Agama Islam datang membawa kepastian. Segala hal yang sebelumnya menjadi sumber kebimbangan dan kekhawatiran, dijelaskan secara gamblang oleh agama terakhir di rumpun Samawi ini. Tak hanya soal-soal duniawi, Islam juga memberi penjelasan soal hal-hal yang akan terjadi usai kita mati. Itu sebabnya, Islam memberi panduan jelas tentang apa yang baik dan apa yang tidak baik. Termasuk di antara panduan tersebut adalah soal apa yang sebaiknya dilakukan saat kita berada dalam keraguan.
Dalam Tahdzîb al-Asmâ’, Imam Nawawi menjelaskan tentang keutamaan sikap Wara’, yakni menjauhi keharaman. Salah satunya dengan meninggalkan segala hal yang membuat kita ragu. Sebab dalam keraguan, terdapat hal yang mengganjal ketenangan dan keyakinan.
Imam Nawawi berkisah tentang seorang Sufi besar bernama Abu Ishaq al-Syirazi.
Suatu ketika, sang sufi menerima undangan makan malam di sebuah masjid. Usai acara, sang sufi bergegas pulang menuju rumahnya. Namun tak lama kemudian, saat sedang di tengah perjalanan, ia teringat sekeping uangnya yang kini sudah tak lagi bersarang di kantong bajunya.
Sang sufi berhenti sejenak sambil terus mengingat kapan terakhir kali ia melihat uang kepingnya itu. Ia ingat betul, saat masuk ke masjid tadi, uang sekeping itu masih ada di kantongnya. Bisa jadi, uang tersebut jatuh di sekitaran masjid. Mungkin saat ia beranjak dari masjid, uangnya menggelinding keluar dari kantongnya.
”Ah, bisa jadi!” pikirnya.
Maka tak perlu waktu lama, sang sufi berjalan kembali menuju masjid tadi. Benar saja, saat tiba di masjid, dilihatnya sekeping uang di lantai masjid.
”Alhamdulillah, masih ada. Emang kalau rejeki tak akan kemana,” mungkin begitu reaksinya. Namun untuk beberapa saat, sufi satu ini tak juga segera mengambil uangnya. Ia bahkan tak tampak mencoba membungkuk untuk memungut uangnya. Ia tampak ragu.
”Mungkin ini bukan uangku,” pikirnya tiba-tiba. Ia pun lantas putar badan, kembali berjalan pulang. Tak jadi mengambil uang yang mungkin saja, miliknya.
Apa yang dilakukan oleh si sufi ini dinilai Imam Nawawi sebagai bentuk sikap wara’. Sang sufi begitu berhati-hati. Jika uang tersebut memang miliknya yang terjatuh, maka mengambilnya hanya akan menambah sedikit rizki. Tetapi, bagaimana jika uang tersebut ternyata bukan miliknya? Bisa jadi, uang itu milik orang lain yang kebetulan jatuh atau tertinggal.
Jika ia tetap mengambilnya, ia khawatir hal itu justru akan menjadi sumber dosa, sebab uang itu ‘tak dilengkapi’ dengan keikhlasan pemilik sahnya.
Sang sufi sepertinya ingat betul peringatan nabi soal pentingnya berhati-hati dalam mencari rizki. Tak semua yang ada di depan mata boleh dinikmati begitu saja, bisa jadi, ada hak orang lain di dalamnya.
Nabi bahkan menegaskan bahwa orang yang memakan sesuatu tanpa jelas kehalalanya tak akan mendapat tempat di surga.
“Daging yang tumbuh dari keharaman tidak akan masuk surga. Neraka lebih utama baginya.” Demikian kata nabi sebagaimana direkam oleh Ahmad bin Hanbal dan Ibn Hibban.
Sikap wara’ seperti ditunjukkan oleh Abu Ishaq al-Syirazi di atas seharusnya menjadi panduan bagi kita untuk lebih meningkatkan kehati-hatian saat berada dalam keraguan. Jauhi segala hal yang membuat kita ragu, ambil yang pasti-pasti saja. Terutama dalam mencari rizki; tak perlu melimpah, yang penting berkah.
Baik tidaknya rizki yang kita dapat tidak diukur berdasarkan jumlahnya, melainkan dari tingkat kebermanfaatannya. Itu sebabnya, kita perlu selalu berhati-hati agar rizki yang kita dapat tak malah berubah menjadi petaka di kemudian hari.