Yenny Wahid dan Pilihan Politiknya

Yenny Wahid dan Pilihan Politiknya

Bagi Yenny Wahid, pilihan politik bukan sekadar takdir belaka

Yenny Wahid dan Pilihan Politiknya

Beberapa saat setelah saya baca berita Mbak Yenny akan non-aktif sebagai Direktur Wahid Foundation lantaran masuk dalam politik praktis jelang pilpres 2019, saya bertanya ke Mbak Yenny via pesan WA untuk konfirmasi.

“Ya Lam. Tapi, saya masih tetap bisa dan ada jika teman-teman WF perlu atau orang lain yang butuh saya,” katanya via WA. “Kalau itu sudah takdir dan fardhu ain, Mbak,” balas saya sembari berseloroh. Mbak Yenny tertawa.

Meski berseloroh, sebetulnya pernyataan saya itu adalah bagian dari keyakinan saya. Kiprahnya selama ini memang “takdir”nya menjadi puteri Gus Dur. Bukan hanya Mbak Yenny, Mbak Alissa, Mbak Anita, Mbak Inayah, juga Ibu Shinta, sejauh yang saya tahu, mengerti bahwa mereka harus berjuang meneruskan warisan Gus Dur. Mereka mungkin menerimanya sebagai “takdir”.

Jadi, saya bisa mengerti non-aktif sebagai Direktur WF yang didirikannya bukan pekerjaan gampang. Bukan karena posisi itu, tapi karena dengan posisi ia bisa seperti biasa berkiprah dalam isu-isu toleransi. Ini mungkin sama saja meminta Bang Haji Rhoma, pujaan saya, non-aktif bernyanyi dangdut. Apa tidak bingung?

Saya ingat sekali, saat Gus Dur dilengserkan sebagai presiden, orang-orang di lingkarannya khawatir jika Gus Dur akan sedikit tertekan lantaran hidupnya tak akan seaktif sebelumnya. Dalam bahasa kerennya, post-power syndrome.

Rupanya dugaan itu keliru. Gus Dur tetap Gus Dur. Saban usai subuh, Gus Dur biasa menerima ratusan tamu yang mengantri di kediamannya di Ciganjur. Menghadiri ceramah, mengadvokasi kasus dan lain-lain. Bahkan, jika Wahid Institute, lembaga yang didirikannya, mengundang Gus Dur belum tentu bisa ia hadiri. Jika dihitung, mungkin lebih banyak tidaknya.

Non-aktif sebagai Direktur, bukan berarti Mbak Yenny tidak terlibat lagi dalam isu WF. Mbak Yenny masih beberapa kali hadir sebagai pembicara atas nama pengurus Yayasan Wahid dan mendiskusian isu-isu WF. Misalnya Selasa lalu di Solo dalam acara Konferensi Kampung Damai yang juga dihadiri Menteri Pembangunan Desa Tertinggal dan perwakilan UN Women dan BNPT.

Di depan ratusan ibu-ibu dan pemerintah desa dari sembilan kampung damai, Mbak Yenny bicara tentang Kampung Damai Wahid Foundation. Apa yang ia bayangkan tentang kampung ini, apa ukurannya, dan harapannya yang dapat nenyumbang bagi masyarakat internasional.

Saya menunggu-nunggu, jangan-jangan Mbak Yenny bakal melempar guyon yang menjurus kampanye. Bagaimanapun ia tim sukses Jokowi-Kiai Maruf. Sampai akhir saya tak menemukannya. Ia fokus pada isu ini. “Alhamdulillah, selamat!” pikir saya.