Tunisia, negara yang terletak di bagian utara Benua Afrika ini punya sejarah yang panjang dan beberapa peninggalan. Dimulai dari zaman peradaban Carthage hingga masa islam. Dengan ibu kotanya, Tunis, negara ini pernah menjadi pusat ilmu pengetahuan yang saat itu berpusat di Masjid Zaitunah.
Masjid yang menjadi cikal bakal universitas Islam tertua di dunia ini didirikan pada tahun 79 H/698 M oleh Hasan Ibn Nu’man sang penakluk kota Tunis. Seperti lazimnya kota-kota Islam pada umumnya, masjidlah bangunan utama sekaligus pertama yang didirikan sebagai tanda telah dimulainya pemerintahan Islam.
Zaetunah, yang berarti sebuah pohon zaitun ini dipilih sebagai nama masjid lantaran di atas tanah yang akan didirikan masjid itu ada sebuah pohon zaetun yang konon sebelum Islam datang pohon ini menjadi objek sesembahan.
Dahulu, tanah yang sekarang menjadi masjid Zaetunah adalah bekas kuil Nasrani pada zaman Romawi. Bahkan pemilihan tempat pembangunan mihrab pun penuh misteri. Menurut beberapa catatan buku sejarah, seorang pendeta Nasranilah yang mengusulkan lokasi pembangunan mihrab karena di setiap tengah malam yang gelap pada waktu itu ia selalu melihat cahaya terpancar dari sana. Maka dipilihlah lokasi tersebut untuk membangun mihrab yang hingga saat ini masih berdiri megah.
Selain Masjid Zaetunah, yang menjadi pusat kegiatan dakwah, kita juga bisa menemukan Masjid Zaetunah yang lain, yaitu Masjid Zaetunah di Bab Bahr (sebuah pintu peninggalan Turki Usmani di kawasan Elmedina atau kota tua) atau dikenal dengan Masjid al-Khutbah dan ada juga Masjid Zaetunah kecil yang terletak di Jalan Abu Sa’diyah. Masjid Zaetunah kecil ini hanya digunakan untuk menunaikan solat wajib saja.
Awalnya Zaetunah hanyalah sebuah masjid kecil biasa, namun seiring berjalannya waktu dan semakin banyaknya masyarakat Barbar di Kota Tunis yang memeluk islam maka masjid pun diperluas. Ubaidillah Ibn Alhabhab, seorang gubernur Tunis yang diperintahkan oleh Umar Bin Abdul Aziz untuk memimpin Tunis yang pada saat itu masih berupa wilayah otonom yang menginduk ke Mesir. Ubaidillah Ibn Alhabhab mulai memeritah Tunis pada tahun 110 H/728 M. Beliaulah yang memelopori perluasan Masjid Zaetunah hingga sempurna pembangunannya pada tahun 250 H/864 M. Sebuah catatan yang tertulis di atas kubah mihrab imam Masjid Zaetunah menjadi bukti sejarah itu.
Perluasan Masjid Zaetunah ini telah menghabiskan dana sekitar 112 kotak emas. Dan setiap kotaknya berisi sekitar 12.000 dinar emas. Total anggaran perluasan Masjid Zaetunah ini sekitar 1.344.000 dinar emas pada waktu itu. Ini menunjukan betapa kuat dan jayanya peradaban Islam pada waktu itu.
Masjid Zaetunah ini secara arsitektur menyerupai Masjid Cordoba di Spanyol dan Masjid Uqbah Ibn Nafi di Kairouan, sekitar 160 km ke arah selatan dari kota Tunis.
Bangunan ini terdiri dari tiga bagian utama, yaitu Baitus Solat atau bangunan utama masjid untuk solat, shohnul masjid atau halaman terbuka masjid yang biasanya digunakan untuk solat tarawih saat musim panas, dan terahir menara masjid untuk mengumandangkan adzan ke seluruh penjuru kota.
Uniknya, dari zaman awal pembangunan menara hingga saat ini Masjid Zaetunah masih mempertahankan keunikannya; muadzin mengumandangkan adzan tanpa menggunakan pengeras suara. Muadzin yang biasanya terdiri dari tiga hingga empat orang ini biasanya akan mengumandangkan adzan di atas menara sambil mengelilingi balkon atas menara. Hal ini bertujuan agar suara muadzin bisa terdengar di setiap penjuru kota Tunis. Luas total masjid zaetunah ini adalah 5000 m2.
Untuk Baitus Solat ada sekitar 184 tiang yang menyangganya. Tiang masjid sendiri berusi ribuan tahun, lebih tua dari bangunan masjid itu sendiri. Tiang-tiang penyangga ini diambil dari sisa-sisa reruntuhan kerajaan Carthage di Tunis. Dan untuk luasnya Baitus Solat ini berukuran sekitar 24×56 m yang dilengkapi dengan 13 pintu kayu khas bangunan arab maghrib yang dibangun oleh Sultan Abu Zakaria Bin Hafs, seorang pendiri Dinasti Hafsiah yang memerintah Tunis pada saat itu.
