Yang Membingungkan dari Ulama

Yang Membingungkan dari Ulama

Yang Membingungkan dari Ulama

Sejak merdeka pada tahun 1945, ulama memiliki peran yang sangat vital dalam mengawal utuhnya persatuan dan kesatuan wilayah Indonesia. Dapat dipahami karena ulama adalah sosok panutan yang diikuti oleh mayoritas penduduk Indonesia sehingga tanggung jawab berjalannya negara yang aman dan harmonis berada di pundak para cendikiawan ini.

Ketika saya nyantri beberapa tahun yang lalu, kata ulama sering saya dengar, terutama ketika acara tersebut menggunakan format bahasa Arab. MC akan menyebut sosok tertentu dengan sebutan almukarram, al-‘alim, al-‘allamah sebagai bentuk penghormatan. Tidak sembarang orang mendapat julukan tersebut. Ada beberapa kriteria yang dipertimbangkan seperti tingkat keilmuan dan ketawadhuan.

Karena ‘syarat’ yang sangat berat, seringkali tokoh agama di pesantren mencukupkan dirinya disebut sebagai ‘gus’ saja. Gus adalah panggilan penghormatan kepada putra kiai. Sementara kalangan masyarakat biasa, meskipun memiliki kadar keilmuan agama yang sangat tinggi, mereka memilih bersikap tawadhu dengan tidak muncul di permukaan. Saya sering mendengar frasa “kulo nderek gus niku mawon” (saya ikut dengan gus itu saja) dari orang yang secara keilmuan terlihat lebih mumpuni. Inilah sebab mengapa di pesantren tidak pernah ada caci maki meskipun memiliki pertentangan dalam suatu pemahaman keagamaan.

Sederhananya, menjadi seorang ulama di pesantren bukanlah cita-cita. Sebab orang pesantren memahami konsep hari akhir di mana segala yang diperbuat di dunia akan dipertanggungjawabkan di akhirat kelak. Menjadi ulama berarti mewarisi para Nabi. Jika apa yang dilakukan bertentangan dengan sifat-sifat Nabi, sudah barang tentu akan ada konsekuensi yang berat di masa mendatang.

Seiring berjalannya waktu, saya menemukan paradoks keulamaan, terutama jika menyambangi kota-kota besar. Jika di pesantren saya melihat seorang ‘alim dengan tampilan yang sangat sederhana, tidak ingin menunjukkan diri, dan bersikap lemah lembut, kondisi di kota sebaliknya. Seorang pemuka agama memilih berpakaian mentereng, unik, bersuara keras, dan memasang baliho di mana-mana.

Di sini terjadi garis yang tegas perbedaan antara beragama di kota dan di desa. Di desa kita diajarkan untuk beragama dengan hati. Agama adalah spiritualitas. Seseorang yang beragama dengan hati akan mudah menerima sesuatu karena hati adalah padang yang paling luas, samudra yang paling dalam, dan langit yang paling tinggi. Sementara di kota, agama diajarkan sebagai nilai jual atau transaksi sehingga segala sesuatu terasa sangat sempit, dangkal, dan tidak pernah memuaskan.

Beberapa waktu lalu kita menyaksikan dua pertemuan ulama untuk menanggapi pemilihan umum. Dua pertemuan itu menghasilkan dua jenis seruan yang berbeda. Seruan dari forum ijtima’ ulama misalnya, memahami politik begitu dangkal karena sangat terlihat arogansi keberpihakan pada pasangan tertentu. Namun bisa dipahami karena forum tersebut ternyata merupakan forum pertemuan tim sukses calon presiden tertentu sehingga pernyataan-pernyataan yang dihasilkan pun tidak jauh-jauh dari kubangan politik elektoral.

