Hijrah menjadi kembali familiar di telinga kita belakangan ini. Istilah ini dipopulerkan kembali oleh para ustad millenial melalui pengajian dan juga unggahan di media sosial seiring tingginya ghirah keagamaan masyarakat belakangan ini.
Istilah hijrah bukanlah sesuatu yang asing dalam ajaran Islam. Para pengikut awal Nabi Muhammad pernah melakukan hijrah di Abbysinia (sekarang: Ethiopia) untuk menghindari kekerasan dan persekusi yang dilakukan oleh kaum kafir Quraisy di Mekkah. Di Ethiopia, para pengikut Nabi mendapatkan perlindungan keamanan dari seorang raja Kristen yang adil dan bijaksana yang bergelar Raja Negus (Najasyi). Momen hijrah ini dapat disebut sebagai hijrah gelombang pertama.
Hijrah gelombang kedua adalah ketika Nabi Muhammad dan pengikutnya berpindah dari Mekkah ke Madinah setelah adanya pemboikotan terhadap Bani Hasyim yang merupakan bagian dari keluarga Nabi Muhammad dan juga ancaman yang bertubi-tubi terhadap pengikut Nabi oleh para penguasa zalim di Mekkah. Momen hijrah gelombang kedua ini terjadi tak lama setelah orang yang dicintai Nabi yang selama ini menjadi pelindungnya, yakni istrinya Khadijah dan juga pamannya Abu Thalib meninggal dunia.
Pada intinya, momen hijrah di zaman Nabi adalah perpindahan secara fisik dari satu tempat ke tempat lain guna mencari keselamatan, keamanan, dan menghindar dari kezaliman penguasa kafir. Saking pentingnya, momen hijrah Nabi ke Madinah menjadi batu pijakan penetapan kalender Hijriyah.
Saat ini, istilah hijrah mengalami pergeseran. Hijrah saat ini diindentikkan sebagai transformasi diri seorang muslim dari kurang religius menjadi lebih religius yang ditandai dengan mengedepankan hal-hal yang dianggap sebagai sunnah rasul seperti memelihara jenggot dan celana cingkrang bagi para ikhwan (sebutan terhadap lelaki muslim).
Di kalangan akhwat (perempuan muslimah), berhijrah berarti meninggalkan kebiasaan mengenakan pakaian yang menonjolkan aurat dan lekukan tubuh menjadi pakaian yang relatif longgar yang menutupi kepala dengan hijab maupun cadar (niqab).
Selain terjadi perubahan dalam hal penampilan, para pelaku hijrah melakukan transformasi dalam hal sikap dan pandangan hidup. Mereka mulai meninggalkan sesuatu yang dianggap tidak berfaedah seperti bercanda yang berlebihan, pacaran, mendengarkan musik, berkumpul dengan bukan muhrim, berselfie ria, nongkrong dan shopping di mal, dan beralih menjadi aktivis pengajian dan dakwah baik online maupun offline.
Umumnya kalangan hijrah adalah anak-anak muda kelas menengah perkotaan yang relatif baru bersentuhan dengan wacana keagamaan dan umumnya berlatar belakang pendidikan sekolah/ universitas negeri non-keagamaan. Mereka tampaknya tertarik dengan gerakan hijrah karena gerakan tersebut berfokus pada usaha memerangi dekadensi moral pada anak muda, seperti seks bebas, alkohol, dan tawuran. Mereka juga tertarik karena gerakan hijrah tampaknya menjanjikan kepastian dan ketegasan dalam perkara keagamaan, dan juga memasarkan ide-ide yang mengandung nilai perlawanan terhadap sistem yang dianggap korup, seperti khilafah dan anti asing/ aseng.
Yang menarik dari gerakan hijrah adalah pendekatannya yang tidak kaku dan monoton. Para aktivisnya pandai menggunakan pendekatan ala budaya pop untuk menggaet antusiasme para millenial. Mereka memanfaatkan seluruh platform di media sosial dengan konten meme, foto, dan video yang dibalut dengan bahasa ala anak muda. Para aktivisnya juga menerbitkan buku-buku dengan sampul dan konten yang menarik, motivatif, dan penuh visual agar lebih mudah mengakselerasi penanaman ideologi hijrah.
Para aktivis gerakan hijrah juga mampu mencuri perhatian para anak muda karena mereka pandai mengkomodofikasi agama melalui tawaran produk yang up-to-date untuk dikonsumsi anak muda, tanpa harus kehilangan kesan islami, seperti baju kaos distro bertuliskan pesan-pesan islami beserta model celana cingkrang yang fashionable. Produk Hijab dan niqab yang dipasarkan pun cenderung lebih variatif dari segi model, motif, dan warna, namun tetap kelihatan syarii. Dengan kata lain, anak muda tak perlu takut memilih jalan hijrah, karena mereka tetap bisa tampil fashionable.
Gerakan hijrah sejauh ini harus diapresiasi karena ia mengajak kembali anak muda untuk kembali pada agama di tengah menguatnya dekadensi moral. Hanya saja -tanpa bermaksud menggeneralisasi- beberapa pelaku hijrah terkadang terjebak dalam pola keberagamaan yang sifatnya simbolik, tekstual, dan terjebak dalam klaim kebenaran kelompok.
Menurut hemat penulis, berhijrah seharusnya membuat kita menjadi lebih dewasa dan tawadhu dalam beragama. Orang yang berhijrah harus senantiasa fokus untuk memperbaiki kualitas imannya dan juga tidak boleh merasa diri lebih baik dari orang yang dianggap belum berhijrah. Jangan sampai karena sudah merasa berhijrah, kita lalu merendahkan orang lain sebagai pendosa, pelaku bid’ah dan kemaksiatan.
Proses dakwah tidak bisa bersifat instan karena pada dasarnya, setiap orang memiliki proses yang berbeda-beda dalam menemukan hidayah. Hidayah secara bahasa seakar dengan kata hadiah. Karena itu, berikanlah hadiah kepada orang lain dengan penuh senyuman, kelembutan, dan keramahan, bukan dengan caci maki dan sumpah serapah.
Kalau dakwah kita masih dipenuhi caci maki dan sumpah serapah, maka jangan menyalahkan kalau orang lain tak kunjung “berhijrah” dan mendapatkan hidayah. Wallahu A’lam Bissawab.