Kemudian, Shonul Masjid, atau halaman masjid. Berupa bangunan luas yang dikelilingi oleh riwaq-riwaq kecil yang menjadi tempat berteduh sekaligus menjadi sekolah-sekolah Islam pada zamannya. Biasanya saat Ramadhan musim panas, halaman ini akan dipenuhi oleh jamaah yang akan melaksanakan solat tarawih.
Di bawah bangunan ini terdapat semacam kolam raksasa yang digunakan sebagai penampung air hujan dan airnya akan dimanfaatkan untuk keperluan sehari-hari serta untuk bersuci. Mereka akan mengambilnya melalui lubang-lubang yang menyerupai lubang sumur. Di Shonul Masjid ini tedapat tiga lubang untuk pengambilan air dari kolam raksasa di bawahnya. Masyarakat Tunisia biasa menyebutnya Majil.
Awalnya, sumber air di masjid ini sangat sulit didapatkan. Hanya mengandalkan air hujan yang ditampung ke dalam masjid. Namun sejak Sultan Yahya Ibn Almustanir (676 H/1277 M) mengalirkan air dari mata air Gunung Zaghuan maka masalah air menjadi teratasi.
Terakhir adalah menara masjid yang digunakan untuk mengumandangkan adzan ke seluruh penjuru kota. Menurut catatan Ibnu Abi Dinar, seorang sejarawan kenamaan Tunisia, menara masjid ini dulunya hanya menara kecil sederhana. Namun seiring berlalunya waktu, maka menara pun dipercantik dan ditambah kemegahannya.
Di zaman pemerintahan Islam saat itu sering merenovasi bangunan-bangunan utama seperti masjid, zawiyah (sebuah petilasan wali solih), dan madrasah sebagai bentuk eksistensi sang penguasa pada zaman itu. Maka direnovasilah bangunan menara yang awal tingginya hanya 8 dziro’ kemudian ditambah tingginya oleh Sultan Muhammad Bey Almurodi (1063 H/1652 M) menjadi 50 dziro’. Corak bangunan menara ini meniru corak menara Masjid Elqasbah yang terletak di sebelah timur Elqasbah.
Seiring berjalannya waktu dan material bangunan menara yang mulai rapuh maka menara pun direnovasi kembali mengingat kondisinya yang rawan ambruk pada saat itu. Total waktu yang dibutuhkan untuk merenovasi menara ini adalah tiga tahun lamanya. Dimulai sejak tahun 1309 H/1891 M hingga sempurna pada tahun 1312 H/1894 M. Di tahun yang sama tepatnya pada 26 Ramadhan 1312 H untuk pertama kalinya adzan dikumandangkan setelah masa renovasinya tepat saat masuk waktu solat ashar dan sekaligus menjadi ajang peresmian menara baru. Peresmian ini dihadiri oleh beberapa petinggi pada saat itu; seperti Sulatan Ali Bey 3, para ulama dan khatib serta para tamu undangan.
Ibnu Abi Dinar dalam bukunya al-Mu’nis fii Akhbari Ifriqiya wa Tunis mencatat, saat penjajahan pasukan Spanyol ke Tunis dan La Goulette, Zaetunah pernah merasakan “pahit sejarah” yang hingga saat ini tak terlupakan. Beberapa ubin Shanul Masjid dicongkel hanya untuk menaruh patok tambatan kuda-kuda para tentara, buku-buku perpustakaan El Abdalya diinjak dengan kuda lalu kemudian dihancurkan dengan pedang mereka, buku-buku yang tertata di lemari-lemari Masjid Zaetunah dibakar. Sungguh kerugian yang tak bisa ditaksir dengan harta. Sebuah kekayaan peradaban dan ilmu pengetahuan mereka lenyap dan hancurkan. Penjajahan tentara Spanyol ini sempat membuat masyarakat Tunisia pada waktu itu resah. Namun berkat tentara pasukan Turki Ustmani, mereka bisa diusir dari Tunisia. Peristiwa itu terjadi sekitar pada abad ke-16 M.
Sebagai pusat studi, Zaetunah cukup dikenal luas oleh kalangan dunia Islam. Dimulai sejak abad ke-3 Hijriah hingga akhir abad ke-20 Zaetunah telah mencetak cendekiawan dan para ulama terkemuka. Seperti Abdurrahman Ibn Khaldun (1406 M) yang terkenal dengan karya monumentalnya Elmuqadima, Ibnu Arfa (803 H) yang terkenal sebagai mujtahid kenamaan madzhab Maliki sekaligus mufasir dengan karyanya Tafsir Ibn Arfa, Muhammad Thohir Ibn Asyur yang terkenal dengan konsep Maqashid Sharia-nya. dan masih banyak lagi.
Saat ini, Zaetunah telah menjelma menjadi universitas terkemuka. Universitas Ezzaitouna, Tunisia kini menjadi corong peradaban Islam. Berbagai siswa dari pelosok penjuru dunia mendatanginya untuk menimba ilmu serta hikmah para ulamanya. Tercatat sekitar 40 negara telah mengirim delegasinya untuk menimba ilmu di sana.