Pendiri Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Yusuf Supendi ramai lagi diperbincangkan terkait pencalonan dirinya menjadi calon legislatif dari partai PDIP pada Pemilu serentah 2019 mendatang. Tentunya, hal ini membuat begitu banyak pertanyaan mengingat kedua partai selama ini menjadi rival dalam perpolitikan nasional. Kedua partai ini pun secara garis partai dan ideologi dianggap saling berseberangan.
PKS mewakili ideologi islam politik sedangkan PDIP representasi ideologi nasionalis. Bahkan, tak jarang keduanya saling cibir: satunya merah dan satunya politik; islam dan nasionalis. Atau, agamis dan non-agamis–meskipun istilah ini rancu mengingat fakta bahwa politik di negeri ini begitu cair. Lagipula, perdebatan lawas dan sudah banyak yang menuliskannya.
Yusuf Supendi pun mengakui hal itu. Representasi dan identitas islam yang kerap disematkan kepada PKS dan citra non-islam yang ditujukan pada PDIP begitu mengakar, paling tidak bagi kader-kader keduanya. Belakangan, stigmatisasi itu mulai meluntur.
“Menurut hasil penelitian itu, 70 persen pendukung PDIP itu umat Islam dan santri, 77 persen santri. Saya kan santri, jadi ketemu santri cocok,” tutur Yusuf Supendi.
Ya, Yusuf Supendi memang seorang santri sedari beliau dan seorang yang hafal Quran. Keluarganya merupakan salah satu ulama disegani di Bogor, KH Sholeh Iskandar. Selama masa revolusi, kiai ini merupakan komandan Hizbullah di Wilayah Bogor. Ketika merdeka, ia turut bersama di partai Masyumi bersama Muhammad Natsir, KH Nur Alie dan lain sebagainya.
Baca juga: Detik kebenaran islam dan nasionalis
Darah santri dari Masyumi inilah yang agaknya membuatnya terjun ke dunia politik setelah menamatkan studi di Universitas Imam Muhammad Ibnu Saud Riyadh, Saudi Arabia, 1985. Selama mahasiswa, selain dakwah, ia pernah menjadi Ketua Ikatan Mahasiswa Asia Tenggara. Dari sana pula, pergaulannya kian meluas dan berjumpa dengan para aktivis harokah ikhwanul muslimin dan tarbiyah.
Gerakan ini pula yang membuatnya kembali ke Indonesia dan membuat namanya dikenak publik, hingga akhirnya bersama Salim Assegaf Al Jufri dan Hilmi Aminuddin mendirikan Partai Keadilan (PK) dan diklarasikan di Masjid Al Azhar, Kebayoran Baru, Jakarta 20 Juli 1998. Nurmahmudi Ismail, mantan walikota Depok, adalah presiden pertamanya.
Dalam pemilihan umum legislatif pertama yang mereka ikuti, PK hanya mendapatkan 1,36% jumlah total kursi nasional atau hanya mendapatkan 1,436,565 suara saja. Jumlah kursi di parlemen pun hanya tujuh saja. Efeknya, sesuai peraturan, PK harus berganti nama. Kita mengenalnya kemudian hari menjadi Partai Keadilan plus kata Sejahtera setelahnya: Partai Keadilan Sejahtera (PKS).
Lambat laun, partai ini pun berkembang. Yusuf Supendi pun turut menyumbang banyak terhadap perkembangan partai ini. Bahkan, pria kelahiran Bogor 60 tahun lalu tersebut menjadi Wakil ketua Dewan Syariah PKS periode 2000-2010. Tentunya, tidak sembarang tokoh bisa dapat posisi seperti ini.
Posisi Yusuf Supendi menjadi krusial, apalagi ia adalah representasi majelis tertinggi PKS. Ia bersama anggota majelis lainnya bertugas sebagai pengarah sekaligus pengawas di PKS. Tapi ia dipecat oleh partai yang didirikannya di tahun 2009 lalu.
Konflik antara Yusuf Supendi dengan PKS mencuat ke publik atas tuduhan dan desas-desus. Ada yang bilang dipecat karena uang, etika dan sikap Yusuf Efendi yang menentang poligami di tubuh pengurus-pengurus teras di PKS.
Kini, setelah bertahun-tahun ia dianggap menjadi kerikil di PKS dengan perlawanan-perlawanannya, sejarah mencatat, ia tidak lagi berada di partai yang mengusung islam sebagai identitas politik tersebut.
Yusuf Supendi justru berada di seberang, di tempat yang dianggap sebagai lawan poliitk PKS selama ini, yakni partai haluan nasionalis PDIP. Bahkan, ia akan melawan persepsi yang mengatakan bahwa partai yang dipimpin Megawati tersebut anti islam dan lain sebagainya, stigma lawas dan ternyata muncul lagi ke permukaan belakangan ini.
“Jika sekarang PDIP dipersepsikan sebagai partai antiIslam dan simpatisan PKI, saya bersama rekan-rekan akan berupaya mengubah persepsi itu,” tegasnya.
Yusuf Supendi pun menjadi kerikil bagi para pendiri-pendiri PKS. Ia yang dulu dibuang bangkit kembali via PDIP. Hal ini adalah bukti cairnya politik di Indonesia dan rasa-rasanya kita tidak perlu untuk berurat nadi atau menuduh orang lain kafir atau sejenisnya hanya karena pilihan politik.