat bagi siapa saja.
Influencer pendakwah adalah fenomena baru dalam dakwah kita hari ini. Sangat disayangkan, jika mereka menjadi agen-agen lini depan dalam menghadirkan agama Islam di ruang publik. Tidak saja kurang otoritatif, mereka juga rentan gagal mewujudkan Islam rahmatan lil alamin.
Fatahallahu alaina futuh al-arifin