Yuk, Belajar Merawat Keberagaman dari Singapura

Yuk, Belajar Merawat Keberagaman dari Singapura

Yuk, Belajar Merawat Keberagaman dari Singapura

Sebagai negara bineka, Indonesia sering dijadikan sebagai tempat belajar untuk merawat keberagaman. Namun, akhir-akhir ini keberagaman di Indonesia sedang mendapatkan ujian. Seperti yang dilayangkan dalam nasional.tempo.co (18/08), Aliansi Jurnalis Indonesia (AJI) mengatakan bahwa dalam kurun waktu 2-3 tahun belakangan, ancaman anti-keberagaman dan toleransi meningkat dari kelompok-kelompok anti toleran. Terakhir, ada kasus penutupan patung  Gua Yu di Klenteng Tuban. Ini membuat kita, orang-orang yang mencintai keberagaman harus bekerja ekstra untuk terus merawat salah satu kekayaan yang dimiliki oleh Bumi Pertiwi.

Beberapa waktu lalu, penulis melakukan perjalanan ke Singapura dalam rangka merayakan World Interfaith Harmony Week bersama teman-teman dari Young Interfaith Peacemaker Community (YIPC) Indonesia. Acara ini merupakan agenda tahunan PBB sebagai salah satu dukungan pada gerakan-gerakan perdamaian untuk menunjukkan usaha apa saja yang telah dilakukan untuk terciptanya perdamaian di negara masing-masing. Setelah belajar di Singapura, rasa-rasanya kita, Indonesia perlu belajar bagaimana merawat keberagaman dari negara kecil itu.

Penulis terkesan dengan adanya Harmony in Diversity Gallery (HDG) yang dimiliki oleh negara Singa ini. Tercatat ada sepuluh agama yang eksis di sini: Budha, Hindu, Bahai, Islam, Kristen, Sikh, Yahudi, Tao, Zain, Zoroaster. Bahkan negara ini pun memberikan ruang berekspresi untuk para agnostik dan free thinker.  Nah, di dalam HDG ini, pengunjung akan disuguhkan dengan informasi-informasi tentang sepuluh agama ini. Di dalamnya memuat tentang persamaan-persamaan yang dimiliki sepuluh agama tersebut seperti konsep bersuci, berpuasa, bersedekah, kota suci, dll.

Selain itu, terdapat informasi konflik terbesar apa yang pernah dialami Singapura dalam permasalahan agama. Kerusuhan Maria Hertogh terjadi pada 11-13 Desember 1950 dinarasikan di HDG. Kerusuhan ini bermula karena keputusan pengadilan yang menyatakan bahwa seorang anak (Maria Hertogh) yang telah diasuh oleh keluarga muslim harus dikembalikan ke orang tua biologisnya yang beragama Katolik. Pada awalnya Maria memang dititipkan oleh ibunya kepada seorang Muslim Malays (teman dekat ibunya) karena terjadinya Perang Dunia II, dan ia juga memiliki banyak anak.

Menariknya, informasi tentang konflik ini dituturkan dan diperagakan oleh siswa yang memenangkan pembuatan narasi kerusuhan Mari Heretogh (semacam drama). Artinya, siswa-siswi di sini memang diajak untuk mengenal konflik apa yang pernah terjadi di negara tempat tinggalnya. Supaya mereka dapat belajar dari apa yang sudah terjadi.

Selain itu, Singapura juga memiliki Inter-Religious Singapura (IRO), dimana sistem kepemimpinannya adalah bergiliran bukan berdasarkan mayoritas pemeluk agama di sana. Sehingga sepuluh agama ini mendapatkan jatah untuk memimpin IRO. IRO bertugas untuk menjaga keberagaman agama. Salah satu kegiatannya mensosialisasikan perayaan-perayaan hari besar yang dimiliki oleh sepuluh agama ini. Sehingga ketika ada perayaan hari besar agama, masyarakat sudah tahu dan bisa memahami.

Penulis membayangkan jika Indonesia memiliki hal yang sama. Sebuah museum keberagaman yang bisa diakses oleh semua kalangan masyarakat. Memuat tentang persamaan-persamaan yang dimiliki agama-agama bahkan persamaan yang dimiliki oleh intern agama seperti persamaan antara Sunni Syiah, Kristen Katolik, dll. Ini bisa dijadikan museum pendidikan keberagaman. Agar masyarakat Indonesia (sebagian orang Islam) yang sedang hobi mengkafirkan-kafirkan diam seribu bahasa melihat persamaan yang dimiliki oleh saudara-saudara seagamanya.

Dengan adanya itu, kita sedang sama-sama merawat, merayakan keberagaman Indonesia, dan mengedukasi masyarakat. Karena bagaimana pun keberagaman merupakan kehendak Allah, sunnatullah yang tidak bisa dihindari.

Seperti yang sudah diketahui, Islam sangat menjunjung tinggi persamaan derajat antar sesama manusia. Tidak ada perbedaan antara golongan satu dengan golongan yang lain. Semuanya memiliki hak yang sama. Yang membedakan antara keduanya hanyalah kualitas keimanan dan ketakwaan saja. Quraish Shihab mengatakan dalam tafsir Al-lubab terciptanya perbedaan-perbedaan etnis, agama, bahasa, dll bertujuan untuk dapat saling mengenal, membantu dan saling melengkapi.  Hal tersebut terdapat dalam surat al-hujurat ayat 13.

Sangat tidak mustahil Sang Pemilik Alam Raya menciptakan manusia seragam, namun Sang Khalik berkehendak lain. Ia ternyata mencintai keberagaman. Sudah seharusnya, kita sebagai makhluk pun mencintai dan merawat keberagaman dengan saling mengenal dan berinteraksi lebih dalam.

Laelatul Badriyah, Penulis aktif di komunitas YIPC dan Gusdurian Yogyakarta.