Selama satu milenium lebih, umat Islam di seluruh dunia hidup berilmu agama dengan teknik manuskrip yang tentu saja hanya sampingan dibandingkan lisan. Ini memang suatu prestasi yang sungguh mengagumkan. Namun, setidaknya sejak pertengahan abad ke-19, perlahan teknologi cetak (Eropa) modern memasuki kawasan mayoritas muslim hampir di seluruh dunia. Sejak awal abad ke-20, umat Islam hampir di seluruh dunia mulai memasuki, meminjam istilah Muhsin Mahdi (1995), Zaman Buku Cetak (Age of Printed Book) dan perlahan meninggalkan Zaman Manuskrip (Manuscript Age) yang telah membesarkannya selama satu milenium lebih.
Para pengambil kebijakan politik budaya Islam tidak serta merta mengadopsi dan menerima teknologi cetak modern yang berasal dari Eropa (Nasrani). Tahun 1485, Sultan Bayazid II dari Imperium Turki (Ottoman) mengharamkan teknologi cetak dan barang cetakan (Eropa) dan tetap diharamkan oleh penerusnya, Raja Selim I pada 1515.
Pengecualian hanya bagi non-muslim, termasuk mengimpor buku-buku agama mereka dari Eropa. Larangan ini, yang tampaknya juga berlaku di berbagai belahan dunia muslim, tetap berjalan sampai akhirnya kolonialisme Eropa merangsek masuk ke wilayah kerajaan-kerajaan mayoritas muslim.
Pada 1712, pemerintah kerajaan Turki akhirnya memberikan izin percetakan pada Muhammad Efendi Chelebi yang pernah ke Paris dan melihat pentingnya percetakan Eropa, namun niaga buku khusus bukan kitab keislaman (Proudfoot, 1997).
Pada tahun 1726, seorang Katolik yang kemudian masuk Islam dan mempunyai pengaruh penting di Imperium Turki, Ibrahim Mutafarrika, menulis esai memorandum panjang untuk wasir utama kerajaan dan para pemimpin agama. Judulnya: Vesiletut Tibaa (Kegunaan Percetakan).
Menurut Mutafarrika, ada sepuluh keuntungan pengadopsian teknologi cetak Eropa. Di antaranya, menjaga warisan khazanah ilmu pengetahuan ilmuwan muslim agar tidak hilang seperti saat penyerbuan Mongol ke Baghdad, menjadi jawaban untuk kebutuhan umat Islam (terdidik) pada kitab-kitab yang akan tetap langka jika hanya menggunakan teknologi tulis tangan (manuskrip), meluaskan jangkauan pendidikan masyarakat umum akibat penurunan harga kitab yang bisa dicetak massal dan seragam, mengembangkan ilmu pengetahuan (science), khususnya untuk menguatkan agama dan kerajaan Turki (yang sayanganya tidak terjadi), dan seterusnya.
Namun, seperti diulas Michael W. Albin, (1993), Imperium Turki tidak langsung mengdopsi dan melakukan kebijakan gerakan keaksaraan modern secara besar-besaran, sampai akhirnya teknologi cetak banyak digunakan para pembaharu Islam sejak pertengahan abad ke-19. Di tangan kaum pembaharu modenis, seperti Muhammad Abduh, Rasyid Ridha, dan seterusnya, termasuk kaum pembaharu modernis di Indonesia, teknologi cetak modern Eropa benar-benar berguna dan berkembang pesat. Koran, majalah, dan buku-buku diterbitkan dengan teknologi cetak modern (litografi dan tipografi).
Niaga Buku
Di Indonesia, pada 21 Ramadan 1264 (21 Agustus 1848), Muhammad Azhari mencetak Al-Quran dengan menggunakan teknik “paris lithographique yakni di atas impitan kayu batu”, seperti tertulis dalam kolofon. Prakarsa karya Azhari mendahului Kairo Mesir (1864) dan Mekkah (1883) (Proudfoot, 1995).
