Selama ini yang kita tahu cucu Rasul dan putra Fatimah-Ali hanya lah Hasan dan Husein, padahal ada Zainab, sosok anak perempuan yang menjadi ‘ibu’ bagi adik-adiknya, Hasan-Husein.
Masa kecil Zainab binti Ali, cucu Nabi Muhammad SAW dilalui dengan penuh kebahagian, di bawah pengawasan dan limpahan kasih sayang kedua orang tuanya dan kakeknya, sang insanul kamil Muhammad. Namun kebahagian itu begitu cepat berlalu, hanya sekejap kebahagiannya bersama sang kakek tercinta, mereka dipisahkan oleh sang maut, hanya lima tahunan Zainab merasakan belaian kasih sayang dari kakeknya.
Kesedihan Zainab semakin memuncak hanya berkisar sekitar enam bulan dari kepergian sang kakek, ibunda tercinta Fatimah az-Zahra yang menyusul sang kakek untuk selamanya. Setelah kepergian ayahanda tercinta, Nabi Muhammad SAW, Fatimah selalu dirundung kesedihan. Selama kurun waktu menjelang kewafatannya, Fatimah tidak pernah tersenyum. Hari-hari dilalui Fatimah dengan kesedihan yang mendalam serta tangisan yang menyayat pilu.
Para sejarawan mengumpulkan orang-orang mulia yang larut dalam kesedihan yang mendalam dalam sejarah. Salah satunya adalah Fatimah. Ia termasuk sosok yang pernah dianggap paling sedih dalam sejarah, ia pernahmenangis pilu sebagai ungkapan perasaan yang mendalam atas meninggalnya sang ayah, Nabi Muhammad SAW; Selain itu ada Nabi Adam yang menangis karena menyesal memakan buah Khuldi dan melanggar larangan-Nya; Lalu ada Nabi Nuh menangisi kaummnya yang inkar kepada Tuhannya dan ditenggelamkan oleh air bah; Nabi Ya’qub menangis karena rindu kepada putranya Yusuf; Nabi Yahya menangis karena takut akan neraka. (Aisyah Abdurrahman Bintus Syathi, As-Sayyidatu Zainab, Bathalu Karbila’, terj. Anoname{Jakarta: Bulan Bintang, 1975}, hlm. 38.)
Fatimah yang dirundung duka teramat dalam hanya menunggu kedatangan sang pemutus nikmat, malaikat maut. Ia telah diberi kabar gembira dari Nabi bahwa ia adalah orang yang pertama dari kalangan keluarga Nabi Muhammad yang akan menyusulnya.
Dalam satu riwayat dikisahkan dari ‘Aisyah dia berkata, “Suatu ketika para istri Rasulullah SAW, sedang berkumpul tanpa ada seorang pun dari mereka yang tidak hadir saat itu. Tak lama kemudian, datanglah Fatimah dengan berjalan kaki yang cara jalannya persis dengan cara jalannya Rasulullah SAW. Ketika melihatnya, maka beliau pun menyambutnya dengan mengucapkan: “Selamat datang hai puteriku yang tercinta!”
Setelah itu beliau mempersilahkannya untuk duduk di sebelah kanan atau di sebelah kiri beliau. Lalu beliau bisikkan sesuatu kepadanya hingga ia (Fatimah) menangis tersedu-sedu. kemudian sekali lagi Rasulullah pun membisikkan sesuatu kepadanya hingga ia tersenyum gembira. Lalu saya (Aisyah) bertanya kepada Fatimah, “Ya Fatimah, Apa yang membuat kamu menangis?” Fatimah menjawab; “Sungguh saya tidak ingin menyebarkan rahasia yang telah dibisikkan Rasulullah kepada saya.” Aisyah berkata, ‘aku tidak pernah melihat kebahagian yang lebih dekat dengan kesedihan seperti hari ini. Lalu Aku (Aisyah) bertanya kepadanya ketika dia menangis, “Apakah Rasulullah saw, mengistimewakanmu dari kami dengan ucapannya, hingga kamu menangis?” Aku bertanya terus tentang apa yang diucapkan Rasulullah kepadanya, namun dia tetap menjawab, “Aku tidak akan menyebarkan rahasia Rasulullah SAW.”
