Debat Cawapres secara keseluruhan menurut saya sungguh membosankan. Hampir tidak ada debatnya. Hanya mengulang narasi yang sudah dipercayai mereka sendiri. Tentu saja yang sengaja disusun sesuai kepentingan mereka dan timnya, alih-alih publik.
Hanya saja saya senang ketika Kiai Ma’ruf mengkritik program sedekah putih Prabowo-Sandiaga yang menurutnya bisa mengaburkan pemahaman masyarakat tentang stunting dan tidak efektif buat mencegah stunting. Yang menarik adalah kritik tersebut disampaikan bukan hanya dengan argumen dari pendekatan ilmu kesehatan modern, tapi dari pendekatan ilmu fiqh juga.
Argumen dari sisi ilmu pendekatan modern yang diutarakan kiai selaras dengan cara pencegahan stunting menurut Departemen Kesehatan. Bisa dilihat di link berikut ini:
Sementara pendekatan ilmu fiqh menunjukkan Kiai Ma’ruf adalah ahli fiqh selain ekonomi syariah. Tapi yang paling penting dengan ini ia mengajak kepada muslim untuk menggali ijtihad para ulama terkait urusan hari-hari. Bukan cuma perkara kafir-kafiran yang lebih sering digunakan buat memusuhi umat agama lain.
Sekaligus ia mengajak muslim untuk memperhatikan perkembangan ilmu pengetahuan, seperti yang dilakukan tokoh-tokoh Islam di era Abasiah. Bukan seperti gerombolan HTI yang sekadar ingin bentuk khilafahnya saja, tapi ogah meniru upaya pengembangan keilmuan dan malah mengecam perkembangan ilmu pengetahuan dengan alasan tidak selaras dengan Islam.
Tentu dalam konteks ajakan berijtihad ini sangat jauh dari tuduhan Kiai Ma’ruf min jumlatil pseudo sains.
Tapi, sekali lagi, itu menurut saya loh. Sebagai santri yang bangga akhirnya argumentasi berbasis keilmuan di pesantren bisa muncul di debat pilpres ketika ijazah pesantren, khususnya pesantren salaf yang tidak punya lembaga pendidikan formal, masih belum sepenuhnya diakui negara. Yang akibatnya banyak santri susah masuk kampus selain UIN, apalagi punya kesempatan kerja sama seperti lulusan sekolah non pesantren.
Soal bantahan Sandiaga yang bilang banyak ibu tidak bisa menyusui sampai dua tahun karena berbagai sebab, itu benar. Argumen yang baik sekali.
Tapi sebenarnya kan bisa menyusukan anaknya ke perempuan lain yang diperbolehkan secara Islam dan maklum dilakukan sejak dahulu kala di negeri ini. Malahan bisa mendatangkan pekerjaan bagi perempuan-perempuan tersebut. Seperti Halimatus Sya’diah yang ekonominya terbantu karena mendapat upah dari menyusui Nabi Muhammad. Tentu ini lebih baik ketimbang pakai susu formula.
Sayangnya, Kiai Ma’ruf tidak membalas argumen Sandiaga tersebut dengan narasi barusan. Sama sayangnya dengan ia sama sekali tidak menyinggung perkara pengembangan pendidikan pesantren. Padahal saya yakin ia cukup mampu untuk keduanya.
Barangkali Kiai Ma’ruf sedang menggunakan kaidah ushul fiqh itlaqul juz iradatul kul. Artinya dengan mengucapkan sebagian sudah menghendaki keseluruhan. Bahwa gagasannya menekankan peningkatan kesejahteraan dan kesehatan ibu untuk mencegah perempuN sudah mencakup maksud agar setiap wanita bisa menyusui bayi dengan baik sebagai solusi ibu yang tidak mengeluarkan ASI. Bahwa statusnya sebagai ulama sudah mencakup maksud kepastian memperjuangkan pendidikan pesantren.
Kira-kira begitu. Bagaimana menurutmu?