Dalam kolofonnya, Muhammad Azhari menulis tentang keampuhan teknologi paris lithographique: “Maka adalah banyak bilangan Al-Quran yang dicap itu seratus lima Al-Quran. Maka perhimpunan mengerjakan dia lima puluh hari, maka dalam satu hari dua Qur’an 3 juz…” Teknologi baru litografi mampu mencetak secara massal. Tangan kaligrafer profesional mustahil menulis 105 eksemplar Al-Quran dalam tempo 50 hari. Dengan modal f 500, Muhammad Azhari menjual per Al-Quran seharga f 25 (Laffan, 2015).
Berkat teknologi cetak litografi (cap batu) lalu tipografi (ala teknik Gutenberg), perniagaan kitab-kitab dan terutama kapitalisme cetak (kaum pribumi) mulai terjadi dan tumbuh. Pada akhir abad ke-19, terbentuk jaringan perniagaan barang cetak (buku umum, kitab teks agama Islam, majalah) lintas pulau dan negara (kerajaan): Jawa, Sumatera, Singapura, Penang, Mekah, Kairo, Istanbul, Bombay, Singapore—dibandingkan sekarang, perniagaan buku jauh lebih internasional daripada lingkup nasional atau lokal, terutama akibat larangan impor buku berbahasa Melayu-Indonesia.
Tokoh-tokoh penting pada masa ini adalah Haji Muhammad Siraj al-Rambani (Rembang, pesisir utara Jawa Tengah) sang saudagar buku berkelas internasional yang membuka toko di Singapura, Haji Muhammad Nuh bin Ismail dari Juwana (Pati), Haji Muhammad Said bin Haji Muhammad Arsyad dari Semarang, Haji Muhammad Taib bin Haji Muhammad Zain asal Pati, lalu yang kurang aktif Haji Abdul Karim bin Suradin asal Rembang dan Syaikh al-Hajj Muhammad Nuh bin Mustafa dari Purbalingga, Banyumas.
Beberapa dari mereka, bukan hanya menjadi saudagar barang cetak, tapi juga menjadi penerbit dan membuka percetakan, dan termasuk yang mencetakkan buku di pencetakan pemerintah, kelompok Tionghoa, dan misionaris (Ian Proudfoot, 1987).
Menurut hasil pelacakan yang menakjub dari Ian Proudfoot (1993) terhadap buku cetak modern dalam Early Malay Printed Books (setebal 886 halaman!) menunjukkan bahwa selama priode 1860-1920, para penerbit muslim (Melayu, Jawa, Penarakan Jawi dan identitas muslim lain) terhitung menguasai 60 persen dari semua buku terbitan. Sedangkan penerbit pemerintah (Inggris) dan misionaris hanya 37 persen, dengan judul jauh lebih sedikit tapi jumlah cetak yang cukup banyak dan berkali-kali.
Yang juga perlu dicatat, produk penerbit muslim semuanya berdasarkan sistem pasar: sesuai dengan asas ekonomi permintaan (supply) dan penawaran (demand), yang bisa menunjukkan kondisi niaga buku sebenarnya. Ini memang hanya kasus niaga buku di Singapura namun pada waktu itu menjadi pusat niaga buku internasional (rantau) di Asia Tenggara.
Seratus tahun sejak Muhammad Azhari, pada tahun 1950-1955, H.M. Baharthah direktur penerbit Alma’arif di Bandung sudah mencetak 10.000 eksemplar Al-Quran per bulan. Pada tahun 1980an Alma’arif biasa mencetak 50.000 eksemplar Al-Quran per bulan. Ini hanya satu penerbit saja dari sekian banyak penerbit Al-Quran yang mulai bertumbuh sejak pertengahan abad ke-20.
Sekarang, jika Anda mempunyai mata dan mau berpikir, pergilah ke toko buku dan perhatikan berapa banyak jumlah Al-Quran yang dicetak dan berapa ragam bentuk dan modelnya. Ini sungguh-sungguh tidak pernah terjadi pada zaman Nabi Muhammad saw atau pada ‘zaman kejayaan Islam’ yang dibayangkan dengan nostalgia apologis. Bayangkan saja: bocah cilik saja sudah mampu mempunyai kitab berusia sekitar 1400 tahun!