Yuni Shara, Komentar Netizen yang Pedas dan Identitas Perempuan yang Dirisak

Yuni Shara, Komentar Netizen yang Pedas dan Identitas Perempuan yang Dirisak

Yuni Shara dirundung oleh netizen yang ‘jahat’ dan ini mengingatkan satu hal, perempuan memang tidak bebas berekspresi di media sosial

Yuni Shara, Komentar Netizen yang Pedas dan Identitas Perempuan yang Dirisak

Beberapa waktu yang lalu, Yuni Shara memposting foto dengan menggunakan pakaian adat Medan. Menariknya, netizen mengomentari pakaian tersebut yang menyebutkan pakaian Yuni Shara tidak mencerminkan dirinya yang sudah sering umroh. Bahkan, mengatakan pakaian yang dipakai oleh Yuni Shara kekurangan bahan. Komentar netizen ini sangat menarik dan terlihat mendominasi salah satu agama dalam berpakaian.

Di tengah Ramadhan seperti ini, penggunaan pakaian yang tertutup atau jilbab sebagai hal yang hal yang dianggap perubahan ketika Ramadhan. Namun, mari kita kupas satu-satu. Pertama, tentang fashion yang merupakan gaya atau style seseorang saat menggunakan pakaian. Fashion juga dapat diartikan sebagai gagasan spritual yang bersifat spikososiokultural. Hal ini dilihat dari segi bathin atau kejiwaaan dari si pemakai.

Pakaian dapat memberikan rasa aman ketika memakai pakaian tersebut. Fashion sebagai spikososiokultural adalah dapat memberikan rasa percaya diri. Contohnya, Nia membeli dress berwarna putih dan dipakai untuk presentasi di kampus. Ketika memakainya ia merasa lebih percaya diri. Hal inilah yang dinamakan spikososiokulutural.

Dengan melihat respon dari Yuni Shara dan bagaimana dia berpakaian dalam foto tersebut, kita bisa melihat jika Yuni Shara nyaman dengan pakaian adat yang dia kenakan. Ini menandakan jika pakaian adalah cerminan dari identitas seseorang. Yuni Shara sedang menunjukan identitas dirinya yang berasal dari Indonesia dengan beragama kebudayaan yang ada. Dengan kata lain, penggunaan pakaian adat yang menunjukan keindonesiaan yang dia miliki.

Hal serupapun terjadi dengan seseorang yang menggunakan seragam putih abu adalah ciri- ciri sebagai seorang pelajar SMA. Lalu, guru misalkan menggunakan seragam yang berwarna dengan beberapa aksen sebagai seorang guru. Fashion dalam kontek prilaku sosial berkembang alamiah dari tendensi dan irasional manusia yang tidak berdasarkan kepada kegunaan objek. Saya pikir, begitu yang dilakukan oleh netizen.

Lebih jauh berbicara  jilbab atau hijab dapat diartikan sebagai penutup kepala. Dalam konteks islam mengenakan jilbab adalah sebuah kewajiban agama atau pilihan pribadi yaitu menutup aurat. Kata aurat bisa diatikan sebagai sesuatu yang buruk akan tetapi, semua hal yang buruk adalah aurat dan tidak semua aurat pasti buruk.

Jilbab saat ini dipandang sebagai ruang sosial untuk bercerita tentang identitas, status, kekeluargaan, rangking dan kelas serta sebagai simbol kekuasaan atau dengan kata laian bersifat maskulin.

Menurut Washburn mengkategorikan jilbab sebagai personal simbol yang membawa makna baik di tingkat personal maupun kebudayaan, kerena tidak semua orang memakai jilbab. Menurut El Guindi  membagi 4 dimensi dari jilbab, yaitu material, ruang, komunikatif dan religius. Saat ini terkadang jilbab dijadikan hanya sebuah hiasan saja.

Hal lainnya, jika melihat komentar dari netizen dipostingan Yuni Shara, akhirnya saya sadar jika di mana pun perempuan berada, para perempuan tetap memperhatikan tubuhnya. Sebuah materi yang membungkus esensi dan eksistensi perempuan dan yang kemudian mendefinisikan perempuan itu sendiri.

Sedikit mengambil pemikiran Descartes tentang perempuan, dia mengatakan jika hal yang paling utama dalam membahas perempuan adalah materi tubuh perempuan dalam pendefinisian.

Selama ini, pendefinisian tubuh perempuan lewat tubuhnya melegitimasi perannya. Mulai dari pendefinisian biologis yang mana perempuan memiliki kemampuan untuk hamil. Karena itu, perempuan dikatakan lemah, sensitive dan emosional. Di saat yang bersamaan atas definisi biologis, perempuan dianggap tidak berdaya sehinga peran publiknya tidak mendapatkan posisi yang setara.

Melihat kasus Yuni Shara, membicara tubuh perempuan tidak terlepas dari image the good and bad women. Dua hal tersebut pada akhirnya akan dikotomi sepanjang sejarah yang digunakan untuk menindas perempuan. Bahkan, para perempuan dibentuk untuk kecantikan yang diinginkan oleh masyarakat konsumen. Mulai dari warna kulit, payudara dan lainnya.

Singkatnya, image tubuh perempuan dipupuk dan dikontruksi untuk berbagai kepentingan. Oleh siapa? Anda mungkin bisa menjawabnya