Masa kampanye pemilu sudah lama lewat. Pemilu pun sudah terlaksana. Secara umum, Pemilu 2019 tergolong sukses. Sebagian besar rakyat Indonesia dan dunia mengakui itu. Tetapi setelah pemilu berlalu, tampaknya keriuhan kontes politik masih belum usai. Di masing-masing kubu masih ada aja yang gagal move on sampai sekarang ini.
Pemilu 2019 adalah pemilu yang kesekian kalinya terjadi di Indonesia. Apa yang terjadi di pemilu sekarang ini ternyata nggak jauh beda dari yang terjadi di Pemilu 1955 sebagai pemilu pertama dalam sejarah bangsa. Emang waktu itu terjadi apa sih?
Pemilu 1955: Panas Awalnya, Sejuk Akhirnya
Pemilu 1955 adalah untuk memilih anggota DPR dan Konstituante alias lembaga pembuat UUD (konstitusi). Pemilu itu disebut-sebut sukses besar. Menurut Baskara T. Wardaya (BASIS, Maret-April 2019, hlm 12-17), banyak pengamat politik dalam dan luar negeri memuji suksesnya pesta demokrasi itu. Pemilunya sendiri dilakukan dalam dua tahap: 29 September untuk memilih DPR dan 19 Desember untuk memilih Konstituante.
Kampanye dimulai 4 April 1953, segera setelah UU Pemilu disahkan. Partai-partai berlomba mempromosikan diri sampai ke pelosok desa. Berbagai cara ditempuh, dari yang elegan sampai yang bikin segan. Sempat beredar hoax bahwa ada bule yang bersembunyi di gunung dan siap menyerang penduduk dengan bantuan hantu berbaju kuning. Bagi rakyat yang masih trauma dijajah bule, hoax seperti itu mungkin cukup efektif. Ternyata hoax untuk menakut-nakuti rakyat sudah ada sejak tahun ‘55, Bung!
Antar partai mulai saling menyerang dan memfitnah. Masyumi menuduh PKI partai atheis, partainya orang kafir. Sebaliknya PKI menuduh Masyumi partai pemberontak Darul Islam.
Tapi semua berubah waktu pemilu diselenggarakan. Orang nyoblos dengan gembira dan antusias. Tercatat tingkat partisipasi warga 91,54% pada pemilu DPR dan 89,33% pada pemilu Konstituante! Tinggi sekali, bukan?! Padahal waktu itu masih banyak orang Indonesia yang buta huruf.
Apakah ada kecurangan? Tentu saja ada! Sejak zaman Nabi Adam pun kecurangan itu sudah ada. Tapi jumlahnya tidak seberapa dibanding keseluruhan. Waktu menunggu hasilnya, semua menanti dengan damai. Juga kala diumumkan hasilnya, tidak ada ribut-ribut lagi.
Pemilu 1955 adalah fakta sejarah pemilu di Indonesia berjalan dengan sukses. Di awal boleh saja terasa panas, toh pemilu di mana-mana juga begitu. Tapi di akhir, situasi kembali adem, rakyat bersatu, dan semuanya cepat move on.
Pemilu 2019: Gak Seperti yang Dulu?
Apa yang terjadi tahun 1955 berulang di tahun 2019 ini. Ada macam-macam keributan yang terjadi sepanjang masa kampanye kemarin. Ada keributan biadab: kampanye hitam (black campaign), hoax, fitnah, dan sebagainya. Tapi ada juga keributan beradab: debat, iklan, film, meme. Sekali lagi, semua itu wajar terjadi dalam suatu kampanye.
Waktu hari-H pemilunya sih semua masih asyik. Sekitar 80,9% pemegang hak pilih ikut nyoblos. Tapi nggak asyiknya, setelah pemilu dilaksanakan, keributan itu masih berlanjut. Ngerinya, para elite politik malah tambah ngaco. Ada yang mau people power lah, ada yang nolak bayar pajak lah, ada yang menuduh lawannya makar lah, macam-macam.
Ungkapan ngaco para elite politik itu nggak bisa dianggap remeh. Mereka adalah panutan rakyat. Nggak sedikit orang yang percaya dan ngikutin ucapan mereka. Kata-kata mereka itu bisa benar-benar memecah belah bangsa ini! Mau sampai kapan? Apakah memang perpecahan itu yang mereka mau? Apa itu yang kita inginkan?
Tiga Hal buat Dipertimbangkan
Pertama, kekuasan presiden di Indonesia ini cuma 5 tahun kok. Setelah 5 tahun, akan ada pemilu lagi dan kekuasaan pun berganti. Kenapa sih nggak bisa sabar sedikit untuk bikin keributan waktu kampanye pemilu berikutnya aja? Untuk segala sesuatu, semua ada waktunya, kan? Daripada ribut, kenapa sih nggak pakai waktu untuk bersiap diri supaya lebih baik di pemilu berikutnya?
Kedua, buat yang suka nyebar perselisihan, please, jangan gadaikan persatuan demi kepentingan sesaat. Kalau boleh jujur, emang dapat untung apa sih? Paling-paling popularitas sesaat atau duit yang nggak seberapa. Tapi kalau bangsa ini terpecah belah dan terjadi konflik, apa popularitas dan duit itu masih penting? Jangankan popularitas, hidup aja nggak pasti di tengah konflik. So, tolong pikir lagi kalau mau mengacaukan bangsa ini.
Ketiga, buat kita-kita rakyat jelata, jangan mau diprovokasi sama elite politik ngaco itu. Sadarkah kita, kita sedang dimanfaatkan untuk kesenangan mereka? Kalau kita terpancing provokasi mereka, mereka bersorak gembira karena bakal diliput media, diundang ke acara TV dan ujung-ujungnya dapat duit! Lalu, kita dapat apa? Sepeser pun nggak! Adanya cuma emosi. Emang kita bisa hidup cuman pake emosi?
Maka, segeralah sudahi ribut-ribut pascapemilu ini. Sama sekali nggak berfaedah dan bermanfaat. Lebih baik kita kembali bersatu dan berkolaborasi demi Indonesia yang lebih sejahtera. Kembalilah segera ke hidup kita yang biasa. Dan kalau emang pingin ribut-ribut, sabarlah sedikit, tunggu aja 5 tahun lagi.