Sementara forum multaqo’ ulama menghasilkan seruan yang mendinginkan suasana. Forum ini menyerukan agar masyarakat bersikap tenang dan meletakkan kepentingan bangsa dan negara di atas segalanya. Meski beberapa mendukung calon presiden tertentu, para ulama ini tidak pernah sekalipun membuat gaduh karena berbeda pilihan. Justru pilihan politik dimaknai sebagai bentuk ijtihad yang bisa diikuti oleh para pengikutnya, bisa juga tidak. Oleh sebab itu para ulama yang hadir di forum ini tidak memiliki beban kepentingan mengenai siapa saja yang akan memimpin bangsa ini lima tahun ke depan. Yang mereka pikirkan justru persatuan dan kesatuan bangsa.

Ulama dan Kepentingannya

Kontribusi ulama dalam memerdekakan bangsa ini tidak diragukan lagi. Ulama bahkan menjadi salah satu kekuatan dalam mempertahankan status merdeka yang ingin direbut oleh penjajah dengan mengobarkan resolusi jihad pada tahun 1945. Pesantren-pesantren yang ada di Indonesia pada saat itu menjadi tempat pelatihan-pelatihan militer masyarakat. Di Cirebon, Jombang, Pati, dan kota-kota lainnya ada banyak santri yang gugur dalam perang melawan penjajah.

Setelah penjajah enyah dari bumi pertiwi, pesantren kembali pada fungsi utamanya sebagai tempat untuk belajar agama. Para kiai yang turut berjuang melawan penjajah sudah merasa cukup dengan tidak diusiknya masyarakat oleh kompeni. Soal kepemimpinan biarkan para pendiri bangsa melakukan kesepakatan-kesepakatan. Selama masyarakat bisa menjalankan syariatnya dengan nyaman, maka tidak ada masalah. Namun tidak semua tokoh agama ini merasa puas. Ada sebagian golongan yang sejak dulu ingin memproklamirkan negara Islam tetap memiliki ambisi untuk memperjuangkan cita-citanya.

Sejarah mencatat beberapa peristiwa berdarah pasca kemerdekaan terjadi karena keterlibatan tokoh agama dalam pusaran kepemimpinan. Sekarmadji Maridjan Kartosuwiryo adalah salah satunya. Pemimpin Darul Islam tersebut memimpin pemberontakan terhadap pemerintah Indonesia dalam kurun waktu 1949 hingga 1962. Kartosuwiryo berpendapat bahwa pemerintahan yang tidak dilandasi hukum syariat itu salah. Ia memperjuangkan terbentuknya negara Islam Indonesia (NII) yang bersyariah dengan cara militer. Kartosuwiryo kemudian ditangkap dan dieksekusi mati.

Kepentingan ulama yang ingin masyarakatnya hidup tenang selalu bertentangan dengan tokoh agama yang begitu getol menggelorakan ambisi kekuasaan. Parahnya, tokoh-tokoh ini mendeklarasikan dirinya sebagai ulama. Hal ini tentu membingungkan masyarakat awam karena ulama seperti gelar yang bisa diklaim siapapun. Padahal ulama memiliki berbagai prasyarat dan syarat yang paling berat adalah mencerminkan sebagai pewaris Nabi yang berislam secara ramah, bukan marah.

Sebenarnya, apa yang dipraktekkan para kiai di negeri kita sangat cukup menggambarkan kondisi ideal cara berislam. Para kiai tidak pernah menyebut dirinya ulama, tetapi seorang al-faqir alias orang yang masih membutuhkan ilmu. Karena terus merasa bodoh, para kiai tidak pernah berhenti belajar. Seorang kiai yang sudah 20-30 tahun mengajar ilmu fikih, masih terus mengulang-ulang bacaan kitab Fathul Qorib yang menjadi buku fikih dasar di pesantren. Andaikata para kiai sudah cukup puas dengan ilmu yang dimiliki dan kemudian menyebut dirinya sebagai ulama sehingga secara serampangan menyalahkan yang berbeda, bisa jadi hari ini kita berislam secara arogan karena tidak ada kerendahan hati dalam menyampaikan ajaran agama itu.

Wallahua’lam.