Setelah Rasulullah SAW meninggal dunia, saya hampiri Fatimah seraya bertanya kepadanya, ‘Hai Fatimah, saya hanya ingin menanyakan kepadamu tentang apa yang telah dibisikkan Rasulullah kepadamu yang dulu kamu tidak mau menjelaskannya kepada saya!’ Fatimah menjawab, “Dulu Rasulullah SAW, membisikkan sesuatu kepada saya, beliau memberitahukan, bahwasanya Jibril dan beliau biasanya bertadarus Al Qur’an satu kali dalam setiap tahun dan kini beliau bertadarus kepadanya (Jibril) sebanyak dua kali. Sungguh aku (Rasulullah) tahu bahwa ajalku telah dekat’. ‘Mendengar bisikan itu, maka saya pun menangis,” kata Fatimah.
Kemudian Rasulallah SAW berbisik lagi, “Sesungguhnya kamu adalah orang yang paling pertama menyusulku dari kalangan ahlul baitku. Sebaik-baik pendahulumu adalah aku, hai Fatimah, maukah kamu menjadi pemimpin para istri orang-orang mukmin atau sebaik-baiknya wanita umat ini?” Lalu saya (Fatimah) pun tertawa karena karena bisikan nabi yang terakhir itu.”{H.R. Muslim, Kitab : Keutamaan Shahabat, Bab : Keutamaan Fatimah binti Nabi saw, No. Hadist : 4488}
Akhirnya pesan dari Nabi pun terbukti. Fatimah menjadi orang yang pertama menyusul Rasulallah, tinggallah Zainab kecil yang memperhatikan bagaimana sosok ibunya dibaringkan, dikubur dipemakaman Baqi’ sebagaimana hal tersebut terjadi kepada kakeknya. Instingnya yang tajam membuat ia mengerti bahwa hari tersebut merupakan hari yang terakhir ia melihat sosok ibunda yang tercinta.
Zainab menangis lirih didekapan sang ayah tercinta Ali bin Abi Thalib yang tertunduk sayu menatap gundukan makam isteri yang tercinta. Dengan suara lirih, sang ayah tercinta, Ali bin Abi Thalib mengucapkan salam perpisahan untuk orang yang mereka cintai disaksikan oleh putra dan putri mereka,
“Salamku untukmu ya Rasulullah! Salamku untuk isteriku tercinta! Dari cucumu dan anak-anakmu. Sungguh teramat berat bagiku menghadapi cobaan ini. Belum kering air mata menangisi kepergian engkau ya Rasulallah. Masih basah gundukkan makammu, ya Rasulullah, Fatimah isteriku yang tercinta pergi untuk selamanya berkumpul dengan kalian, ya Rasulallah. Hanya setitik iman dan kesabaran lah yang membuatku mampu bertahan dari cobaan yang teramat berat ini. Semoga Allah memberikan jalan yang terbaik jalan yang terang sebagai pelita untuk kami menghadapi ujian ini. Salamku untukmu, ya Rasulallah! Salamku, ya isteriku tercinta! Sari cucumu dan anak-anakmu. Selamat tinggal isteriku yang tercinta, semoga kita akan berkumpul lagi di tempat yang telah Ia janjikan.”
Dengan langkah lesu Ali pulang ke rumah diiringi putra-putri mereka, malam berlalu dengan cepat, tiba-tiba Zainab merasakan keadaan yang sunyi, sepi mencekam, tiada terdengar senda gurauan dari ibunda yang tercinta. Ia sadar ia telah kehilangan, ditinggalkan sosok yang teramat mengasihinya, yang tinggal hanya secercah kenangan yang manis yang menjadi bunga tidur baginya dan saudara-saudarinya.
Peristiwa-peristiwa yang pilu yang dialami oleh Zainab membuat ia tumbuh menjadi lebih dewasa dibandingkan anak seusianya, ia hadir menjadi sosok ibu bagi Hasan, Husein dan adiknya paling kecil, Ummu Kaltsum.
Ya, ia hadir sebagai ibu yang teramat belia yang berumur kurang lebih sepuluh tahun bagi saudara-saudarinya. Kegetiran hidup yang dialami Zainab menjadikan ia sosok remaja yang tabah, sabar dan penuh kasih sayang bagi saudaranya. Masa remajanya dilewati dengan membimbing, menjaga saudara-saudarinya yang lain sebagai bentuk tanggung jawab terhadap pesan ibunya agar ia selalu berada di sisi, menemani saudaranya yang lain sepeninggalan ibunya. (AN)